Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Welcome back, Grizzly. Gue janji, gue nggak akan nyusahin lo lagi. Kesepakatan kita cukup sampai di sini. Gue sayang sama lo.

 

-Juna

 

Kertas itu sampai di tangan Griss, Dewangga yang jadi kurirnya. Saat ini, keduanya sedang berada di kantin, duduk berhadapan dengan air muka yang sama seriusnya.

"Juna nyuruh Kak Dewa nganter ini?" tanya Griss. Kerutan terbentuk di keningnya.

Dewangga meneguk air mineralnya sebelum menjawab. "Nggak. Gue nemu itu di laci mejanya. Kalian beneran udah nggak ada hubungan apa-apa?" Cowok itu mencondongkan tubuhnya ke arah meja. Matanya sesekali melirik ke arah kotak bekal transparan yang ada di sana.

Helaan napas terdengar. Griss menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu. Aku belum ketemu Juna lagi sejak sakit. Tapi, kalau Juna maunya udahan, ya ... udah." Bahu Griss merosot. Air mukanya begitu lesu.

"Jangan gitu, dong! Lo harus baikan sama dia."

"Baikan? Gue aja nggak tahu, apa yang bikin Juna marah sama gue." Membicarakan Juna membuat emosi Griss tidak stabil. Cewek itu sampai menggunakan kata "gue" karena kelepasan. Sadar diri sudah bersikap tidak sopan, Griss menyengir serba salah. "Sori, Kak. Nggak bermaksud—"

"Nggak papa. Santai aja sama gue," ucap Dewangga. Hati Griss mencelus lega. "Jadi, lo nggak tahu kenapa Juna marah sama lo?"

Griss menggeleng. Kemarahan Juna masih menjadi tanda tanya di kepalanya. "Tapi, kayaknya Juna marah setelah malam itu, deh. Malam waktu Kak Jayan pesan kue ulang tahun ke Mama."

"Lo tahu kenapa dia semarah itu?"

Griss menggeleng lagi.

"Juna cemburu, Griss. Dia takut lo baper abis dibonceng Jayan."

Bak disambar petir di siang yang cerah, Griss sampai kesulitan bernapas setelah Dewangga berkata begitu. Mau tak mau, ingatan Griss diseret kembali ke belakang. Ke masa di mana dia berkunjung ke rumah Wina untuk berkeluh kesah. Griss masih ingat, Wina juga sempat mengatakan kalimat yang sama dengan Dewangga. Tapi, cemburu kenapa?

"Kaget, ya? Udah jelas kali, Griss. Juna tuh sayang sama lo. Dia bahkan nulis kalimat itu di notes-nya."

"Tapi kenapa, Kak?"

"Ya mana gue tahu?" Dewangga berdecak. Ternyata, Griss sama tidak pekanya dengan Juna. "Abis Juna marah-marah sama lo, malamnya dia galau. Besoknya juga masih. Terus lo sakit. Juna jadi merasa bersalah banget sama lo, tapi nggak berani minta maaf," katanya. Dewangga bisa menemukan penyesalan yang mendalam dari tulisan Juna. Dia juga sering melihat Juna memandangi Griss dengan tatapan menyesal, tapi tidak pernah berani menghampiri.

Mendengar itu, Griss jadi merasa tidak enak. Dari tulisan Juna, dia juga bisa menangkap adanya penyesalan. Namun, bukankah terlalu berlebihan kalau Juna menghindarinya karena itu? Entahlah.

Debus terdengar. Griss mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. "Kayaknya, Juna nggak perlu merasa sebegitu bersalahnya. Bukan dia yang bikin aku sakit, kok."

Dewangga mengedikkan bahu. "Mungkin Juna merasa, karena dia, lo jadi berkeinginan buat mengubah diri lo. Entahlah. Gue juga nggak tahu persisnya apa kesalahan Juna. Yang pasti, lo harus baikan sama dia."

Griss melipat bibir. Tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Chill Zone kacau tanpa Juna, Griss. Seminggu ini followers kami berkurang, viewers YouTube juga menurun. Kalau lo sayang sama Juna, baikan sama dia. Sebentar lagi jadi tulang belulang tuh bocah. Seminggu ini cuma ngopi kerjaannya, sama sekali nggak makan nasi atau roti."

Kak Mira juga ngomong gitu. Jadi bener ya?

Griss menatap kotak bekalnya yang masih utuh saat tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala. "Boleh minta tolong, nggak, Kak?" tanyanya kepada Dewangga.

Dewangga pun mengangguk.

"Aku titip ini buat Juna," kata Griss seraya mendorong kotak bekal itu ke arah Dewangga.

Satu alis Dewangga naik. "Terus, lo makan apa?" tanyanya. Karena, setahu dia, asupan makan Griss sedang dijaga, bahkan diawasi.

Griss tersenyum tipis. Ada kehangatan yang menjalar di dada saat tahu ada orang yang mempedulikannya. "Aku beli aja. Asal bukan makanan yang dilarang, aku masih boleh makan selain masakan Mama, kok."

Dewangga mengangguk paham. Kemudian, mengakhiri rapat dadakannya dengan Griss setelah berkata, "Thanks ya, Griss. Cepet pulih, biar bisa seru-seruan lagi sama kita." yang membuat Griss ingin menangis.

Apa itu artinya, dari dulu, bahkan saat gue masih gendut, teman-teman Juna juga sudah menerima gue? Karena jika iya, maka Juna tidak perlu menyalahkan dirinya atas perubahan Griss. Karena semua kesalahan ada di gue.

^^^

Juna melempar botol kemasan kopinya yang sudah kosong ketika melewati tempat sampah. Dia baru kembali dari kantin untuk membayar utang bala-bala atas nama Dewangga yang sudah menunggak tiga minggu. Setelah membuang sampah, Juna masuk ke kelasnya yang sudah tidak terlalu ramai. Bel istirahat kedua belum lama berbunyi, sebagian teman-teman sekelasnya pergi ke kantin, masjid, warung, perpustakaan, atau tempat lain. Yang tersisa di kelas itu hanya empat orang, termasuk dirinya.

"Nggak ke kantin, Wo?" tanya Juna kepada Jarwo. Jarwo yang sedang asyik memainkan ponselnya mendongak sesaat. "Tanggung, lagi push rank."

"Emang masih zaman ngegim, ya?" tanya Juna sambil berjalan ke tempatnya.

Jarwo tidak menanggapi, kembali berkutat dengan gim di ponselnya. Juna pun akhirnya memilih rebahan di dua kursi yang dipepetkan. Namun, saat hendak memejamkan mata sambil menikmati bunyi yang keluar dari perutnya, Juna tak sengaja melihat benda asing berada di laci mejanya.

Juna mengambil benda itu. Benda berbentuk kontak, transparan, dan beraroma masakan. Juna mengernyitkan kening. Dari mana datangnya kotak bekal itu? Seingatnya, Juna tidak memesan makanan apa-apa. Lalu, sebuah post it jatuh di kakinya. Juna merundukkan badan untuk memungutnya.

 

Makan sendiri dulu, kalau udah bisa diajak baikan, baru makan sama gue.

 

Tidak ada keterangan nama di post it berwarna kuning gonjreng itu, tapi dari tulisan dan bunyi kalimatnya, sepertinya Juna tahu siapa yang mengirimkan kotak bekal misterius itu.

^^^

"Lo ke mana aja, sih? Dari tadi gue tungguin di aula, tahu!"

Hidung Dewangga kembang-kempis. Kekesalannya sudah sampai ubun-ubun. Kalau menempeleng Juna tidak akan membawanya masuk BK, mungkin sudah Dewangga lakukan.

Juna yang masih berada kelasnya lima menit setelah bel pulang berbunyi, cuma bisa cengar-cengir. "Ya maap. Gue habis bantuin Upin Ipin nyari dragon ball. Emang kenapa, sih?" tanyanya sambil mengemasi alat tulisnya yang masih tercecer di meja.

Dewangga mencoba meredakan amarahnya. Cowok itu duduk di tepian meja. "Kan, gue tadi bilang, habis istirahat makan siang dan bayar utang bala-bala gue, lo datang ke aula. Anak-anak OSIS manggil anak band buat ngobrolin acara ulang tahun sekolah," jelasnya.

Juna mengangguk-angguk, pura-pura paham. Kemudian, cowok itu berjalan keluar kelas bersama Dewangga yang memimpin di depannya. Langkah Juna yang malas-malasan membuat Dewangga gemas hingga dia terpaksa menarik tali ransel Juna, membuat Juna terseok seketika.

"Emang rapat apaan, sih, Brayyy? Jadwal latihan rutin kita, kan, besok," protes Juna. Pasalnya, dia sudah punya rencana.

"Nggak pakai besok-besok, ya. Pokoknya hari ini harus rapat. Urgent. Soalnya ultah sekolah itu dua minggu lagi."

"Apa?"

Bola mata Dewangga memutar, jengah melihat ekspresi terkejut Juna yang tampak dibuat-buat. "Kurang gede mangapnya. Udah, buru turun!"

Kini, keduanya keluar dari kelas. Dewangga masih menyeret ransel Juna. Langkah Juna jadi makin terseok, bahkan nyaris jatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri.

"Bentar dulu. Jangan tarik-tarik. Gue lagi kekenyangan." Cowok jangkung itu menepuk-nepuk perutnya sebelum berjongkok untuk membenarkan tali sepatunya.

Bibir Dewangga mencebik, mencoba menyamarkan senyum lebih tepatnya. "Kenyang makan angin? Makan aja nggak pernah," sindirnya, padahal dia tahu kalau Juna benar-benar sudah makan.

"Tadi makan, kok. Beneran. Nih, buktinya." Juna bergegas mengeluarkan kotak bekal misterius yang tiba-tiba berada di lacinya. "Gue nggak makan angin, ya. Lo tuh, kenyang makan gombalan penggemar."

Dewangga tidak menanggapi candaan Juna lebih lanjut. "Bagus, deh," ucapnya. Dan, memang itulah yang diharapkan semua.

Lebih dari dua puluh anak tangga sudah terlewati, kini Juna dan Dewangga berada di lantai dua. Masih ada beberapa tangga lagi yang harus dilalui untuk sampai di ruang musik, tapi Juna memutuskan untuk berhenti.

"Eit, bentar, Bang. Kayaknya ada yang ketinggalan. Lo turun duluan aja."

"Nggak. Entar lo kabur."

Juna mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya yang membentul huruf v. "Gue siap dibotakin kalau gue kabur. Lo duluan aja. Dah!" Tanpa persetujuan, Juna berlari menaiki anak tangga, lagi.

Sebenarnya Juna tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Tidak ada barangnya yang tertinggal. Juna kembali menaiki tangga agar dia bisa memastikan apa yang dia lihat sebelumnya.

Dari balik dinding yang bersebelahan dengan tangga, Juna mengintai dua orang cewek yang tampaknya sedang terlibat perselisihan.

"Nggak usah sok. Mentang-mentang bisa temenan sama anak Chill Zone, bukan berarti lo bagian dari mereka."

Sayup-sayup Juna mendengar suara salah satu dari dua cewek itu. Kalau tidak salah tebak, cewek itu adalah Nindi.

Nindi maju satu langkah, mempersempit jaraknya dengan Griss. Juna kira, Griss akan memundurkan langkahnya ketakutan, tetapi tidak. Griss tetap bergeming dengan muka datar.

"Lo tuh cuma teman makan Juna, ya, nggak usah sok deket juga sama member lain! Merasa keren lo karena tadi makan sama Dewangga juga?"

Di tempatnya, Juna geram luar biasa. Cowok itu bersumpah akan segera keluar dari persembunyiannya jika Nindi main kasar.

Hal yang tak diduga sebelumnya, bukannya ketakutan seperti dulu, Griss justru maju selangkah ke depan. Kini, jaraknya dengan Nindi tidak sampai satu meter. "Emang lo siapanya Juna, Kak? Kita berdua sama-sama orang asing buat anak-anak Chill Zone, kan," ucapnya dengan tangan terlipat di depan dada.

Demi Tuhan, Juna belum pernah melihat sisi Griss yang satu itu.

"Lo berani sama gue? Nantangin?" Suara Nindi meninggi.

Juna siap pasang kuda-kuda jika sewaktu-waktu Griss membutuhkan bantuannya. Akan tetapi, lagi-lagi Griss menunjukkan sisi lain dari dirinya. Cewek itu tetap datar—alih-alih menciut seperti saat dihadang Chills dulu-dulu—tangannya yang tadi dilipat, kini dibiarkan menggantung di sisi tubuhnya.

Griss memasang senyum tipis saat berkata, "Enggak. Gue cuma mau lewat. Permis—aw!" Namun, senyumnya segera menghilang saat Ninndi menarik pergelangan tangannya dengan cukup keras. Griss meringis, tapi Nindi tidak menghiraukannya yang kesakitan.

Mata Nindi merah menyala. "Sekali lagi gue dengar lo ngomong kayak tadi, gue habisin—aw!" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Nindi mengerang. Erangannya disahuti oleh suara seorang cowok yang baru saja menjewer telinganya.

"Ups! Sorry ... gue sengaja." Juna, sang pelaku, tersenyum tanpa dosa. Segera setelah berada tepat di sebelah Griss, Juna melepaskan cekalan Nindi dari pergelangan tangan Griss.

"J-ju-ju-juna?" Nindi tergagap, seperti melihat setan.

Tanpa rasa bersalah, Juna melambaikan tangannya. "Hai!" sapanya. Satu alisnya terangkat melihat raut ketakutan penggemar fanatiknya. "Kenapa angker gitu mukanya? Tadi perasaan sangar."

"L-lo ...."

Hilang sudah raut bersahabat Juna. Kini, cowok itu menampakkan wajah tengilnya. Juna benar-benar tidak suka pada cara Nindi memperingatkan Griss. "Apa? Lo mau habisin gue juga? Nih, kayak berani aja." Cowok itu maju selangkah, membuat Nindi mundur dengan kaki gemetar.

"Sekali lagi gue lihat lo nge-bully Grizzly kayak tadi, gue blacklist lo dari Chills. Percuma band gue punya penggemar kalau toxic begini. Pulang sana!"

Final! Sama seperti Griss yang mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, Juna juga melakukannya. Seluruh warga sekolah mengenal Juna sebagai cowok humoris yang kadang tengil. Sejauh ini hanya Nindi, satu-satunya orang yang berhasil membuat Juna merasa begitu marah. Oh, satu lagi, Griss juga pernah membuat Juna marah hari itu.

Tanpa menunggu detik berganti, Nindi lari terbirit seperti dikejar preman.

Juna tersenyum miring melihat cewek itu ketakutan. Cowok itu mengembalikan ekspresinya seperti biasa ketika berbalik ke arah Griss. Juna meneliti Griss dari ujung ke ujung.

"Lo nggak papa, kan?"

Sedetik, dua detik, tiga detik. Griss tetap diam. Hanya matanya yang terlihat berkaca-kaca.

Juna jadi gelagapan. Apa gue salah langkah?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hideaway Space
308      222     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Premonition
2244      1103     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Atraksi Manusia
916      604     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Cinderella And The Bad Prince
3376      1938     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Time and Tears
601      456     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Smitten Ghost
387      315     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Metafora Dunia Djemima
234      195     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
244      201     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Andai Kita Bicara
1516      990     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Lovebolisme
412      360     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...