Bulan ketujuh di Kos Putri Rianti
Akhirnya setelah puluhan lamaran kerja, ada undangan interview lagi!
Sejauh ini aku sudah menjalani 3x interview dan semuanya ditolak karena pengalamanku kurang. Memang sih sejauh ini bekalku melamar kerja di Digital Marketing hanyalah sertifikat dari lembaga bootcamp tempatku belajar dan portofolio dari menangani bisnis Mamanya Tasya.
Selama 6 bulan terakhir ini aku tetap beraktivitas layaknya masih bekerja. Paginya beres-beres kos dan siap-siap, siangnya mengerjakan promosi online bisnis kue Mamanya Tasya dan malamnya mengikuti kelas online dan mengerjakan tugas-tugasnya.
Biarpun kadang capek, bosen, kesepian, bingung arahnya mau kemana, dan banyak perasaan campur aduk lainnya… tapi aku tetap harus menjalaninya, karena ini adalah pilihan pertamaku sendiri dalam hidupku!
Aku harus bertanggungjawab dan menjalani pilihanku sendiri!
Pagi ini ada email baru yang masuk yaitu undangan interview dari Memento Mori, perusahaan makanan yang kulamar dari sebuah platform pencari kerja.
Aku sudah mandi dan kini bersiap-siap ke tempat interviewnya. Aku pun berdandan rapi, mencatok rambutku dan mengenakan kemeja yang dulu biasa kupakai saat kerja.
“Bismillah…” ucapku sambil keluar dan mengunci pintu kosku. Aku pun keluar kosan dan memesan ojek online di aplikasi.
40 menit kemudian, aku pun sampai di depan sebuah café bercat putih yang masih agak terlihat polos karena kurangnya dekorasi. Café itu lebarnya sekitar 6 m di pinggir jalan yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai. Lahan parkirnya pun cukup untuk sekitar 3 mobil. Terdapat teras dan dinding café itu full kaca yang tampak agak buram dari luar.
Aku mengintip ke dalam dan melihat sebuah ruangan yang cukup besar, namun kosong tanpa perabotan. Ini beneran alamat interviewnya? Kok tempatnya kosong gini ya?
Aku pun mengirim whatssap ke orang yang mengundangku interview.
Masuk aja ya, begitu pesan Kak Dian, nama HRD-nya.
Aku mendorong pintu kaca tersebut dan ternyata tidak dikunci, bisa terbuka dengan mudah. Lalu aku melangkah masuk dan melihat sebuah pintu yang bertuliskan ‘Staff Only’. Aku pun mengetuk pintunya.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat seorang wanita berambut pendek yang berdiri. Wanita itu mengenakan kaus tanpa lengan dan celana jeans. Ia mengenakan make up tipis, namun cantik natural.
“Therra, ya?”
“Iya. Bu Dian, ya?”
“Aduh, berasa tua banget gue dipanggil Bu.” Dian terkekeh.
“Oh, maaf… Kak,” ralatku.
Ia lalu mempersilahkanku masuk. Aku melihat sebuah koridor kecil yang terdapat tiga pintu disitu. Ia lalu membuka pintu yang terdekat dari tempatku berdiri dan mempersilakanku masuk.
Ruangan itu terdiri dari sebuah meja, dua kursi dan terdapat karpet disana. Yang tak kusangka adalah terdapat seorang baby sitter dan anak kecil berusia 4 tahun disana.
“Bik, ajak Vienna keluar ya,” ujar Dian.
“Baik, Non,” wanita berseragam baby sitter itu pun menggendong anak perempuan itu keluar ruangan.
“Sorry ya, agak berantakan.”
“Oh… nggak apa-apa, Kak,” ujarku sambil memandangi mainan yang berserakan di karpet.
“Please have a seat,” ujar Dian.
Kami pun duduk berseberangan. Aku merapihkan penampilanku dan menyerahkan CV dan Portofolioku seperti yang ia minta di Whatsapp.
“Oh ya, perkenalkan dulu ya, saya Dian, owner Café Memento Mori,” kata wanita itu.
“Owner?” tanyaku agak kaget.
“Iya, kenapa?”
“Oh… saya pikir Anda HRD-nya…”
Dian tertawa. “Yah, bisa dibilang aku HRD, Owner, Marketing… Hmm… apa lagi ya? Quality control mungkin, banyak peran sekaligus.”
Dian terlihat masih muda, sekitar 30an tahun. Jadi aku pikir dia salah satu karyawan disini, ternyata pemiliknya.
“So, tell me about yourself, Therra.”
Aku pun menceritakan tentang diriku secara singkat seperti yang kulakukan pada interview-interview sebelumnya. Aku bercerita mengenai backgroundku, bagaimana aku switch career, bagaimana prosesku belajar dan membantu mempromosikan usaha kue ibu Tasya di Social Media, dan lainnya.
“Hmm… interesting… kamu kan dari Teknik nih, nggak sayang sama gelar dan pengalamanmu?”
Pertanyaan itu sudah biasa Therra dapatkan saat interview offline maupun online.
“Sebelumnya saya sudah pernah menjalani kuliah dan kerja di bidang Teknik selama 1,5 tahun. Saya memiliki kesimpulan tidak cocok dengan bidang tersebut, lalu saya mempelajari beberapa hal. Dan bidang Digital Marketing inilah yang paling menarik sejauh ini buat saya.”
“Apa rencana kamu buat promosikan café ini?”
“Karena café ini baru akan buka, saya akan membuat beberapa teaser yang menarik dan mengiklankannya agar orang-orang aware akan keberadaan café ini. saya akan membuat dan menyebarkan flyer ke beberapa perumahan yang dekat dari sini dan mungkin membagikan beberapa sampel menu.”
“Kamu bisa editing posternya?”
“Bisa. Nanti akan saya buat sampel poster openingnya jika diperlukan.”
Kami pun berbincang mengenai teknis café tersebut, seperti menunya apa saja dan apa yang kira-kira akan menjadi menu andalan disini. Kami juga berbincang mengenai seperti apa konsep opening café ini, apakah akan mengundang influencer mikro, dan lainnya.
“Okay, you’re hired.”
Aku membelalakkan mata, merasa salah dengar. “Gimana, Kak?”
“I said you’re hired.”
That was fast! Biasanya akan ada tahap interview lagi, beberapa bahkan menggunakan psikotest dan menyuruhku membuat sampel konten promosi atau rencana marketing selama 6 bulan ke depan.
“Kamu anak teknik, jadi kayaknya kamu pinter,” ucapnya saat dia melihat aku masih terdiam tak percaya. “Lagian dari beberapa obrolan kita, kamu cukup tau tentang Digital Marketing.”
“Terima kasih, Kak Dian,” ucapku dengan semangat.
Dian bangkit dari kursinya. “Yuk, aku kenalin ke tim dapur.”
Kami melangkah keluar ruangan dan melihat 2 pintu lain yang tadi kulihat di koridor. Ternyata itu adalah pintu toilet dan dapur.
Aku pun diperkenalkan dengan tim kecil dapurnya. Ada Maya, Chef utama dan Laras sebagai Helper, Dimas di bagian Finance, Adinda sebagai Customer Servicenya.
Hari ini aku dipersilakan pulang dulu dan bersiap-siap untuk masuk kerja besok jam 8 pagi. Finally!! My first job in Digital Marketing!
Nggak terasa udah dua minggu aku kerja di café baru ini sebagai Digital Marketing Specialist. Hari ini Grand Opening Café akan dilaksanakan. Selama seminggu ini semua interior dan eksterior café dipenuhi. Kursi-kursi dan meja-meja, etalase dan rak untuk roti, meja kasir, pajangan bunga, semuanya ditata lengkap dan rapi dalam seminggu terakhir ini.
Aku mengedarkan pandanganku ke ruangan. Akhirnya tempat ini terlihat seperti café beneran. Dari ruangan serba putih polos yang kosong saat interview, sekarang bertransformasi menjadi ruangan putih dengan nuansa furnitur warna cokelat dan beige yang menghiasi setiap sisinya. Interiornya bertemakan Japandi atau gabungan dari interior Jepang dan Scandinavian yang minimalis, tapi tetap elegan dan manis. Beberapa tanaman hias menghiasi sudut ruangan.
Aku melangkah keluar café dan memandangi plang namanya. “Memento Mori.”
Aku pernah tanya artinya ke Dian dan jawabannya sungguh diluar nalarku.
“Ingatlah bahwa kamu pasti mati,” ucap Dian siang kemarin saat kutanya. Kami sedang ada di ruangannya setelah mendiskusikan tentang strategi marketing dariku selama 3 bulan ke depan.
“Hah…?” tanyaku yang kebingungan saat itu.
“Kamu tanya artinya kan? Ya itu artinya, bahasa latin.”
“Kalau bahasa latin kenapa nggak… Carpe Diem, Amor Fati atau apa gitu Kak?”
“Nah kan, aku juga mikirnya gitu awalnya. Tapi udah mainstream banget café dengan nama-nama itu.”
“Oh...,” ujarku pelan. “Asal jangan kasih tau ke pengunjung aja Kak, arti namanya. Nanti mereka takut dateng lagi.”
“Ada kok filosofi lainnya,” Dian menambahkan. “Mereka harus coba makan disini seenggaknya sekali seumur hidup mereka! Kan lagi ngetrend juga tuh di Tiktok… gimana ya kata-katanya… oh iya, ‘enak banget, sampe mau meninggoy!’ Hahaha!”
Aku hanya nyengir mendengar racauan bosku itu. Wanita ini emang nggak bisa ditebak.
Dia juga sempet cerita bahwa selama bertaun-taun dia tinggal di Austria karena kuliah dan kerja disana, dia juga menikah dengan orang Indonesia yang kerja disana dan punya anak yang bernama Vienna. Tapi lalu mereka bercerai dan Dian balik ke Indonesia. Dia membangun café ini dari uang modal pemberian ayahnya. Saat ini dia sedang kuliah S2 Hukum di salah satu universitas swasta.
Enak banget ya… usaha dimodalin, terus bisa kuliah S2 lagi. Yah… privilege orang memang beda-beda.
“Therra!” sebuah suara menyadarkanku. Dian berlari ke arahku sambil menunjukkan iPhonenya. “Views Reels baru kita tembus 2000 nih! Mantap juga kamu!”
Aku meringis. Memang angka yang cukup lumayan buat akun yang baru dibuat dan views post-post sebelumnya hanya berkisar di angka ratusan. Padahal aku cuma pakai trending audio sama bikin teaser café yang bikin penasaran aja. Konten-konten sebelumnya yang shootnya lebih niat malah viewsnya ratusan aja. Memang algoritma Instagram ngga bisa ditebak.
Perlahan followers Instagram Café Memento Mori pun mulai naik ke angka puluhan. Semoga aja setelah acara launching makin banyak followersnya.
Staff Memento Mori, atau biasa kami singkat MM, berkumpul bersama untuk berdoa pagi itu. Setelah itu Dian memberi kami briefing singkat tentang acara Grand Opening hari ini.
Ada beberapa tenaga tambahan hari ini, yaitu beberapa helper yang bertugas membantu staff di dapur, di meja kasir, waitress dan waiter yang akan melayani pengunjung, serta fotografer sekaligus videografer.
Sekitar jam 10 pagi, tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Beberapa pers dari harian ibukota atau koran lokal juga datang. Ternyata tamu-tamunya Dian banyak juga yang merupakan orang Indo, atau bule, tamu yang orang Indonesia pun kelihatannya kaya dan terpelajar. Wajar saja ya karena Dian pernah tinggal di Eropa.
Jam 11, Dian memberikan beberapa kata sambutan dan dilanjutkan oleh Ayah dan beberapa keluarganya. Tamu makin ramai berdatangan hingga kami harus menyewa beberapa kursi tambahan.
Aku mewawancara beberapa tamu undangan yang hadir dan menanyakan kesan pesannya tentang acara ini. moto seorang Content Creator adalah: Everything is a Content. Lumayanlah bisa buat stok konten beberapa hari ke depan.
Menjelang jam makan siang, dapur semakin sibuk, begitupula para waitress dan helper. Sepertinya sekarang tamu-tamu sudah beralih dari makan appetizer ke menu-menu utama di café.
Aku mendengar pintu depan café berderit di belakangku.
“Therra?” sebuah suara yang tak asing terdengar.
Aku menengok dan menatap wajah yang familiar itu.
“Devan?”