Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

“Enggak ada balapan, ya.” Aku memberi ultimatum ketika Ansel mendorong sepedanya keluar dari garasi.

“Takut kalah?” ledeknya, ketika tiba di depanku. Ansel memasang helm sambil tertawa.

“Mumpung lagi cerah, An. Terus anginnya juga enak, jadi pengin enjoy aja.” Aku beralasan.

Beruntung Ansel sudah berhenti bertanya. Dia mengayuh sepedanya dalam diam, berusaha mengimbangi kecepatanku, sehingga kami bersepeda beriringan. Sesekali, Ansel melirikku dan pandangan kami bertemu. Melihat senyum Ansel selalu menimbulkan desir halus di hatiku.

Area kompleks rumah ini lumayan besar, sehingga bersepeda keliling kompleks saja sudah cukup. Namun sore ini, aku dan Ansel mutusin untuk bersepeda lebih jauh. Kami menuju ke arah luar kompleks dan bersepeda tanpa arah. Tahu-tahu, kami sudah sampai di depan The Breeze.

“Mampir, yuk,” ajak Ansel.

Aku mengangguk dan mengikuti Ansel menuju area parkir sepeda. Setelah memarkir sepeda di sana, aku dan Ansel memasuki The Breeze yang sore ini cukup ramai. Kami melewati area restoran yang memenuhi tempat ini, dan terus masuk ke dalam hingga melihat danau buatan dengan airnya yang berwarna hijau.

Aku mengempaskan tubuhku di anak tangga terakhir, sebelum pagar besi yang membatasi area ini dengan danau.

“Mau boba enggak?” tawar Ansel.

“Menarik,” sahutku.

“Gue beliin, ya. Tunggu sini.”

Sambil menunggu Ansel, aku menatap ke danau di hadapanku. Aku mengeluarkan handphone dan memasang earphone, mendengarkan lagu favoritku. Rasanya begitu menenangkan.

Aku tersentak saat seseorang menarik lepas salah satu earphone. Tidak lama, segelas besar minuman muncul di hadapanku.

“Thanks, An.” Aku menerima minuman yang disodorkan Ansel, lalu mematikan musik di handphone.

“Jadi, lo balikan sama Dafa?”

Tanpa sengaja, aku menghela napas panjang. “Gue enggak bilang iya, cuma orang-orang nangkepnya gitu.”

“Lo juga enggak nolak, makanya muncul persepsi kayak gitu.”

Ansel benar. Aku juga enggak menolak, meski enggak bilang iya, jadi orang-orang bisa punya pendapat bebas.

“Lo marah, ya, sama gue?”

Ansel menatapku dengan kening berkerut sambil menyeruput minumannya. “Kenapa gue marah?”

“Lo udah nasihatin gue, tapi gue malah bebal.”

Di luar dugaan, Ansel malah tertawa. “Ya enggaklah, An. Lo pasti punya alasan buat balikan sama Dafa.”

“Soal di Bali, gue minta maaf, ya.”

“Sudahlah, lo enggak salah. Kalau ada yang harus minta maaf ke gue, itu cowok lo. Tapi, dia udah minta maaf sama lo, pakai bikin surprise segala,” timpal Ansel.

“Lo nonton live itu?”

Ansel menggeleng. “Semua teman di sekolah ngomongin itu, jadi gue penasaran.”

“Norak banget, ya.” Aku tertawa miris.

“Ya, cowok lo, kan, emang kayak gitu. Tapi, gue serius deh, An. Emang cewek suka, ya, kalau dikasih surprise begitu?” Ansel menatapku serius.

“Lo mau bikin surprise buat Nashila?” tuduhku. Membayangkan Ansel memberikan kejutan buat Nashila membuatku dilanda cemburu. Padahal, aku enggak punya hak untuk cemburu.

Ansel tampak kikuk, dia menggaruk bagian belakang kepalanya sambil menyengir. “Enggak, sih. Cuma gue sering lihat Dafa bikin kejutan buat lo. Teman-teman di sekolah juga komentar kalau itu romantis banget. Jadi, gue penasaran aja.”

“Kalau kejutannya tulus, sih, romantis, ya. Kalau kejutannya Dafa … well … lebih karena kebutuhan konten,” sahutku.

“I see. Kalau gue bikin kejutan buat Nashila, lo mau bantuin?” Ansel menatapku penuh harap.

Bantuin Ansel bikin kejutan buat Nashila? Dalam hati, aku menolak mentah-mentah tawaran itu. Mana mungkin aku mau bantuin Ansel bikin surprise buat pacarnya, karena mikirin itu aja sudah bikin aku cemburu.

Namun, di depan Ansel, aku malah mengangguk. I’m his best friend. Sahabat ya sudah seharusnya saling membantu.

“Lo enggak kepikiran buat manjat lewat jendela kamar dia pas jam 12, kan?” tebakku.

Ansel terkekeh. “Ya enggaklah. Kamarnya ada di lantai dua, mau manjat gimana?”

Aku memaksakan diri untuk tersenyum, meski hatiku gondok.

“Lagian itu, kan, tradisi kita, An.”

Ansel enggak pernah tahu, kalau dia seringkali membuatku salah tingkah. Seperti ucapannya barusan, sukses membuatku mengusir jauh-jauh rasa kesal dan cemburu kepada Nashila. Aku memang sahabatnya Ansel, tapi aku dan Ansel mempunyai something special yang hanya berlaku untuk kami berdua. Nashila, sekalipun dia adalah pacarnya Ansel, enggak ikut merasakan hal spesial itu.

“Kapan audisi teater sekolah lo?” Ansel tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

“Dua minggu lagi. Gue deg-degan banget. Ini audisi pertama yang gue ikutin karena gue mau. Gue ngarep banget, sih, dan takut kecewa kalau enggak dapat.” Aku berkata panjang lebar.

“Pasti bisalah. Lo, kan, udah latihan.”

“Saingannya banyak dan berat-berat,” keluhku.

Ansel bangkit berdiri dan pindah duduk ke dua anak tangga di atasku. Aku menatapnya dengan kening berkerut, kaget dengan tindakannya yang tiba-tiba itu.

Ansel menunjuk space kecil di anak tangga terakhir yang berbatasan dengan pagar besi. “Anggap aja gue penonton. Gue mau lihat akting lo.”

Sontak aku tertawa saat mendengar idenya itu. “Ngaco, ah. Gue belum siap.”

“Kan, cuma latihan,” bantahnya. “Gue bukan kritikus, sih, tapi gue bisalah kasih penilaian.”

Aku menatapnya dengan mata menyipit, sementara Ansel balas menatapku dengan wajah serius. Dia meyakinkanku untuk berani menerima tantangannya. Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dan menuju ke tempat yang ditunjuknya.

“Seadanya, ya. Gue belum hafal semua dialognya.” Aku buka suara. Sekali lagi, aku menghela napas panjang dan mempersiapkan diri sebagai Sasta, karakter yang aku incar.

Sasta digambarkan sebagai anak SMA, sama sepertiku. Dia punya hubungan yang pelik dengan ayahnya, kurang lebih sama sepertiku dan Mama meski masalahku dan Sasta berbeda. Di depan Ansel, aku memerankan adegan Sasta bertengkar dengan ayahnya yang marah karena enggak mendukung Sasta menjadi penyanyi.

Enggak banyak yang bisa aku tampilkan, jadi enggak sampai lima menit, aku selesai menjadi Sasta. Meski cuma Ansel yang melihatku, rasanya deg-degan banget.

Aku berjongkok sambil menutup wajah, enggak berani melihat tanggapan Ansel.

“Bagus, kok, An. Tadi, sih, gagap karena lo belum hafal dialognya. Gue yakin lo pasti bisa kalau latihan lebih sering lagi.” Ansel berkata pelan, ikutan berjongkok di depanku.

Perlahan, aku mengangkat kepala hingga bersitatap dengannya.

“Gue serius. Kan lo tahu kalau gue paling males lip service.”

Aku tahu itu. Ansel bisa bersikap objektif, termasuk mengkritik di saat yang tepat.

“Gue khawatir aja, An,” ujarku pelan.

“Apa yang bikin lo khawatir?”

“Banyak,” sahutku. “Tapi yang pasti, gue khawatir kalau ternyata ini bukan buat gue. Gimana kalau sebenarnya gue enggak mau ikut teater dan alasan gue karena pengin ikutin Trin atau cuma pengin bikin Mama kesal karena lakuin sesuatu tanpa seizin Mama?”

Ansel enggak langsung menjawab, dia hanya menatapku lekat-lekat.

“Gimana kalau gue enggak enjoy dan happy ngejalaninnya?” lanjutku.

“Gimana bisa tahu kalau enggak mencoba? Mungkin teater bukan buat lo, but at least you tried. Jadi, lo enggak bertanya-tanya lagi,” timpal Ansel. “Soal alasan-alasan tadi, nanti bakal kejawab kok. Buat ngeyakinin diri ya dengan mencobanya, An.”

Aku enggak menyahuti penuturan Ansel, hanya bisa membalas tatapannya.

“Lo tahu enggak kalau gue dulu juga ragu buat submit foto gue? Lawan gue fotografer hebat, sementara gue cuma amatiran yang masih belajar foto. Tapi, kata Mama, kenapa enggak dicoba? Kalau gagal, ya belum rezeki. Masih bisa coba lagi kalau emang mau.” Ansel tersenyum lebar. “Ya sama kayak lo. Coba aja, enggak ada salahnya, kan?”

“Termasuk diomelin Mama?”

Ansel mengangguk tegas, dengan tatapan yang terus memakuku.

“Tapi yang bakal kena omel sekarang, sih, gue kalau kita pulangnya kemalam. Yuk, pulang, sebelum gue direbus hidup-hidup sama Mama Nica.” Ansel terkekeh.

Ansel bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Dengan ragu, aku menyambut uluran tangan itu.

Genggaman tangan Ansel hangat dan erat. Sekaligus membuatku jadi makin berdebar, terlebih karena Ansel enggak melepaskan genggamannya sampai kami tiba di parkiran sepeda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Werewolf, Human, Vampire
4386      1384     1     
Fan Fiction
WATTPAD PUBLISHED STORY!(username: msjung0414) 700 tahun lalu, terdapat seorang laki-laki tampan bernama Cho Kyuhyun. Ia awalnya merupakan seorang manusia yang jatuh cinta dengan seorang gadis vampire cantik bernama Shaneen Lee. Tapi sayangnya mereka tidak bisa bersatu dikarenakan perbedaan klan mereka yang tidak bisa diterima oleh kerajaan vampire. Lalu dikehidupan berikutnya, Kyuhyun berub...
Rumah Tanpa Dede
267      194     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Time and Tears
626      467     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Spektrum Amalia
1380      945     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Can You Be My D?
238      210     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
4016      1753     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
The Final Promise
912      267     0     
Romance
The Final Promise menceritakan kisah Ardan dan Raya, pasangan yang berjuang menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Raya, yang tengah berjuang dengan penyakit terminal, harus menerima kenyataan bahwa waktunya bersama Ardan sangat terbatas. Meski begitu, mereka berdua berusaha menciptakan kenangan indah yang tak terlupakan, berjuang bersama di tengah keterbatasan waktu. Namun, takdir membawa Ardan ...
Deep End
101      92     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
463      363     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Catatan Takdirku
2486      1292     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...