Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

“Hari ini gila banget!” 

Mawar menyelipkan ponsel di antara telinga dan bahu kanan saat kedua tangannya sibuk membereskan meja belajar yang kacau karena ulah Lea.

“Apa? Kenapa? Bu Endang marah-marah?”  Adel yang diseberang telepon menyahut dengan cepat.

“Itu sih biasa. Ya… walau emang sedih sih, tapi ada yang bikin mind blowing!”

Mawar menemukan sebungkus cokelat di sela-sela bukunya. Mungkin Lea lupa membawa jajannya keluar saat bermain di kamar, jadi Mawar segera mengambil cokelat itu dan membukanya saat sudah duduk di tepi kasur. Ia pun memulai kisahnya sambil menggigit cokelat kacang itu dengan menggebu-gebu. Mulai dari dimarahi Arjun sampai bertemu lagi di depan minimarket. Di balik telepon, Adel sudah tertawa sampai sesak napas.

“Gila! Aneh banget harimu!” celetuk Adel, masih tak berhenti tertawa. 

Cerita Mawar seperti hiburan untuknya yang sedang lelah karena baru pulang kerja. Meski ia terus dimarahi Mawar karena sudah menertawakannya. 

“Jangan ketawa! Aku lagi kesel banget!!”

“Iya. Iya. Sori.”

Adel berusaha diam, tapi hanya berlangsung tiga detik karena tawanya kembali membahana sampai-sampai Mawar harus menjauhkan ponsel dari telinga.

“Del!”

“Hahaha! Asli! Kocak banget! Nggak kuat!”

“Bagimu kocak! Bagiku mah ini musibah!”

Mendengar tawa Adel yang tak berujung, Mawar jadi enggan menceritakan kisah yang lain. Sudah dipastikan Adel makin tergelak jika mendengarnya. Ia kan ingin curhat dan didengarkan, bukan malah diketawain!

“Aduh. Sori… sori banget.” 

Mawar merotasikan bola matanya saat Adel masih berusaha menghentikan tawa. Jika didengar dari suara tarikan ingusnya, sudah dipastikan Adel tertawa sampai menangis. 

“Terus gimana? Gimana? Kamu kabur pas udah teriak malu di depan Arjun?” tanya Adel. 

Seketika pipi Mawar kembali memerah. Ia menggigit lidahnya karena terlalu malu untuk menjawab pertanyaan Adel.

“Kok diem? Kenapa? Jangan-jangan… beneran nebeng Arjun?!” tembak Adel.

“Dia yang maksa!” Mawar membela diri. 

Telepon itu akhirnya kembali dipenuhi dengan tawa, bahkan kali ini lebih lama. Mawar yakin tawa Adel tak akan berhenti, jadi ia mematikan panggilan secara sepihak. 

“Nyebelin,” desis Mawar sambil melempar ponselnya ke kasur. 

Cokelat di tangannya masih sisa satu gigitan, jadi ia langsung mendorongnya ke mulut dengan kesal. Ia bisa membayangkan betapa hancur harga dirinya di depan Adel jika saja dia mengetahui cerita lengkapnya. 

Pada awalnya, Mawar memang sudah siap berlari dari hadapan Arjun, tapi cacing-cacing di perutnya telah mengkhianati harga diri yang coba dipertahankan. Bisa-bisanya cacing itu berdemo di depan Arjun hingga membuatnya makin tertawa. Mawar jadi ingat kalau makanan terakhir yang masuk ke perutnya memang cuma bakpao kacang hijau yang dibeli dalam perjalanan menuju interview tadi pagi. 

“Ini… saya ada roti. Makan aja, Kak.”

Saat Arjun menyodorkan roti pandan srikaya ke depannya, ia ingin menepis kencang-kencang. Namun, rasa mual yang sudah sampai ke tenggorokan membuatnya menerima roti itu dan segera memakannya. Ia sudah melakukan banyak hal memalukan di depan Arjun, jadi ia menyerah untuk menjaga martabatnya. 

“Enak?” tanya Arjun, masih setia menunggunya menghabiskan roti. 

Mawar masih menatapnya dengan tajam, tapi tetap mengangguk. Karena makan dengan terburu-buru, ia jadi tersedak hebat. Lagi-lagi Arjun bertindak cepat dengan menyodorkan sebotol air mineral dan membuka tutup botolnya sekalian. 

“Pelan-pelan aja, Kak. Nggak apa. Saya tungguin.” 

Mawar ingin bertanya kenapa Arjun harus menunggunya, tapi ia memilih diam dan tetap menghabiskan rotinya. Ia pikir Arjun akan pergi setelah ia selesai makan, tapi lelaki itu masih kukuh untuk menyodorkan helm kepadanya. 

“Ayo, Kak. Saya antar.”

Entah karena senyum Arjun yang teduh atau karena perasaan sungkan karena sudah menghabiskan roti dan airnya, Mawar akhirnya menerima helm hijau lumut itu. Ia segera mengenakannya sebelum menempatkan diri di belakang Arjun dengan canggung. 

“Nanti kasih tahu ya Kak belok-beloknya.”

“Hm.”

Sepanjang perjalanan mereka tak membicarakan apapun dan Mawar sangat bersyukur untuk itu. Arjun rupanya masih memiliki kepekaan karena ia benar-benar tak ingin diajak bicara. Setelah sampai di depan rumah, Mawar menepuk bahu Arjun dua kali agar dia berhenti.

“Udah sampai.”

Mawar melompat turun dari motor Arjun, lalu melepas kaitan helm dengan terburu-buru. Ia ingin cepat masuk agar bisa melarikan diri dari Arjun, tapi wajah Arjun yang penuh kebingungan malah membuatnya heran sendiri.

“Ini… rumah Kakak?” tanya Arjun. Wajahnya benar-benar sudah pucat, padahal beberapa menit yang lalu terlihat puas karena menertawakannya.

“Iya. Emang kenapa?” Mawar balik bertanya. Akan tetapi, pertanyaan itu tak kunjung dijawab Arjun. Justru ia menemukan jawaban saat seseorang memanggil nama Arjun dengan lantang dari seberang rumahnya. 

“Kak Arjun, cepet pulang! Mana yogurt pesenan gue!”

Kini bukan hanya Arjun yang memucat, Mawar pun ikut pias. Ia bahkan melempar helm Arjun dan berlari masuk ke rumah karena baru mengetahui fakta paling mengejutkan: tetangga yang baru pindah kemarin adalah keluarga Arjun.

Mawar berani jamin jika ia menceritakan segalanya secara utuh kepada Adel, pasti dia akan ke rumahnya sekarang juga hanya untuk melihat tetangga barunya. Kemudian… astaga… ia tak berani mengkhayal lebih jauh. Ia tak bisa membayangkan betapa reseknya Adel nanti. 

“Kak! Mandi sana! Bau banget!”

Mawar menyibak sedikit kelambu kamarnya saat mendengar suara berisik dari tetangga depan. Ia menahan napas untuk beberapa detik saat menyadari balkon di depan kamarnya berhadapan tepat dengan kamar Arjun. Lingkungan di gang rumahnya cukup rapat sehingga ia bisa dengar jelas percakapan Arjun dan adiknya yang cukup lengking.

“Bentar! Mau beresin baju!”

“Mandi dulu kek! Bau lo bisa jadi polusi hidung!”

“Heh! Mulutnya dijaga!”

Setelah melihat pemandangan Arjun sedang mengejar adiknya di area balkon, Mawar kembali menutup rapat-rapat kelambunya. Dalam sekali lihat, Mawar sudah menduga betapa harmonisnya hubungan kakak-beradik itu. Keluarganya nampak baik-baik saja. Arjun memiliki kehidupan normal, sangat berbeda jauh dengannya. 

Di antara hari-hari yang panjang, merebahkan punggung ke kasur menjadi surga untuknya. Kini, kasur itu bukan lagi gumpalan awan yang mampu menenangkan. Kedamaian terasa jauh di matanya kala membayangkan betapa banyak labirin hidupnya yang bisa diketahui Arjun dengan mudah. 

***

Arjun menuruni tangga sembari menggosok handuk ke rambutnya yang basah. Waktu sudah pukul sepuluh malam saat ia melihat orang tuanya masih sibuk merapikan barang di ruang tengah. Ada banyak barang di rumahnya, memang tak mungkin bisa mengorganisir semuanya dalam sehari. 

“Papa sama Mama istirahat aja,” celetuk Arjun. 

“Bentar, Jun. Nanggung,” balas Shima, sang mama.

“Mama habis perjalanan jauh. Istirahat aja. Si bungsu aja udah molor dari tadi.”

“Airin emang harus tidur lebih awal biar nggak telat buat sekolah hari pertama besok.” Satya membalas ucapan sang putra sembari mengeluarkan beberapa pigura foto dari dalam kardus. 

Arjun mengambil alih pigura-pigura itu dari tangan papanya. Wajahnya tegas menunjukkan agar orang tuanya berhenti berkutat pada barang-barang.

“Pa, buruan tarik Mama ke kamar,” bisiknya.

Satya hanya tertawa, lalu beranjak dari duduknya. Ia mengikuti permintaan sang putra untuk mengajak istrinya beristirahat.

“Kamu juga langsung tidur, Jun. Besok katanya masih ada ospek, kan?” peringat Satya sebelum menutup pintu kamar. 

Arjun mengangguk. “Siap, Pa.”

Setelah orang tuanya meninggalkan ruang keluarga, Arjun berjalan menuju nakas yang baru dipasang. Ia menata pigura-pigura foto itu dengan rapi, lalu mendudukkan tubuhnya ke sofa. Saat ia mencoba memejamkan mata, wajah Mawar yang ketus terlintas di kepala. Seketika kelopak matanya kembali terbuka.

“Astaga….”

Kepalanya terasa berdenyut-denyut mengingat drama yang terjadi hari ini. Dan ia makin pusing saat memikirkan kalau perempuan itu tinggal di seberang rumahnya. Jika seperti ini, janji untuk tak pernah muncul di depannya sempurna sirna.

Arjun sudah panik setengah mati saat masuk ke rumah. Ia bahkan mengabaikan kresek belanjaannya meski Airin sudah mengomel mengenai yogurtnya. 

“Papa kenapa pindah ke daerah ini?” serangnya kepada papanya yang baru membuka-buka kardus. 

“Kenapa? Dari kemarin-kemarin kamu no komen kalau bahas pindahan rumah. Kenapa jadi panik gini sekarang?” balas papanya. 

Arjun mengacak rambutnya. Ingin menjelaskan situasi. Ingin berkata, kenapa harus di depan rumah perempuan yang bikin mati kutu. Tapi tak mungkin ia mengatakannya, jadi ia hanya mengerang sebelum menaiki tangga dan sembunyi ke dalam kamar.

Benar kata papanya, ia tak berhak berkomentar sekarang setelah ia bersikap acuh tak acuh atas rencana kepindahan keluarganya ke Surabaya selama dua tahun ini. Sejak ia diterima di Universitas Surabaya Raya, orang tuanya memang terus meminta agar sekeluarga ikut ke Surabaya karena tak mau meninggalkan Arjun. 

“Kalau ngekos kamu nggak bisa rawat diri.” 

“Bisa, Ma. Biarin aku belajar mandiri ya, Ma.”

Sejak semester satu ia terus berdebat mengenai keputusannya untuk ngekos sendiri. Papanya bahkan diam-diam hampir mendaftarkan ke perguruan tinggi swasta di Jakarta agar ia tak jadi pergi. Akhirnya, dengan janji pulang ke rumah sesering mungkin jadi titik tengah perdebatan itu. 

Semuanya berjalan dengan baik, pada awalnya. Sampai ia memutuskan liburan semester ini digunakan untuk kegiatan kepanitiaan. Ia sudah memasuki tahun ketiga, tapi tak terlalu aktif mengikuti kegiatan kampus. Maka, ia tak bisa menghindar lagi saat Bima menyeretnya untuk daftar sebagai panitia ospek.

“Libur semester ini, aku nggak pulang ya, Pa… Ma.”

“Oke. Kalau gitu kita yang pindah ke Surabaya.”

Arjun tak bisa menolak lagi saat orang tuanya sudah membuat keputusan. Karena ia juga mengerti alasan mereka bersikap overprotective kepadanya. Yang membuatnya bingung kali ini hanya keberadaan Mawar. Ia takut mengganggu kenyamanan hidup Mawar, karena sepertinya hidup perempuan itu sudah cukup berat bahkan sebelum bermasalah dengannya. 

"Di antara semua rumah di Surabaya... kenapa juga harus di depan rumahnya?" gumam Arjun dengan gelengan kepala. Ia sungguh tak mengerti akan takdir yang berencana dengan penuh canda pada mereka.

***


 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Game Z
6623      1969     8     
Science Fiction
Ia datang ke ibukota untuk menuntut ilmu. Tapi, anehnya, ia dikejar dengan sekolompok zombie. Bersama dengan temannya. Arya dan Denayla. Dan teman barunya, yang bertemu di stasiun.
Simfoni Rindu Zindy
2604      1517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
DUA PULUH MENIT TERAKHIR
471      337     0     
Short Story
Setiap waktu sangat berarti. Selagi ada, jangan terlambat untuk mengatakan yang sesungguhnya. Karena kita tak tahu kapan waktu akan merenggutnya.
November Night
399      288     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Story of time
2533      1029     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
My Rival Was Crazy
154      137     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
Ketos in Love
1211      696     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
Cinta tanpa kepercayaan
545      413     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
Bulan dan Bintang
6285      1745     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
The Past or The Future
486      389     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?