Maya kembali masuk ke kelasnya bagaikan tak ada sesuatu yang aneh terjadi padanya kemarin. Meskipun pandangan tak mengenakkan terus tertuju padanya. Di kursinya, ia sudah mengistirahatkan kepalanya kembali di atas meja dan memperhatikan punggung Yohan yang kemudian pemuda itu menoleh padanya.
“Udah baikan?”
Maya mengangguk dan menenggelamkan kepalanya kembali. “Maaf soal kemarin.”
Hening sejenak di antara mereka sampai ahirnya Yohan hanya menjawab, “ya.”
Keduanya kembali terdiam, hingga akhirnya bel masuk berbunyi keras dan sisi kanan kursi Maya kosong, menandakan jika Aban masih belum datang atau mungkin tidak datang. Namun, pelajaran telah dimulai dan Aban masih tak kunjung muncul.
Pikiran Maya melayang jika ia berbuat sesuatu yang salah kepada Aban sehingga membuat sahabatnya itu tidak datang. Meskipun demikian, ia terus berusaha untuk menenangkan isi kepalanya yang tidak jelas entah kemana.
“Aban katanya sakit.”
Maya menegakkan kepalanya, menatap Yohan yang berdiri di sebelahnya setelah bel istirahat berbunyi dan guru telah keluar dari kelas mereka.
“Ke kantin yuk.” Yohan tersenyum tipis, membuat Maya terbuai dan mengangguk begitu saja.
Setelah bersama dua tahun setengah, Maya menyadari jika ia bisa menyukai seorang pria. Sebuah entitas yang awalnya sangat ia benci karena kehidupannya menjadi sangat berantakan, tetapi berubah menjadi cinta yang mungkin saja hanya cinta monyet di masa sekolah mereka. Orang itu adalah Yohan dengan dinding tingga menjuntai ke atas, ia menyukai pemuda itu. Sangat-sangat menyukainya sampai rasanya ia takut jika kehilangan pemuda itu selayaknya kehilangan Aban, karena Maya tidak memiliki teman yang banyak.
“Kapan syuting sama Bang Akmal?” Maya memulai percakapan di antara mereka, di balik rasa kesalnya dengan Yohan yang meninggalkannya dan tim, ia hanya ingin tahu keadaan pemuda itu sehingga tak ada lagi rasa sesak di dada yang membuatnya menyesal.
“Masih minggu depan. Kami bakal sibuk sama reading naskah.”
“Reading? Kamu jadi cast? Bukan crew?”
Yohan tertawa dan menggeleng. Tawa itu terdengar candu di telinga Maya, singkat tetapi terasa menenangkan di telinganya. “Dari awal kan aku gak ada bilang bakal jadi crew mereka. Lagian belajar paling cepat adalah dengan melihat. Kami syuting selama seminggu, harusnya udah cukup buatku untuk belajar walaupun sedikit, sisanya aku bakal belajar lebih lagi di kampus.”
“Kampus? Kamu mau kemana emangnya?”
Keduanya telah sampai di kantin yang ramai dan Yohan mengambil kursi yang kosong untuk mereka berdua dan masih belum menjawab pertanyaan dari Maya. “Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Aku mau lanjut ke sana.”
Maya terdiam. Ia juga sudah memikirkan kuliahnya sejak masih duduk di kelas satu SMK, ia sudah belajar dengan giat, mungkin lebih daripada siapa pun di kelasnya. Tujuannya adalah kampus di wilayah Jawa, maka dengan singkat ia merasa sedih dengan jarak yang akan ia miliki dengan Yohan. Namun, secara cepat ia sadar, bahwa hubungannya dengan Yohan tak lebih dari teman.
“Kalau dirimu? Mau lanjut kemana, May?”
Maya menegakkan kepalanya kembali, Yohan sudah membelikan minuman untuknya tanpa ia sadari. “Ah, kalau jalur rapor paling ke UGM, kalau jalur ujian, mungkin UNPAD atau UNDIP, masih mikir-mikir.”
“Pasti jurusan sastra.”
Maya hanya tertawa kecil dengan tebakan Yohan yang benar. “Iya, tapi fakultas ilmu budaya, aku gak mau jadi guru, gak cocok.”
“Oh, gitu? Kenapa gak mau coba juga di film?”
“Kalau film, aku bakal tetap nyari daerah Jawa. ISI Jogja mungkin, tapi seleksinya lebih ketat daripada di Padang Panjang. Portofolioku juga gak sebagus dirimu jadi ya, aku ambil jalur aman aja,” jelasnya pelan dan meminum teh esnya.
Keduanya terdiam sebentar. Keributan di kantin, seperti biasa memenuhi isi telinga mereka. Itulah alasan mengapa mereka lebih sering duduk di lorong kelas sambil memakan jajanan yang telah mereka beli. Terkadang keduanya seperti lebih dari teman, tapi nyatanya tidak demikian. Mereka hanyalah teman yang hobi pergi bersama dan mungkin hanya Maya yang menyukai Yohan secara kompleks.
“Setelah lulus, maksudku kuliah, mungkin lima tahun lagi, mau bikin film bareng gak?” tanya Maya. Ia menunggu jawaban dari Yohan yang seolah sedikit kaget dengan pertanyaan itu. “Maksudku sama anak tim yang lain juga.”
Yohan tersenyum tipis. “Mau.”
Maya tersenyum lega, seolah menghilangkan rasa kecanggungan di antara mereka berdua. Maya hanya ingin waktu yang lebih panjang, meskipun dalam dirinya ingin menghabiskan diri di dalam saku. Namun, hubungan pertemanan sederhana yang ia miliki, membuatnya ingin melanjutkan hidup lebih lama lagi. Dalam waktu yang lebih panjang, ia ingin hilang dari semua trauma yang dimilikinya. Ia ingin hidup bebas seperti perempuan pada umumnya, bagaikan gadis-gadis di sekolahnya. Meskipun yang bisa menerima buruknya hanyalah segelintir orang yang telah menghabiskan banyak waktu bersamanya.
Keduanya kembali ke kelas setelah memastikan lima menit sebelum jam istirahat berakhir. Pembicaraan di antara keduanya mengalir begitu saja, bahkan di perjalanan menuju kelas tetap disempatkan untuk bercanda. Seolah Yohan mengusahakan supaya Maya tak lagi mengingat masa-masa kelamnya sebagai seorang perempuan.
“Maya, ini bukan akhir dari segalanya. Kamu bisa kembali menjadi perempuan yang seutuhnya, carilah jati dirimu yang sesungguhnya.” Sungguh Yohan ingin berkata demikian. Hanya saja, tenggorokannya terasa kering, mulutnya kaku dan ia tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menyemangati teman perempuannya itu.
Pelajaran berlanjut hingga akhirnya waktu untuk pulang tiba. Maya merasa jik hari ini Yohan sangat dekat dengannya, meskipun ia tidak mengerti kenapa pemuda itu jadi seperti demikian. Apa efek dari dirinya yang kumat semalam suntuk, atau mungkin karena hal lain. Namun, apa pun itu, Maya tidak ingin berharap lebih dari pemuda yang mungkin hanya sosok temannya belaka.
* * *
Dinding kamar yang dingin adalah saksi. Maya bertaruh dalam kehidupannya untuk menatap dinding kamar yang sama setiap tahunnya. Kesialan, kebahagiaan, kesedihan, trauma, semuanya, dinding kamar mungkin satu-satunya yang melihat semua yang dilakukan oleh Maya dan apa pun yang terjadi di tempat itu.
Sepulang sekolah, menjatuhkan tas ke lantai dan membanting tubuh di atas kasur. Wajahnya menghadap ke dinding, bagaikan mengadu kepada sang arsitektur bahwa ia habis menjalani hari yang super menyenangkan bersama gebetan yang sudah ia taksir sejak lama. Ia hanya bergumam tipis dalam menceritakannya. Hal sederhana yang telah dilakukan Yohan sesungguhnya telah memberikan banyak dampak di hidupnya. Gadis pembenci laki-laki menjadi gadis yang mencintai anak laki-laki seseorang.
Handphone-nya bordering, Maya segera memutar tubuhnya dan meraih benda persegi panjang itu dari atas meja untuk mengecek pesan masuk. Pesan itu merupakan titik baliknya sebagai wanita yang seutuhnya dan Maya juga berharap demikian.