Setelah mengajukan surat resign, aku pikir bakal langsung dilepas begitu aja. Tapi ternyata engga. Belakangan, sikap Pak Jansen malah jadi melunak kepadaku. Beliau jadi nyapa duluan dan senyum, sesuatu yang biasanya Cuma dilakukan ke karyawan-karyawan kesayangannya, termasuk Devan.
Beberapa kali bahkan beliau tanya kepadaku, “Apa udah dipikirkan matang-matang? Kamu masih dibutuhkan tim lho…”
Lho, ternyata dia itu Cuma petantang petenteng di belakang orangnya aja! Kalau di depan karyawan yang mau resign mentalnya bisa ciut juga!
Tapi mentalku sudah bulat. Setelah dipikirkan terus, memang resign mungkin adalah solusi paling pas buatku saat ini. aku sudah capek banget secara mental karena harus konsul psikolog minimal sebulan sekali. Tapi yang paling menguatkan tekadku adalah karena masuk IGD, aku jadi makin yakin kalau aku harus istirahat dulu dari karir ini.
Yang penting aku tinggal bertahan selama sebulan aja sebelum hari terakhirku kerja disini.
Sore itu aku dan Tasya makan dimsum kesukaan kami di dekat kantor. Nggak terasa udah H-15 sebelum hari kerja terakhirku di PT APE. Akhir-akhir ini aku jarang lembur, mungkin karena beberapa tugasku udah dioper ke anak baru—atau kalau boleh dibilang: korban baru.
“Lo ngga usah resign aja sih, Ra… pindah divisi kek gitu…” tiba-tiba Tasya bergumam.
Aku menyuap dimsum ke mulutku lalu bertanya padanya, “Kenapa?”
“Ntar gue makan siang sama siapa? Makan dimsum sama siapa? Ngegosipin anak-anak kantor sama siapa coba?”
“Yaelah kayak gue doang temen lu!” ujarku. Tasya kan social butterfly, ngapain cemas gitu.
“Ya kan lu yang paling deket sama gue!”
“Nanti kita tetep hangout bareng, okey?”
“Tauk ah!” Tasya masih merengut. “Curang banget lu resign tiba-tiba!”
“Ya nggak tiba-tiba juga… lu tau sendiri kan udah lama gue gak betahnya,” aku menatap langit sore Jakarta yang pekat tertutupi polusi udara. “Yang bikin gue makin mantep akhir-akhir ini ya pas gue sadar gak bisa jadi beban tim terus dan juga gue gak mau fisik dan mental gue terganggu gara-gara pekerjaan ini…”
“Pak Jansen padahal sering banget marahin karyawan, gak cuma lo doang kok,” Tasya menghiburku. “Gue kan juga pernah dimarahin.”
“Tapi paling sering kan gue. Dan lagi…” Aku teringat ucapan Devan yang bilang bahwa ia terbebani karena lembur karenaku.
Tasya menyenggolku, “Dan kenapee?”
“Ng…Nggak jadi… eh, ada yang tanya ke lo nggak masalah gue resign?”
“Yah biasa sih anak-anak, siapa ya… Faisal, Dwi, Rebecca, Ayu pada nanya ke gue sih. Kenapa?”
“Nggak apa-apa…”
“Dih, aneh lu! Oh iya, ortu lu bilang apa soal lo resign?”
“Gue belom bilang lagi ke Bunda sama Bapak.”
“Yang bener loo?”
“Iya, gue bingung gimana bilangnya… oh iya, lupa!” aku menepuk jidatku. “Gue jadi inget, belom ngabisin bekal dari Bunda tadi siang. Habisin sekarang, ah! Nanti Bunda ngomelin gue, lagi!”
Aku segera mengeluarkan kotak bekal berwarna biru muda dari dalam tasku. Terlihat ada sedikit nasi dan ayam fillet yang belum habis, aku pun memakannya.
Tasya meminggirkan piring dimsumnya yang sudah habis. “Dasar lo, udah umur 25 taun masih aja dimasakin nyokap lo. gimana nggak dianggep anak kecil terus lo.”
Ucapan Tasya mungkin hanya keluar spontan dari mulutnya, tapi begitu membekas di pikiranku…
Pertama kali aku tau bahwa banyak orang yang boleh memilih jurusan kuliahnya sendiri adalah saat aku kuliah semester keempat dan sedang ngobrol sama teman-teman kuliahku. Aku kira hampir semua orang sudah diatur oleh orangtuanya mengenai masa depan mereka, ternyata nggak juga. Banyak kok orang-orang yang diperbolehkan memilih masa depannya sendiri.
Nggak sepertiku dan Mas Dirga, seolah peta kehidupan kami sudah dibentangkan saat kami lahir ke dunia ini. dari nama kami saja sudah seolah kami sudah diharuskan berkarir ke bidang Teknik. Dari kecil aku dan Mas Dirga selalu diceritakan yang hebat-hebat mengenai bidang ini namun… kenapa setelah dijalani rasanya seperti menyiksa?
Kata orang, jalani aja dulu… nanti juga terbiasa. Ini sudah tahun ke keenamku di bidang ini termasuk kuliah dan kerja. Tapi kenapa aku belum bisa terbiasa?
Tapi setiap aku ceritakan perasaanku ini kepada teman-temanku, nggak ada dari mereka yang relate. Kalaupun ada yang nggak cocok juga di bidang ini, katanya “Yah, lanjutin ajalah. Udah terlanjur ‘nyebur’ ini.”
Seperti Tasya, impian awalnya adalah sebagai Fashion Designer. Konyolnya, dia salah masukin kode jurusan saat mendaftar kuliah. Tapi dia juga berprinsip ‘Jalanin ajalah, udah terlanjur’.
Kadang aku merasa sendirian… nggak ada yang memahamiku, bahkan teman-temanku.
Aku jadi teringat kata-kata Tasya belum lama ini, “Udah umur 25 taun masih aja dimasakin nyokap lo. gimana nggak dianggep anak kecil terus lo.”
Apakah itu alasan orangtuaku sudah memilihkan bidang ini untukku? Karena aku masih dianggap anak bungsu yang nggak bisa dan nggak tau apa-apa? Apakah karena aku dianggap belum bisa mengambil keputusan sendiri untuk hidupku…?
Kalau benar itu yang terjadi, maka aku harus merubahnya…. Aku nggak mau begini terus menerus.
Weekend itu, H-3 resign, aku mengajak Bunda dan Bapak berkumpul di ruang tamu. Saat itu weekend malam, hanya ada kami bertiga di rumah karena Mas Dirga katanya ada pekerjaan.
“Tumben kamu nggak jalan sama Tasya,” celetuk Bunda sambil menyeruput teh buatannya.
Aku hanya diam sambil masih berpikir kalimat apa yang bagus untuk mengawalinya.
Bapak mengambil remote TV dan hendak menyalakannya.
“Pak, Bu…” Akhirnya aku bersuara. “Therra mau ngomong…”
Bapak menurunkan remote TV, Bunda masih memandangku dengan bingung.
“Ngomong apa, Nak?” tanya Bapak.
“Tau ih, Si Therra. Ngomong apa sih? Kok jadi serius gini.”
Aku menatap mereka dengan mantap. Akhirnya kuceritakan apa yang kualami selama ini. betapa pekerjaanku menyiksaku, betapa aku ingin mencoba sesuatu yang baru.
“Therra… udah resign Pak, Bun…”
Bunda dan Bapak masih terdiam, namun raut wajah mereka kaku dan tegang. Mereka seolah sudah mengantisipasi kalimat yang akan kuucapkan tapi masih tidak mau percaya.
“Kapan?” tanya Bapak pelan.
“Udah dari sebulan yang lalu, terus ini udah one month notice… jadi 3 hari lagi hari kerja terakhir Therra di APE.”
“Tiga hari lagi??” Bunda bertanya. “Kok baru bilang sekarang sih?”
“Kalo Therra cerita dari sebulan yang lalu… emang Bapak dan Bunda ngijinin?”
Mereka kini terdiam, tidak lagi menatapku tapi pikiran mereka sama-sama kalut.
“Therra…” Bapak membuka suara. “Dimana-mana yang namanya kerja itu ya begitu, Nak. Capek, lelah, kadang dimarah-marahin… nggak kamu aja, semua orang juga gitu.”
“Iya Therra, cobalah kamu latih mentalmu biar lebih kuat lagi. Kamu selama ini bisa-bisa aja kok ngejalaninnya,” timpal Bunda.
Tuh kan… di rumah ini nggak ada yang bisa ngertiin aku.
Aku udah capek mengorbankan diriku demi kebahagiaan orang lain terus. Aku juga ingin mencari kebahagiaanku sendiri. Aku juga ingin mencari pekerjaan yang aku bisa berkembang disana dan bahagia karenanya.
Pasti ada kok! Aku hanya belum mencarinya aja!
“Karena itu, Therra mau hidup mandiri, Pak, Bun…”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya, Therra mau kos sendirian.”