(Ditulis oleh Gelisa Sundana Cloura Naurza Purmadzaki, tahun 2016)
Setiap kali aku menaiki lift, seolah takdir ikut campur tangan, pintu terbuka, dan di ujung sana, Pak Natapurna berdiri. Kadang ia sedang berbicara dengan dosen lain, kadang hanya tersenyum saat mahasiswa menyapa. Wajahnya itu... entah kenapa selalu berseri-seri. Senyumannya tampak sederhana, tapi mampu membuat banyak hati terpaut.
Mungkin ini sudah terjadi berkali-kali. Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya berjalan keluar dari lift.
Aku sudah berusaha tidak menatap terlalu lama, tapi tetap saja... sorot matanya sesekali tertuju padaku. Dan saat itu terjadi, detak jantungku seolah berdentang lebih cepat dari biasanya.
Kalau dipikir-pikir, tatapannya itu mungkin hanya gerak refleks biasa. Reaksi spontan ketika pintu lift terbuka dan seseorang berdiri di hadapannya. Tapi aku tetap menyimpannya dalam ingatan, seperti sesuatu yang penting, meski mungkin sepele.
"Yuhu... eh,hadeh,"
dak duk dak, suara langkah kaki orang-orang berhamburan keluar dari lift.
Aku sering menjadi yang terakhir keluar, bukan karena malas, tapi karena tidak ingin berebut atau membuat keributan. Aku tidak suka rusuh. Bagiku, berjalan santai jauh lebih nyaman.
Mungkin karena itu juga, teman-temanku sering meninggalkanku lebih dulu.
Di antara kerumunan itu, sosok Pak Nata tetap tampak menonjol. Tapi kemudian pandanganku mulai terhalang para ciwi-ciwi yang dengan cepat merapat, seolah ingin menunjukkan wajah mereka padanya. Aku sendiri memilih menepi, berbelok ke kanan, menjauh dari pusat keramaian. Namun, sebelum aku berbalik, kulihat Pak Nata sempat menatapku juga.
Kadang, aku tidak memilih naik lift karena terlalu penuh. Saat itu, aku lebih suka naik lewat tangga. Dan lucunya, justru di anak-anak tangga itulah aku lebih sering bertemu dengannya.
Ia berjalan gagah, posturnya tegap. Wibawanya tidak dibuat-buat, hanya... terasa.
Pernah dia berada di depanku. Pernah juga di belakang. Bahkan sekali, tepat di samping. Kami hanya berjalan. Tanpa sapa. Tapi aku melihatnya, dan ia menatap kembali.
Aku pun tersenyum kecil, sambil sedikit menunduk. Dan ia membalas dengan tatapan.
Lalu, seperti biasa, aku mempercepat langkah untuk menghindar, menyembunyikan debar yang tak bisa kukendali.
Jika ditanya, tentu aku senang setiap kali bertemu Pak Natapurna di tangga.
Tangga itu sepi. Langkah kaki kami bersahutan. Rasanya seperti dunia memberi ruang hanya untuk kami berdua, meski tak saling bicara.
Tidak perlu terburu-buru. Tapi tetap saja, aku sering berjalan lebih cepat darinya. Entah karena gugup, atau karena aku terlalu senang hingga tak tahu harus berbuat apa.
Berbeda dengan lift yang selalu penuh dan ramai, tangga seperti ruang sunyi yang diam-diam memberiku hadiah. Di situ aku bisa menatapnya lebih lama, tanpa harus terlihat mencolok. Dunia seakan melambat. Memberi waktu, memberiku jarak yang cukup jauh agar tak menyita perhatian, tapi cukup dekat untuk menyerap keberadaannya.
Mungkin bagi orang lain ini bukan apa-apa. Tapi bagiku, itu cukup.
Seperti hadiah kecil yang diam-diam kusimpan, dan tak perlu dibagi ke siapa pun. Karena tak ada yang tahu rasanya, kecuali aku.
Ada rasa yang tak bisa dijelaskan yaitu, hatiku terasa berisik.
Seolah dunia memberikan izin untuk bersuara walau hanya lewat tatapan, lewat senyum kecil yang ragu. Tapi itu saja sudah cukup.
Cukup untuk membuatku kembali memikirkannya malam ini.
Cukup untuk membuatku jatuh hati. Lagi. Dan lagi.
Tangga dan lift adalah saksi keberanianku. Tempat yang memberitahu bahwa cinta tak harus digenggam, sedikit senyum adalah merelakan, meskipun takut. Takut rasa sukaku terlihat.