Griss tidak tahu harus pergi ke mana. Setelah Nindi meninggalkannya bersama olokan kejam itu, dia hanya berlari dan berlari. Tidak peduli meski temponya begitu lambat dan kakinya mulai terasa kebas. Griss bisa saja langsung pulang, tapi pulang pun tak bisa jadi pilihan karena Griss masih sedih jika bertemu dengan Frissi.
Sepertinya, semesta memang sedang mengutuknya. Akhir pekan yang Griss anggap sebagai hari bebas, nyatanya menjelma menjadi hari penuh luka.
Matahari mulai meninggi. Sinarnya mulai membakar permukaan kulit Griss yang lupa menggunakan sunscreen. Cewek itu kemudian berhenti berlari di tepi jalan. Kali ini, dia membiarkan tubuhnya bermandi keringat, tidak mencari pohon rindang yang bisa memberikan naungan.
Apa sesulit ini hidup menjadi cewek gendut, nggak good looking, dan nggak berbakat? Apa nggak ada hak buat gue berteman dengan anak-anak populer? Ya, gue memang tidak pernah punya hak untuk itu.
Mata Griss mulai panas. Dari kemarin dia mencoba untuk tidak menangis, tapi saat ini hatinya benar-benar terluka. Griss mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jadi jatuh. Saat itu, siluet wajah familier tertangkap indra penglihatannya.
"Jun? Ngapain lo di sini?"
Jarak Juna yang cukup dekat membuat Griss bergerak mundur. Wajahnya jadi berang. Meski kekesalannya bukan buat Juna, kehadiran cowok itu jelas hanya akan memperparah suasana hatinya.
"Kenapa lo? Kok, cemberut gitu?" Bukannya menjawab pertanyaan Griss, Juna malah meneliti cewek itu dari atas ke bawah. Terlihat lusuh dan lecek. Mungkin karena Griss sudah terlalu lama berlari. Juna menyentuh pipi Griss yang memerah, tapi langsung ditepis.
Griss sudah berniat untuk pergi, tapi Juna mencekal pergelangan tangannya.
"Makan bakso beranak pinak, yuk!" ajak cowok itu.
Rasanya, Griss ingin meledakkan Juna saat itu juga.
^^^
"Mbak Sri! Yuhu!"
Beberapa jam setelah dari car free day, Juna mendatangi tempat praktik Kayra. Kakaknya itu memang tidak libur di akhir pekan, hanya buka lebih siang dari biasanya. Juna tidak datang dengan tangan kosong, dia membawa beberapa camilan, pembalut titipan Kayra, dan whiskas yang entah akan dia berikan kepada siapa.
"Mbak Sri!" Juna mengetuk pintu kaca sekali lagi.
Kemudian, sosok berseragam hijau sage tergopoh-gopoh membuka pintu. "Sori, Jun. Saya dari belakang," ucapnya.
Juna mengangguk-angguk. "Mbak Sri mana, Kak?"
Tania—sosok berseragam hijau sage—mengernyitkan dahinya beberapa saat, mencoba menggali ingatannya soal siapa yang Juna panggil "Mbak Sri".
Juna yang menyadari perubahan ekspresi Tania, buru-buru merevisi ucapannya. "Maksud saya Kayra. Kayra Srikandi, mbakyu saya. Dia udah di sini belum? Atau masih di rumah?"
"Kamu manggil Mbak Kay, Sri?" tanya Tania, lumayan terkejut. Asisten pribadi Kayra itu terkekeh kecil sembari menggelengkan kepalanya. "Ada-ada aja kamu, Jun. Sebentar, Mbak Kay ada di dalam, sedang memeriksa Kara. Mari masuk."
Juna mengangguk, mengetuk-ngetuk sepatunya ke keset welcome, kemudian masuk ke klinik Kayra. Sebuah klinik khusus untuk para binatang. Kayra itu dokter hewan dan Tania adalah adik kelas yang menjadi asisten pribadinya. Kayra punya banyak pasien, beberapa di antaranya sudah menjadi langganan. Termasuk Kara, yang entah seekor kucing, anjing, atau mungkin lumba-lumba, Juna tidak terlalu mengingatnya karena dia merasa hal itu tidak penting.
Klinik Fauna yang dikelola Kayra memiliki tampilan yang menarik. Tidak seperti klinik pada umumnya yang terlihat membosankan dengan warna dasar putih serta brankar dan peralatan kesehatan yang terlihat menyeramkan, Klinik Fauna mengangkat konsep ceria, foto-foto binatang menggemaskan dipajang di dinding berwarna peach, binatang-binatang sehat juga dipamerkan di kandang-kandang yang diletakkan di sebelah pintu masuk. Daripada klinik, tempat itu lebih cocok disebut pet shop.
Juna duduk di sofa malas yang diletakkan di dekat meja kerja Kayra. Tidak perlu izin untuk bisa duduk di sana karena jika tidak diizinkan pun Juna akan tetap memaksa.
"Ngapain ke sini? Titipan gue ditaruh di rumah aja, lah." Belum ada semenit Juna duduk, Kayra datang menghampirinya. Wajahnya jauh dari kata semringah. Gadis itu bahkan melipat tangannya, terlihat defensif.
"Main doang, Mbak. Nggak boleh?"
Kayra menghela napas, tampak tidak menyukai kehadiran adiknya. Dia melepas sarung tangan karet serta kacamatanya. "Berhenti panggil gue Mbak, Mpok, atau sapaan hormat lainnya. Dan, jangan pernah panggil gue pakai nama Sri lagi."
"Kenapa, sih? Itu, kan, potongan nama lo. Di rumah juga gue manggilnya begitu."
Kayra tidak menanggapi ocehan Juna, memilih duduk di meja kerjanya untuk mengintip isi kantong plastik yang diletakkan di sana. "Whiskas?" Sebelah alisnya terangkat.
"Buat Kara," kata Juna asal. Padahal Kara itu seekor kelinci—akhirnya Juna mengingatnya setelah berpikir cukup lama.
Kayra mengaduk isi kantong plastik itu setelah mengeluarkan makanan kucing yang Juna beli untuk seekor kelinci. Senyuman mengembang di bibirnya begitu menemukan sebotol cola dan beberapa makanan ringan kesukaannya. Namun, senyum itu tidak bertahan lama. Ekspresi Kayra berubah jadi penuh antisipasi setelah dia mengingat bahwa adiknya tidak mungkin berbaik hati. Pasti ada motif di balik ini.
"Mau apa lo ke sini? Nggak mungkin kalau cuma main, tapi lo bawa sogokan begini."
Juna menegakkan punggungnya saat Kayra menanyakan hal itu lagi. Senyum miring tercetak di bibirnya. "Lo mengenali gue dengan baik, Mbak. I love you," katanya, sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Seketika Kayra membuat gestur mau muntah. "Kesurupan jin mana lo?"
"Gue nggak kesurupan."
"Terus?"
"Lagi bingung aja." Debas terdengar dari mulut Juna. Cowok itu tidak pandai memanipulasi situasi. Meski Juna tidak ingin niatnya datang untuk curhat terendus oleh Kayra, ekspresinya sudah menjelaskan semuanya.
Kayra membuka satu bungkus KuSuka. "Bingung kenapa?"
Juna menimbang apa dia harus bercerita kepada Kayra mengenai keresahannya. Masalahnya, Juna sendiri tidak tahu kenapa dia jadi seresah ini hanya karena perempuan. Bukan gue banget, kan?
Juna menggaruk bagian kepalanya sebelum pelan-pelan bertanya, "Mbak, cewek kalau tiba-tiba jadi pendiam, terus cemberut kayak mau nangis, dan marah-marah, itu ... kenapa?"
Satu alis Kayra dinaikkan. Terakhir kali Juna mendatangi kliniknya, dia hanya bercerita tentang band dan segala yang berhubungan dengannya. Mendengar Juna menyebut kata cewek membuat Kayra sedikit terkejut.
"Lo punya cewek?" tanyanya, yang dibalas dengan gelengan.
"Cuma teman."
Kayra memicingkan matanya, curiga. "Lo apain temen cewek lo sampai dia jadi pendiam dan mau nangis?"
Juna berdecak. Pertanyaan dibalas pertanyaan itu menyebalkan. "Gue ajakin makan bakso beranak doang, astaga."
"Terus?"
"Ya nggak ada terus. Cuma ditolak, terus dia balik sambil nahan nangis." Juna masih mengingat dengan jelas bagaimana raut muka cewek itu.
"Dia nggak doyan pedes kali?"
Juna menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin Grizzly nggak suka pedas."
"Jadi ini soal Griss?"
Yah, keceplosan. Juna menggaruk bagian belakang telinganya. Niatnya, dia akan menyembunyikan identitas Griss demi kenyamanan bersama, tapi mulutnya tidak bisa diajak bekerja sama. Tak mungkin menyembunyikan lagi nama Griss dari obrolan ini, Juna akhirnya pasrah. Toh, dirinya memang sedang membutuhkan pencerahan dari Kayra.
"Dia emang lagi nggak mau diganggu dari kemarin, tapi gue yakin, yang bikin dia mau nangis itu bukan gue."
"Kenapa yakin banget?"
"Ya, gue emang sering merusuh, sih. Tapi kayaknya Grizzly bukan marah ke gue." Seingat Juna, dia cuma mengirimi Griss beberapa baris pesan. Harusnya tidak terlalu mengusik ketenangan cewek itu, bukan?
"Lo nanya, nggak, ke dia?" Kayra menyuap secomot keripik singkong ke dalam mulutnya sambil menatap adik laki-lakinya dari atas—posisi duduknya lebih tinggi.
Juna menggeleng lesu.
"Lo merasa bersalah?"
Juna mengangguk, tapi sedetik kemudian menggeleng. "Gue emang banyak salah banget kayaknya ke Grizzly, tapi gue yakin banget dia kayak gitu bukan karena gue," ujarnya sambil menatap Kayra untuk meyakinkannya.
Kayra mengangguk-angguk. Entah betulan percaya atau pura-pura. Cewek berumur seperempat abad itu menyilangkan kakinya. "Hanya ada satu jawaban buat pertanyaan yang lo ajukan, Jun. Menurut gue, Griss lagi PMS."
Kening Juna berkerut. "PMS? Datang bulan maksud lo?"
"Yaps!" Kayra menjentikkan jarinya yang penuh bumbu.
"Jadi bener ya, cewek yang lagi PMS itu kadang berubah jadi nyebelin?" tanya Juna, yang langsung dihadiahi pelototan oleh Kayra.
"Bukan nyebelin, itu tuh hormon, tahu! Kita, para cewek, juga enggak mau jadi nyebelin kayak gitu."
Juna mengangguk-angguk. Meskipun dia seorang laki-laki, dia pernah mendengar soal hormon-hormon yang mempengaruhi perubahan mood pada perempuan yang sedang menstruasi. Selain mendengar, Juna juga sudah membuktikan sendiri. Kayra adalah bukti nyata dari teori-teori yang Juna dengar. Bahkan, bukan cuma mood-nya yang berubah, saat Kayra sedang berada dalam periode menstruasinya, dia bisa benar-benar berubah menjadi singa.
Sekarang Juna mengerti kenapa Griss terus memasang wajah cemberut sepanjang makan siang bersamanya.
"Yang kayak gitu ada obatnya, nggak, sih, Mbak?" tanya Juna, raut kebingungannya mulai memudar.
"Obat pereda nyeri?" Kening Kayra berkerut.
"Bukan. Obat pengembali mood, biar nggak cemberut dan marah-marah mulu."
"Oh. Gampang itu obatnya. Lo nggak perlu cari di apotek atau rumah sakit. Pergi aja ke minimarket atau warung, beli snack yang banyak, terus coklat atau es krim. Dan, jangan lupa beli hotpack."
"Buat?"
"Kasih aja, pasti diterima."
Juna menganggukkan kepalanya untuk yang kesekian kalinya. Selanjutnya, dia bangkit dari sofa malas Kayra, mengenakan jaket, dan mengambil kunci motornya.
"Mau ke mana lo?" cegat Kayra.
"Pulang, lah," jawab Juna.
"Lho, gue kira mau ke minimarket."
"Ngapain?" Sebelah alis Juna meninggi.
"Beli snack buat Griss, biar dia nggak cemberut lagi, lah. Gimana, sih, lo?"
Kekehan meluncur dari mulut Juna. "Nggak, ah. Nggak punya duit," ucapnya, kemudian keluar dari klinik Kayra setelah dadah-dadah dan melempar flying kiss buat para peliharaan Kayra.
Di tempatnya, Kayra menatap punggung Juna dengan heran. Sebelum Juna menghilang bersama vespanya, Kayra berteriak, "TERUS APA FAEDAHNYA LO NANYA INI ITU KE GUE, MALIH?"
Kayra tidak yakin Juna mendengar teriakannya, tapi sepertinya cowok itu mendengarnya, dibuktikan dengan tawa menggelegar yang terdengar bersamaan dengan melajunya vespa.
Tumbuh Layu
974
598
4
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh.
Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Mimpi & Co.
3059
1621
4
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Monologue
1467
1036
1
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal.
Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja.
Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak.
Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Monokrom
202
173
1
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar.
Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
The Final Promise
891
263
0
Romance
The Final Promise menceritakan kisah Ardan dan Raya, pasangan yang berjuang menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Raya, yang tengah berjuang dengan penyakit terminal, harus menerima kenyataan bahwa waktunya bersama Ardan sangat terbatas. Meski begitu, mereka berdua berusaha menciptakan kenangan indah yang tak terlupakan, berjuang bersama di tengah keterbatasan waktu. Namun, takdir membawa Ardan ...
Switch Career, Switch Life
920
690
4
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri.
Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya.
Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Sendiri diantara kita
3554
1396
3
Inspirational
Sendiri di Antara Kita
Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat.
Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri.
Lalu satu kejadian mengubah segalanya.
Seke...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
289
255
1
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan.
Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T.
Akan tetapi, ...
Lepas SKS
318
274
0
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain.
Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok.
Dari apartemen mewah ke flat ...
Kacamata Monita
4300
1293
3
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya.
Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...