Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

KEMBANG API.

Mimpi.

Harapan.

Tidak ada bedanya.

Meski langit cerah, pada akhirnya mereka hanya meninggalkan kekecewaan. Kembang api—seperti mimpi—meluncur tinggi, mekar sekejap, memikat pandangan, lalu menghilang dalam gelap, terlupakan. Ia datang begitu singkat, tapi disukai banyak orang.

Terkadang aku bertanya-tanya, apa yang orang cari dari keindahan sesaat? Kenapa orang-orang suka berharap, suka bermimpi?

Kata seseorang, harapan diciptakan agar kita punya arah hidup. Mimpi dikejar agar bisa menjadi kenyataan. Tapi orang lupa, kita juga punya ribuan mimpi buruk. Dan untuk satu mimpi indah, kita harus melawan semuanya. Apa itu adil?

Semakin besar mimpi, semakin besar risikonya. Seperti kembang api. Semakin ingin tampak indah, semakin besar pula biaya, bahaya, dan tekanan untuk menciptakannya. Dan orang-orang di luar sana? Mereka hanya menonton. Menikmati hasilnya. Tidak tahu bagaimana rasanya menjadi "api" yang dibakar demi tampilan satu menit di langit malam.

Pernahkah mereka bertanya, bagaimana sulitnya menciptakan keindahan itu? Bagaimana sesuatu yang dibakar dan hampir meledak bisa menjadi sesuatu yang memukau? Tidak. Hampir tidak ada yang peduli soal proses. Mereka hanya ingin hasil. Mereka ingin sesuatu yang bisa dikenang, dipuji, dan dikagumi, walau hanya sedetik saja.

Baiklah, mungkin tidak semua orang begitu. Tapi aku berkata berdasarkan apa yang aku alami.

Aku dan kembang api malam ini. Tidak ada bedanya.

Mungkin, kembang api itu justru lebih beruntung dariku. Ia berhasil meledak di waktu yang tepat, meninggalkan kesan indah, walau hanya sementara. Sementara aku? Aku adalah kembang api yang gagal. Meledak sebelum waktunya. Membahayakan orang di sekitarku. Dan kini menjadi produk gagal yang tak lagi punya mimpi, harapan, atau sekadar keinginan menciptakan keindahan.

Yang lebih menyakitkan dari kehilangan harapan adalah… hangus sebelum sempat bermimpi. Bersama mimpi-mimpiku, aku terbakar. Bahkan tak ada luka yang tersisa untuk sekadar mengingatkan aku bahwa rasa sakit itu nyata. Aku hangus. Habis. Tak ada bekas.

Sekarang, aku masih hidup. Tapi rasanya… aku terjebak. Terjebak dalam waktu yang mengerikan. Seandainya aku sudah mati, mungkin lebih mudah dijelaskan. Tapi kenyataannya aku masih di sini. Hidup, tapi tak utuh. Mungkin aku ini hanya puing-puing yang tertinggal. Bagian dari kembang api yang gagal. Layak dibuang. Atau diabadikan sebagai artefak kegagalan.

Ini mungkin menjadi malam terakhirku melihat kembang api meledak di udara. Melihat langit malam dari beranda kamar ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa merasakan hal yang sama di hari-hari mendatang. Dalam beberapa jam, semuanya akan berubah.

Aku telah mengurung diri di kamar seharian. Tangis ini belum berhenti sejak beberapa hari terakhir. Aku lelah. Bahkan terlalu takut untuk tidur. Takut ketika aku bangun, semuanya sudah berbeda. Takut saat membuka mata, aku sudah dipindahkan ke tempat asing.

Kotak-kotak itu masih terbuka. Aku sengaja tidak menutupnya. Tidak dengan perekat. Tidak dengan tali. Aku membiarkannya terbuka. Seolah berharap aku bisa membatalkan semua ini. Mencabut semua keputusan mereka.

“Tiara...” Suara ibu. Lembut, berbeda dari biasanya. Sejak kemarin, ia mencoba membujukku agar bersiap. Tapi aku menolak. Bahkan ayah sampai membatalkan penerbangan dua hari lalu karena aku menangis seperti anak kecil.

Padahal… sebentar lagi aku berusia delapan belas. Sebentar lagi seharusnya aku menjadi dewasa.

“Ibu tahu pasti berat kan, meninggalkan rumah, kota, dan teman-temanmu?” katanya lagi, sambil menutup satu per satu kotak dengan lakban.

Aku tidak menjawab. Mataku masih menatap langit timur, tempat kembang api bermekaran. Entah ada perayaan apa di sana, tapi bagiku mereka seolah sedang merayakan kepergianku.

“Jangan lupa jam tiga kita harus ke bandara!” seru ayah dari lantai bawah.

“Tidurlah, Ibu akan bangunkan kamu jam setengah dua nanti, ya? Biar Ibu yang siapkan semuanya.”

Perkataannya membuat dadaku panas. Aku berbalik menatapnya. “Ibu… tidak mengerti perasaanku?” tanyaku, menahan emosi.

Ibu menatapku, mengangguk pelan. “Ibu mengerti.”

“Lalu kenapa aku harus pergi? Kenapa aku harus sendiri juga di sana? Aku sebentar lagi lulus, kenapa aku tidak boleh menyelesaikan sekolahku di sini?”

Ibu menarik napas. “Ibu akan menyusul setelah surat kepindahan Ibu keluar.”

“Ibu…”

Ia hanya tersenyum. Tak menjawab. Tangannya terus bekerja, merapikan barang-barangku.

“Bu…”

Aku tahu percuma. Ia sudah memutuskan. Aku bangkit dari dudukku, meraih tempat tidur, lalu bersembunyi di bawah selimut. Menangis. Tak ada yang bisa kulakukan lagi.

Sakit. Semuanya terasa menyakitkan.

Aku merasa seperti kertas tipis yang dicetak dengan takdir, lalu dicoret sesuka hati orang tuaku. Aku tidak bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Bahkan untuk memikirkan masa depanku pun aku tak diizinkan. Ayah dan Ibu sudah menuliskan semuanya—jurusan kuliah, tempat tinggal, bahkan cara berpikirku.

Aku tidak pernah punya mimpi lagi, sejak… kejadian itu.

Kalau kau tahu apa yang terjadi sebelum hari ini, mungkin kau akan mengerti kenapa aku tak ingin hidup seperti ini. Mungkin kau akan mengerti kenapa aku berharap aku mati saja saat itu.

Tapi aku masih hidup.

Sayangnya.

Aku tidak ingin mengenal diriku sendiri. Tidak ingin ada yang mengenalku. Tidak butuh siapa pun.

Ibu bahkan tidak tahu… bahwa aku tidak punya teman lagi, sejak kejadian itu.

Kalau kau tahu seperti apa hidupku sebenarnya… kau tidak akan pernah mau menjadi aku.

Aku, gadis delapan belas tahun yang kehilangan arah, kehilangan suara, dan kehilangan seluruh bagian dari dirinya.

Menyedihkan, bukan?

Sungguh, malang sekali diriku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Yourself for A2
64      55     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Dalam Satu Ruang
282      220     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
SABTU
6902      2197     13     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Tumbuh Layu
984      601     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Arsya (Proses Refisi)
2663      1298     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Deep End
101      92     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Merayakan Apa Adanya
1145      848     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Je te Vois
2305      1291     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Wilted Flower
605      467     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Dead Time
0      0     0     
Action
Tak ada yang tahu kapan waktu mulai berhenti. Semuanya tampak normal—sampai detik itu datang. Jam tak lagi berdetak, suara menghilang, dan dunia terasa membeku di antara hidup dan mati. Di tempat yang sunyi itu, hanya ada bayangan masa lalu yang terus berulang, seolah waktu sendiri menolak untuk bergerak maju. Setiap langkah membawa pertanyaan baru, tapi tak pernah ada jawaban yang benar-be...