Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Aku benci melihat mentari hari ini.
Di atas sebuah kapal yang sedang menuju pulau yang bahkan tak ingin aku datangi, aku berdiri lesu. Badanku benar-benar lelah setelah menempuh perjalanan udara selama lima jam, dan kini harus menyeberang lagi menggunakan kapal ke pulau yang bahkan tak terlihat di peta.

Kapal ini tidak seperti yang kubayangkan. Kupikir akan penuh sesak dengan penumpang seperti yang kulihat di televisi saat musim mudik. Ternyata tidak. Kapalnya sepi. Lebih banyak mobil daripada orang. Ayah malah duduk membaca di dekat pagar kapal, tak peduli halaman-halaman bukunya koyak diterpa angin kencang—saking kencangnya sampai-sampai ikatan rambutku ikut kendur.

Aku hanya berdiri menatap samar-samar pulau yang mulai tampak di ujung laut. Ujung lautkah itu? Entahlah. Aku tidak peduli. Sejujurnya, aku belum pernah naik kapal sebelumnya, apalagi melakukan perjalanan di laut. Bahkan main ke pantai pun belum pernah. Paling banter hanya ke sungai. Hidupku jauh dari laut—tempat tinggalku dikelilingi gunung dan bukit. Jika ingin ke pantai, harus menempuh perjalanan darat empat jam. Benar-benar membosankan. Orangtuaku pun tak pernah punya waktu untuk sekadar liburan.

Jika kami kumpul di rumah, ayah dan ibu hanya menonton televisi, membaca buku, sibuk masing-masing atau tidur. Ayah? Bahkan hanya pulang sebulan sekali. Dia habiskan waktunya di tambang. Sekarang, dia malah menjebakku tinggal di daerah tempatnya bekerja. Aku tidak tahu bagaimana nantinya pelarianku dengan kebosananku selain ke bioskop atau cuci mata di mall, di pulau apa yang bisa ku lalukan?  Aku tidak tahu apakah itu akan mengubah apa pun khususnya hubungan kamu. Bahkan ibu harus mengurus kepindahannya sebagai guru swasta agar bisa menyusul. Katanya dua bulan lagi, atau mungkin setahun. Aku tak peduli. Dengan atau tanpa ibu, aku tetap sendiri. Kalau pun di rumah, ibu pasti sibuk memeriksa tugas atau membaca buku. Keluarga kami sangat kaku dan membosankan.

Kapal mulai mendekat ke dermaga. Aku mulai melihat dengan jelas pelabuhan yang sepi, seolah menyambut kedatanganku. Katanya, ini bukan kunjungan pertamaku. Ibu bilang aku pernah tinggal di pulau ini saat usia tiga tahun selama dua tahun. Tapi aku tak ingat apa-apa. Kenapa pula harus mengingat tempat terpencil seperti ini? Tak akan berpengaruh pada masa depanku. Lagipula, aku pernah dengar setiap gigi susu menyimpan kenangan masa kecil. Mungkin karena gigi susuku sudah tanggal semua, jadi aku tidak mengingatnya.

"Ingat kamu pernah ke sini dulu, kan?" tanya Ayah, menggandeng tanganku melewati jembatan ke dermaga. Aku hanya menggeleng, enggan membahas masa lalu.

"Waktu itu umurmu... tiga tahun, ya?" Ayah menggaruk pelipisnya, memberi isyarat pada para buruh untuk menurunkan barang ke mobil jemputan.

Aku menatap ujung jembatan yang tak sepenuhnya menyentuh dinding dermaga. Kapal terus bergoyang karena ombak.

"Haruskah aku lompat?" tanyaku sambil berusaha menjaga keseimbangan dan kegugupan.

"Ya, nggak apa-apa. Ayah pegang tanganmu—kalau perlu Ayah tangkap. Lompat aja!"

Aku menahan napas, lalu melompat. Dan... berhasil. Aku tiba di daratan.

Orang-orang yang turun dari kapal terlihat bahagia. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya memasang wajah masam, mengetuk ujung kakiku sambil bersandar di tiang lampu, menunggu Ayah yang sibuk dengan barang-barang.

"Kau hebat sekali, nggak mabuk laut ya? Ayah dulu pertama naik kapal langsung muntah," katanya sambil mengangkat tas besar.

"Aku muntah, loh," jawabku datar, mengingat di atas kapal aku sempat muntah. Ayah tertawa kecil.

Sepasang orang yang tak kukenal menghampiriku, si perempuan sepertinya si istri, membawa kotak bekal dengan hati-hati di tangannya, seakan-akan yang dibawanya adalah segengam emas. Sedangkan si Laki-laki tersenyum ramah kemudian segera membantu ayahku mengangkat barang-barang. 

"Tiara udah makan? Ini Bibi Gum-Gum buatin makan siang."
Aku menggeleng. Ia menyerahkan kotak itu padaku—telur gulung, sayur tumis, dan entah apa, mirip ayam suwir berwarna merah, saat aku mengintip di penutupnya yang bening.

"Makan di sana aja."
Ia menunjuk ruang tunggu terbuka. Aku mengangguk dan berjalan malas ke arah yang ditunjuk.

Namun, alih-alih makan, aku malah menaruh kotak bekal itu di atas paha lalu membuka handycam dan merekam suasana pelabuhan. Langitnya begitu dekat dan indah, awan menggumpal seperti gula kapas. Tak seperti kota asalku yang langitnya sepi dan kosong.

Aku rekam semuanya: penumpang, buruh, tentara di atas speedboat, kapal yang lalu lalang, bahkan Ayah yang mengobrol dengan akrab di depan mobil.

Lalu aku melihat seorang remaja laki-laki berseragam putih mengayuh sepeda merah. Tasnya diselempangkan. Wajahnya tertangkap kameraku. Aku zoom untuk melihatnya lebih jelas.

Dia sangat tampan.

Aku tidak munafik. Jujur, dia tampan. Tapi bukan tipeku. Lagipula, aku tidak tertarik untuk jatuh cinta. Hidupku masih panjang, dan aku tak ingin menyia-nyiakan masa depan hanya karena romansa remaja. Aku bahkan belum tahu apa yang kucari di masa depan.

Baiklah, kita sebut saja dia namanya Boom. Hanya sekedar memberinya nama untuk karakter yang sedang kurekam, hitung-hitung sebagai hadiah atas pertemuan pertama ini.

"Ya Tuhan!" Aku berteriak, spontan. Kotak makan jatuh. Aku berlari ke pagar dermaga.

"Anak itu jatuh!" Aku panik, menunjuk arah jatuhnya Boom. Orang-orang mulai tertuju pada arah tunjukan jariku, mencari apa yang sedang ku teriakkan. Ayah berlari menghampiriku.

"Anak itu jatuh..." Kataku bergetar menjelaskan kepada ayah.

Boom jatuh sekitar 50 atau100 meter tidak tahu pastinya dari tempatku berdiri. Dermaga ini membentuk huruf "L"; aku berada di garis horizontal, dia di garis vertikal. Aku tak bisa melihatnya lagi.

Pukul 1.31 siang.

Sudah hampir satu jam. Tentara masih mencari. Aku dan Ayah ikut menunggu. Aku diinterogasi habis-habisan.

Satu-satunya yang bisa kutunjukkan hanyalah rekaman. Anak laki-laki, berseragam sekolah, sepeda merah.

Ayah pernah bilang: "Berikan kesan pertama yang baik dan tak terlupakan."

Kupikir aku sudah melakukannya—bukan soal kebaikan. Tapi setidaknya, aku telah menjadi saksi, dan membawa bukti bahwa... ada anak yang jatuh.

...anak yang jatuh dari dermaga. Tapi untuk hal yang kedua, “kesan pertama yang tak terlupakan”, kurasa aku benar-benar berhasil. Aku bahkan mungkin akan mengingatnya lebih lama dari yang seharusnya.

Sejak kejadian itu, aku duduk terpaku di ruang tunggu dermaga, kotak makan masih tergeletak di lantai, belum sempat kucicipi, justru lantailah yang mewakilkannya sekarang.

Sepasang suami-istri yang tadi mengahampiriku, entah kemana. 

Tak ada yang benar-benar memperhatikanku sekarang, sesekali pandangan sinis tertuju padaku. Seperti seorang tersangka yang siap-siap di hakimi berkali-kali di ruang pengadilan. Orang-orang perlahan mulai menghentikan kesibukannya, mereka berlarian, berteriak, saling bertanya. Tapi tidak ada yang bisa menjawab ke mana perginya anak itu. Seolah dia lenyap begitu saja—ditelan laut, atau mungkin... entahlah, aku bahkan tak berani membayangkan kemungkinan terburuk.

Ayah akhirnya memintaku naik ke mobil. Dia tahu aku sudah terlalu lama terpapar matahari dan angin laut. Tapi aku menolak. Aku masih berharap keajaiban datang. Si anak laki-laki itu—si Boom—akan muncul ke permukaan, menggoyangkan rambutnya yang basah, lalu tertawa seperti anak-anak seusianya. Tapi waktu terus berjalan, dan harapan itu perlahan tenggelam seperti tubuhnya yang tak kunjung ditemukan.

Aku merekam semuanya. Bukan karena ingin—tapi karena refleks. Kamera di tanganku seolah tak pernah mati, bahkan saat aku panik dan berlari, aku masih sempat menekan tombol rekam. Aku putar ulang rekamannya. 

Momen ketika dia seperti kehilangan kendali... lalu terjatuh. Aku memperbesar gambarnya, mencoba mencari detail yang mungkin terlewat. Tapi tidak ada. Semua terlalu cepat, terlalu buram. Sama seperti kenangan masa kecilku di tempat ini—kabur dan tak bisa digenggam.

Saat itu, aku sadar, tempat ini tidak sesederhana pulau terpencil yang ingin kuhindari. Tempat ini menyimpan kenangan—kenangan yang tidak bisa kuingat, dan yang baru saja tercipta... 

Ayah yang menjadi saksi, saat aku memberi barang bukti tentang anak yang jatuh kepada salah satu yang diketuakan sebagai tim penyelamat, aku bisa melihat dengan jelas wajah ayah yang tak bisa menahan rasa malu. Ia membungkuk meminta maaf kepada semua orang yang terlibat dalam pencarian yang sia-sia.

Tidak ada anak yang jatuh. Tidak ada rekaman anak yang jatuh, hanya rekaman aktivitas sibuk di dermaga. Aku tak tahu mana kenyataan yang benar. Apakah aku benar-benar melihat anak berseragam sekolah dengan sepeda merah itu jatuh, ataukah aku berhalusinasi karena dehidrasi dan panas? Aku tak bisa memastikan, akhirnya memilih diam setelah menyadari halusinasiku yang membuat orang-orang jengkel. Setelah itu, ayah tidak banyak bicara, hanya menyuruhku pulang. Mendengar kata "pulang", aku sempat berpikir akan kembali ke kota asalku, tapi malah diajak ke rumah yang asing.

Mobil akhirnya berangkat di kendarai laki-laki yang tadi membantu kami, dia menyuruhku mrmanggilnya Paman, meninggalkan dermaga yang perlahan kembali sepi. Sedangkan istrinya duluan mengendari motor, pulang lebih dahulu.  

Aku duduk di kursi belakang, mendekap handycam-ku erat-erat. Ayah mencoba menghiburku, mengatakan bahwa aku tidak bersalah, bahwa aku justru membantu. Tapi semua itu hanya kata-kata. Hampa. Tak bisa menghapus bayangan anak laki-laki berseragam putih dengan sepeda merah yang kini entah di mana.

Semangatku menurun lagi. Rumahnya terbuat dari beton dan kayu, agak tinggi, dengan desain klasik seperti rumah peninggalan penjajahan Belanda tahun 1900-an awal. Yang kusukai adalah tangga di depan rumah. Kata ayah, ada ruangan bawah tanah yang digunakannya untuk membaca buku. Aku benar-benar tidak ingat apa pun tentang pulau atau rumah ini.

Di depan pagar, ada kotak surat yang sudah usang. Terakhir kali kuingat, ayah masih rajin mengirim postcard kepada teman-temannya di berbagai negara. Aku tak tahu tentang kegiatan itu sekarang, apalagi dengan kesibukannya bekerja di tambang. Kami sampai di rumah ayah saat langit menghitam, tanda hujan sebentar lagi. Anginnya sekuat di dermaga, padahal tadi terik sekali.

Saat paman yang menjadi supir menghentikan mobil di depan gerbang, aku melihat… Apa lagi-lagi aku berhalusinasi? Ingin rasanya aku memberitahu ayah dan paman, tapi aku mengurungkan niatku dan mengabaikan pemandangan aneh di atas pagar itu. Seorang anak laki-laki dengan wajah jelas, berseragam sekolah, tas hitam di pundak, dan sepeda merah terparkir di samping pagar. Anak itu duduk di atas pagar rumah ayahku, setinggi leherku. Dia tidak bergerak, hanya memandang kami datang. Aku pura-pura tidak melihatnya. Apa itu benar anak laki-laki itu? Atau aku hanya halusinasi? Atau lebih parah lagi, apakah dia… hantu?

"Tiara, bawa sendiri tasmu ya," perintah ayah. Saat menurunkan barang-barang dari mobil, aku hanya bergumam mengiyakan sambil menyeret koperku.

Saat berjalan menuju halaman, aku merasa mata anak itu terus mengikutiku.

Apakah dia manusia? Kalau iya, kenapa dia tidak terekam di handycam-ku? Kenapa aku melihatnya terjatuh ke laut? Apakah itu arwahnya?

Aku merinding setengah mati, berjalan cepat menuju pintu rumah yang masih terkunci sambil merapalkan doa agar sosok itu, apapun dia, hilang dari sekitarku. Aku tak tahu apakah ayah dan paman melihat anak itu di pagar, aku tidak membahasnya. Sesampainya di depan pintu, aku terus menatap pintu tanpa menoleh ke belakang. Namun, pantulan dari kaca jendela di sampingku menunjukkan sesuatu.

Bayangan anak itu ada di sana.

Jika dia hantu, tak mungkin dia ada di pantulan kaca. Kalau dia manusia, kenapa dia menghilang dari rekamanku, dan kenapa ayah serta paman tidak menegur anak aneh itu yang duduk tanpa izin di pagar rumah orang?

Siapa dia?

Kenapa seolah hanya aku yang bisa melihatnya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RUANGKASA
56      51     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Dimension of desire
480      366     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Unexpectedly Survived
346      295     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Yu & Way
309      241     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Lantunan Ayat Cinta Azra
1680      990     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
676      485     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Pasal 17: Tentang Kita
184      97     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Winter Elegy
1239      807     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Love Yourself for A2
64      55     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Tic Tac Toe
904      727     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...