Bulan pertama di Kos Putri Rianti
Aku membuka jendela kamarku pagi ini sambil meregangkan badanku. Udara pagi dan sinar matahari hangat masuk ke dalam kamarku yang terletak di lantai 2.
Jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Sebulan yang lalu, jam segini aku sudah berangkat kerja. Tapi saat ini aku masih sempat beres-beres kamar. Aku menyapu kamar dan membereskan bungkus snack sisa nonton Netflix tadi malam.
Di kamar mungil berukuran 2,5x3 m ini aku menghabiskan sebulan terakhirku untuk refreshing, riset dan mengikuti banyak kelas. Aku memulihkan tubuhku yang tadinya sering sakit-sakitan ini. Untungnya asam lambungku udah nggak pernah kambuh lagi, haidku mulai lancar dan aku merasa lebih sehat.
Udah lama banget aku nggak nonton film atau series, jadi aku juga banyak maraton series di Netflix. Tapi tentunya aku nggak melupakan tujuan utamaku, yaitu mencari pekerjaan yang lebih cocok bagiku agar aku bisa menjalaninya secara jangka panjang. Di pekerjaan lamaku, menjalaninya selama hampir 2 tahun aja udah membuatku tersiksa.
“Kan bisa dilakukan di rumah? Kenapa mesti ngekos?” Itu yang Bunda tanyakan padaku.
Tapi yang nggak Bunda sadari adalah dia selalu berasumsi bahwa aku akan kerja lagi di kontraktor atau proyek lain. Padahal aku sudah membulatkan tekadku untuk mencoba bidang lain. Makanya aku merasa di masa pencarian ini, aku nggak boleh terpengaruh orang lain. Aku merasa hampir semua keputusanku selama ini dipengaruhi orangtuaku.
Beberapa bulan sebelumnya, aku kadang ngobrol sama beberapa teman kuliahku yang juga kerja di bidang konstruksi. Kalau masih di bidang ini ya sama aja pekerjaannya, paling beda tipe atasan dan budaya kantor aja. Untuk jobdesk dan yang harus dilakukan setiap hari dimana-mana ya sama aja di bidang ini.
Makanya aku merasa kalau hanya pindah kantor tapi masih di bidang yang sama, bagiku kayak keluar dari mulut buaya tapi masuk ke mulut harimau. Aku akan menemui masalah seperti di kantorku yang sebelumnya, karena masalahnya aku memang nggak cocok sama bidangnya!
Aku akan mempelajari apa yang bisa kupelajari. Beberapa tahun terakhir ini banyak pekerjaan mengenai Digital Marketing, Project Management, Virtual Assistant, dan lainnya. Yang membuatnya makin menarik adalah karena kita bisa mempelajarinya tanpa harus kuliah atau belajar bertahun-tahun! Tapi hanya butuh beberapa bulan untuk mempelajarinya.
Apalagi ada beberapa contoh kasus dari orang yang switch career juga dan mereka merasa lebih enjoy menjalaninya. Maka aku pun mempelajarinya dan nantinya aku akan memutuskan apa yang kusukai dan akan kujalani ke depannya.
Bulan ketiga di Kos Putri Rianti
“Baru pulang, Therra?” sapa Kak Sissy, tetangga kamar kosku yang sedang menyapu bagian depan kamarnya.
“Eh, iya Kak. Kenalin ini Tasya Kak,” Aku menunjuk ke Tasya yang berjalan di belakangku di koridor kamar kos. “Tasya, ini Kak Sissy dari kamar sebelah. Kerjanya jadi Accounting di Bank.”
“Halo Kak Sissy,” sapa Tasya dan dibalas juga dengan senyuman oleh Kak Sissy.
“Lo udah dapet kerja, Ra?” tanya Kak Sissy.
“Belum, tadi baru ke mall aja sama Tasya, Kak. Yuk Kak, kita masuk dulu yaa..” Aku dan Tasya pun memasuki kamar kami.
“Kebanyakan yang ngekos disini udah kerja ya?” tanya Tasya sambil menutup pintu kamarku.
Aku mengambil bantal duduk dan meletakkannya di lantai untuk Tasya.
“Iya, tapi ada juga sih yang kuliah.”
“Ada yang nganggur, nggak?”
Aku melirik Tasya dengan tajam. “Nyindir gue, lo??”
“Enggaaak, serius! Siapa tau ada yang kayak lo, lagi career gap atau nyari kerja gitu.” Tasya mengelak.
Aku mengeluarkan jus kemasan kotak kecil dari kulkas miniku dan menaruhnya di depan Tasya. Aku pun duduk di sampingnya.
“Ada sih bulan lalu, tapi orangnya udah pulang ke rumah ortunya di Bandung.”
“Iya sih… normalnya ‘kan orang kalo lagi gak ada penghasilan ya tinggal sama ortunya. Elo begitu resign udah gak dapet gaji bulanan malah ngekos!”
Aku menghela napas. “Lo kayak nggak tau ortu gue aja… kalo gue masih tinggal disana pasti gue udah disuruh ngelamar kerja ke bidang teknik lagi.”
Sebenarnya keputusanku ngekos ini sempat dilandasi atas amarah. Kenapa kok aku ngga boleh milih jalan hidupku sendiri? Bukannya itu hak dasar tiap orang ya? Tapi kan nggak mungkin aku bilang itu ke orangtuaku, makanya aku memutuskan buat ngekos aja.
Untungnya tabunganku lumayan banyak karena sering lembur selama setahun terakhir. Bapak pun kadang menanyaiku kalau aku butuh sesuatu. Tapi tetap aja setelah 3 bulan berlalu tanpa penghasilan… lumayan mengurangi tabunganku.
“Eh iya, gimana promosi kue Mama gue bulan depan?” tanya Tasya.
Beberapa bulan ini aku sedang belajar mengenai Digital Marketing, khususnya promosi sebuah bisnis di social media. Kebetulan Mamanya Tasya ada bisnis kue kering dan cemilan. Akupun menawarkan untuk mempromosikan usahanya di social media, hitung-hitung sebagai portofolioku juga.
Aku membuka laptop di meja lipat. Aku lalu membuka website Canva dan menunjukkan design-designku padanya.
“Bulan depan karena ada Hari Guru Nasional, gimana kalo bikin paket hampers? Target marketnya buat para siswa yang pingin kasih hadiah buat guru atau dosennya.”
Aku pun teringat orangtuaku yang juga merupakan Dosen dan Guru. Apakah harus kuhadiahkan ke mereka juga?
“Ooh bagus, Ra! Design-design lo juga cakep-cakep!” seru Tasya saat melihat laptopku. “Jangan-jangan ini passion yang selama ini lo cari? Apa namanya, Designer ya?”
“Graphic Designer? Nggak tau sih… gue lumayan enjoy semuanya sih di Digital Marketing ini. mulai dari brainstorming campaign, bikin copywriting, bikin designnya…”
“Wiih udah jago lu,” puji Tasya.
“Nggak juga, gue masih banyak belajar Tas,” sanggahku. “Gue masih banyak belajar teorinya, aplikasinya baru dikit. Baru gue coba aplikasiin di bisnis Mama lo doang ini.”
“Udah ngelamar ke perusahaan lain?”
“Udah, tapi ditolak semua. Ya iyalah gue kan belom punya pengalaman.”
“Semangat yaa!” Tasya menepuk bahuku. “Nanti gue kirimin hampers deh sebagai balas jasa lo udah promosiin bisnis Mama gue selama sebulan terakhir ini.”
“Bener ya? Hampers premium?”
“Ntar deh liat kalo penjualannya udah naik dulu! Gue aja belom dapet komisi dari Mama gue.”
Aku dan Tasya pun tertawa bersama sebelum kami binge watching Kdrama yang sedang viral dari laptopku.
Bulan keenam di Kos Putri Rianti
Malam itu suara kamarku terdengar diketuk dari luar. Aku yang sedang mengikuti kelas zoom pun ijin off cam, lalu membuka pintu kamarku.
“Mas Dirga?” tanyaku kaget saat melihat kakakku berdiri di depan kamar. “Masuk, Mas.”
Mas Dirga masuk ke dalam kamarku sambil memperhatikan sekelilingnya. “Tumben rapih.”
Aku mendengus. “Ih Mas kan baru 2 kali kesini. Sok tau banget.”
Mas Dirga mengangkat plastik yang ia bawa. “Makan malem yuk.”
Aku menunjuk ke laptop yang terletak diatas meja lipatku. “Aku lagi ada zoom kelas, Mas. Makan duluan aja ya?”
“Oh… okey,” ucap Mas Dirga. Ia lalu mengambil piring dan gelas yang ada di atas rakku.
Aku pun kembali memakai headphone dan menyimak kelas onlineku itu. Sekitar satu jam kemudian, kelas pun selesai. Aku menoleh dan mendapati Mas Dirga sedang tiduran di kasurku sambil main HP.
“Kok mendadak Mas kesininya?” tanyaku yang duduk di tepi kasur.
“Tadinya mau minggu lalu main kesini sama Bunda, tapi aku kan nggak bisa. Bisanya sekarang.”
“Oh… gitu,” ucapku, bingung mau menimpali apa lagi.
“Makan gih, nanti perutmu sakit.”
Aku pun menyantap makanan yang dibawakan Mas Dirga. Tongseng ayamnya lumayan enak dan banyak, pas buat perutku yang mulai keroncongan ini.
“Belajar apa tadi?”
“Digital marketing.”
“Tentang apa itu?”
“Ya… marketing, buat promosiin usaha secara online gitu.”
“Hmm… jadi ijazahmu S1 Teknik beneran nggak dipakai lagi?”
Aku terdiam beberapa saat. “Nggak tau, Mas.”
“Kok gitu?”
“Aku nikah aja kali ya? Biar dinafkahin suamiku aja? Pusing banget pencarian jati diri ini.” ucapku asal.
“Mau kukenalin sama temen-temenku di penerbangan?”
“Nggaklah makasih,” jawabku, nggak nyangka keasbunanku bakal ditanggapin. Sama diriku sendiri aja belum selesai, ngapain kenalan lagi orang baru.
Padahal Tasya sendiri sering minta tolong minta cariin jodoh melalui teman-teman kakakku.
“Atau… gue sama Mas Dirga aja ya? Mau nggak lo jadi ipar gue, Ra?” tiap Tasya ngomong gitu pengen aku jitak aja kepalanya. Dia aja gonta-ganti cowok kayak ganti sepatu, putus nyambung tiap 5 bulan sekali.
“Bunda sama Bapak ada cerita apa gitu ke Mas?” tanyaku penasaran saat teringat Bunda dan Bapak di rumah.
“Yah… mereka kadang masih bingung kenapa kamu memutuskan buat ngekos. mereka juga bingung kenapa kamu tiba-tiba nggak mau kerja di bidang teknik sipil lagi. Malah kemarin Bunda telepon nyuruh aku buat bujuk kamu balik ke bidang Teknik lagi.”
Aku berusaha menutupi kekecewaanku. “Jadi itu tujuan Mas Dirga kesini? Mau bujuk aku?”
“Nggak ah,” Ucap Mas Dirga sambil melipat tangannya di belakang kepala. “Itu kan keputusanmu. Yang ngejalanin dan paling tau masalahnya juga kamu.”
Walau Mas Dirga berbeda denganku, tampaknya dia berusaha memahamiku… walau pasti nggak bisa 100% paham sih.
“Walaupun aneh gini, tapi kamu tetep berhak milih jalan hidupmu sendiri,” kata Mas Dirga lagi.
Aku tersenyum ketika menyadari bahwa inilah cara Mas Dirga menyemangatiku.