Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Ada sesuatu tentang pagi pertama di tahun baru yang terasa ganjil. Entah udara yang lebih dingin dari biasanya, atau sisa-sisa kembang api semalam yang masih tercium samar di udara. Yang jelas, tahun baru selalu membawa keramaian yang sama. Bekas petasan yang berserakan, bunyi terompet, dan suara tawa orang-orang yang yang seakan-akan bahagia tanpa alasan.

Tanpa banyak bertanya, pagi tadi Vincia menurut ketika Gohvin memintanya bersiap. Ia mengenakan kaus, kardigan, dan rok midi lipit warna cokelat. Bibirnya dipoles liptint yang baru beberapa kali digunakan. Jerawat yang pernah dikhawatirkan akan dilihat Valdo, sekarang sudah hilang. Namun, kini malah kemuraman yang menghiasi wajah gadis itu.

Gohvin mengajak Vincia naik taksi Yoksi. Padahal biasanya, gadis itu sudah terbiasa ke mana-mana naik bus. Mobil berwarna kuning itu melaju dalam kecepatan rata-rata. Benaknya terus memunculkan pertanyaan, hingga Vincia tidak sempat menebak ke mana Gohvin akan membawanya.

Ketika akhirnya mereka turun dari taksi yang berhenti di depan Fairy Dreamland, Vincia mematung. Langkahnya membeku di depan pintu masuk taman bermain dengan dekorasi bertema peri itu.

Vincia menunduk dan menggeleng ketika Gohvin menarik pergelangan tangannya. “Aku malu. Sendirian ke tempat seperti ini … kayak orang aneh.”

“Justru itu masalahmu, Vincia,” ucap Gohvin. Nada bicaranya terkesan malas tetapi menohok. “Kau terlalu sibuk takut terlihat aneh di mata orang lain, sampai lupa jadi nyaman di mata diri sendiri.”

Vincia terdiam, mengigit sudut bibir. Ia mengamati sekitar yang didominasi keluarga dan pasangan. 

“Orang lain tidak akan peduli kau datang dengan siapa, yang peduli itu cuma hatimu. Dan selama kau masih menunggu ditemani, kau tidak akan pernah benar-benar utuh.”

Kemudian Gohvin berjalan lebih dahulu, dengan sepasang kakinya yang tidak memakai alas apa-apa. Setelah berjarak sekitar 5 langkah, lelaki itu menoleh setengah badan.

“Ayo. Beri dirimu sendiri waktu yang layak. Kalau orang lain tidak pernah mengajak kencan yang benar, setidaknya kau bisa melakukannya untuk dirimu sendiri.”

Vincia diam sebentar, mempertimbangkan ucapan Gohvin yang kini berjalan menjauh.

Ketika akhirnya gadis itu melangkah pelan di belakangnya, Gohvin tersenyum bangga. Ia tahu Vincia sudah punya cukup keberanian untuk dirinya sendiri.

***

Tempat itu penuh. Orang-orang yang menikmati liburan tahun baru berbaris mengantre hampir di semua wahana dan gerai makanan. Namun, ruang kosong di hati Vincia tetap tidak terisi.

Vincia mengizinkan Gohvin memimpin. Mereka membeli es krim stroberi yang cepat mencair di tangan. Naik wahana rumah hantu yang terlalu mudah ditebak.  Naik komidi putar. Vincia puas tertawa saat Gohvin hampir muntah setelah turun dari roller coaster.

Tidak ada yang benar-benar istimewa, tetapi Vincia merasa hangat.

Vincia duduk di bangku panjang. Gohvin yang memintanya duduk dan menunggu di sana. Gadis itu mendongak pada langit yang biru. Matahari mulai meninggi, tetapi sama sekali tidak terasa menyengat di kulit.

Tangan Vincia membelai liontin kura-kura yang tergantung di leher. Kenangan bersama kedua orang tuanya berkelebat cepat seperti tayangan trailer film. Perlahan, matanya mulai memanas.

Namun, tiba-tiba ruang pandang Vincia dipenuhi warna hijau dan kuning yang lembut. Gadis itu mengerjap. Air mata batal menetes dari balik kelopak mata.

Ketika menegakkan tengkuk, wajahnya kembali menghadap depan. Vincia mendapati permen kapas berbentuk kura-kura dengan gagang kayu yang dipegang oleh Gohvin. Lelaki itu tersenyum padanya dengan bibir tipis yang melengkung dan memunculkan lesung pipi.

“Jangan menangis di hari seindah ini,” seloroh Gohvin sambil menyodorkan gula kapas, “nanti hujan turun.”

Vincia tertawa kecil. Ia memandangi permen kapasnya. “Cantik banget. Kok bisa?”

“Aku pesankan khusus untuk sang pelukis genius; Vincia Fikaso,” ujar Gohvin dengan nada bangga, “habiskan supaya keberuntungan datang dan kau bisa segera menyelesaikan tugas akhirmu.”

Jemari Vincia mencubit sebagian kecil permen kapas. Glabelanya berkerut ketika menyadari satu hal. “Tapi bagaimana caranya kau memesan ini? Bukankah seharusnya, hanya aku yang bisa melihatmu?”

“Lebih baik kita lupakan dulu fakta itu,” saran Gohvin sambil melahap permen kapas putih miliknya, “fokus saja pada kebahagiaanmu sekarang; karena momen seperti ini tidak abadi.”

Vincia memajukan bibir bawah. “Kenapa, sih, kau bisa mengatakan hal yang manis lalu tiba-tiba mengubahnya menjadi tragis?”

“Tidak tragis, memang begitulah hidup. Bahagia itu datang dan pergi, tapi kau harus pastikan untuk selalu menyayangi dirimu sendiri,” balas Gohvin disambut anggukan Vincia, “mau naik wahana apa selanjutnya?”

Vincia tersenyum usil. “Bagaimana kalau roller coaster lagi?”

Gohvin menyeringai kesal. “Naiklah, aku akan menunggu di bawah.”

Gelak Vincia membumbung ke udara. Ternyata seru juga melihat Gohvin kesal. Padahal biasanya lelaki itu tampak sempurna dalam ketenangan.

Setelah menghabiskan permen kapas dan meneguk sebotol air, mereka bermain di gerai kecil berhadiah, menonton pertunjukan sulap. Hingga akhirnya mereka menaiki bianglala.

Kabin kecil itu berderit pelan saat bergerak. Kota terlihat seperti miniatur dari atas sana. Matahari di ufuk barat berpendar jingga dan dadu, mengingatkannya pada lukisan magis khas karya Frita. Semua itu membentuk lanskap yang hening, meski ramai.

Vincia bersandar di kursi, menarik napas panjang. “Aneh ya,” gumamnya. “Semua orang di bawah sana terlihat bahagia.”

Gohvin duduk santai berhadapan dengan Vincia. “Manusia memang pandai berpura-pura. Termasuk kau.”

Vincia tertawa kecil. “Hari ini aku benar-benar bahagia, kok. Terima kasih, ya, Gohvin.”

“Nah, kau harus lebih sering mengatakan itu.”

“Apa?”

“Setiap hari, katakan pada dirimu sendiri: ‘terima kasih, Vincia’,” ujar Gohvin lantas menatap ke luar jendela.

Vincia tersenyum lebar, tidak membantah. Ia memandangi Gohvin yang membelakangi matahari terbenam. Perlahan-lahan, sosok lelaki itu makin mirip dengan siluet dalam lukisan karya ayahnya.

“Kita menaiki bianglala saat matahari terbenam, ini mulai terasa seperti kencan sungguhan,” ujar Vincia seraya mengeluarkan ponsel dari tas rajutnya, “ayo kita berfoto bersama.”

Vincia mencondongkan tubuh ke samping Gohvin. Tangan kanannya terentang sejauh mungkin, menggenggam ponsel dengan kamera depan yang menyala. Dalam hitungan ketiga, gadis itu menekan tombol menangkap senyum canggung Vincia dan seringai angkuh Gohvin.

Senyum Vincia melebar. Momen ini memang sederhana, tetapi lebih berarti daripada janji apa pun. Setelah ini, ia bisa pulang dan tidur nyenyak.

“Kata siapa setelah ini kita pulang?” sahut Gohvin sambil menyeringai penuh rencana.

***

Vincia menelan ludah saat pramusaji meletakkan piring kecil ke atas meja di hadapannya. Ia menatap hidangan pembuka yang tampak terlalu cantik untuk disentuh. Irisan salmon tipis dengan hiasan bunga kecil di atasnya, saus lemon yang lebih mirip lukisan daripada makanan, serta butiran kaviar mungil yang berkilau di pinggir piring.

Ternyata ini rencana yang bersembunyi di balik senyum Gohvin tadi. Makan malam mewah.

Vincia memandang ke arah Gohvin dengan mata membulat. “Ini … kelihatannya mahal banget,” desisnya setengah berbisik di antara gigi yang terkatup.

Gohvin tertawa pelan, menyandarkan punggung di kursi sambil menatap Cessa yang masih terpaku memandangi makanannya. “Tenang. Bayarnya pakai rasa kecewa yang kau kumpulkan setahun ini.”

“Kalau gitu, aku bisa memesan semua menu,” gurau Vincia yang akhirnya mengambil garpu kecil di sisi piring. Ia mencicipi sedikit, lalu kelopak matanya melebar. Sepasang netranya berbinar penuh syukur. “Astaga … enak banget.”

Gohvin tersenyum miring. “Kau pantas mendapatkan yang terbaik, Vincia.”

Lampu gantung kristal di atas mereka berpendar hangat, membuat bayangan di wajah Gohvin terlihat samar. Entah kenapa, di balik senyumnya yang tenang, ada sesuatu yang asing sekaligus familier.

“Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke sini?” tanya Vincia. Jauh dari hidup sederhana yang selama ini gadis itu jalani.

“Karena kau berhasil bertahan sejauh ini, Vincia. Tidak ada orang lain yang cukup pantas untuk merayakanmu, jadi aku yang lakukan.”

“Terima kasih, ya,” ucap Vincia dengan suara pelan, “buat malam ini.”

“Selama ini kau hidup terlalu hemat, Vincia,” sahut Gohvin, “padahal kau punya banyak uang hasil kerja sambilan dan kiriman dari Tante Hilma. Jadi, sekali lagi, ucapkan terima kasih pada dirimu sendiri.”

Vincia memelotot. “Jadi karena itu? Kau kemari untuk menguras tabunganku?”

Tawa Gohvin ringan di antara alunan musik dari piano di sudut ruangan. Seketika, Vincia ikut tergelak meskipun merasa ngeri ketika membayangkan angka di buku tabungannya nanti. Namun, hatinya mendadak hangat. Malam itu terasa ringan, seakan-akan seluruh beban bisa dilipat rapi dan ditinggalkan di sudut ruangan.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • juliartidewi

    Kalau minat baca penduduk Indonesia sudah tinggi, semua penulis pasti diapresiasi sehingga tidak ada lagi persaingan yang sangat ketat seperti sekarang. Setiap penulis akan memiliki karya2nya sendiri yang sudah diterbitkan karena setiap penulis akan memiliki penggemar2nya sendiri. Semoga karya Kakak sukses!

    Comment on chapter Epilog
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Smitten Ghost
439      350     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
sulit melupakanmu
188      135     0     
True Story
ini cerita tentang saya yang menyesal karena telah menyia nyiakan orang yang sangat cinta dan sayang kepada saya,dia adalah mantan saya
Tok! Tok! Magazine!
175      156     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." โ€ขโ€ขโ€ข Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
3528      2007     1     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Glitch Mind
81      73     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Behind The Spotlight
4563      2320     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
My First love Is Dad Dead
113      100     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
296      262     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Yang Tertinggal dari Rika
5765      2114     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Metanoia
97      86     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiriโ€”dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...