Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tebing Cahaya
MENU
About Us  

Tanah tidak pernah diam. Ia hanya pandai menyembunyikan geraknya di bawah telapak manusia. Retakan-retakan kecil adalah bisikan, lumut yang bergeser adalah isyarat, batu yang miring adalah keluhan. Selama bertahun-tahun ia menahan, menyimpan beban air hujan, menutup napas gas yang ingin keluar, merapatkan serabut akar agar manusia masih punya pijakan.

Tapi setiap kesabaran ada waktunya.

Ketika Ahyi menekan pancang bambu itu, tanah merasa waktunya sudah cukup lama menunggu. Lapisan lempung yang jenuh air menyerah lebih dulu, lalu butiran arang muda di bawahnya terlepas dari genggaman. Rongga kecil yang selama ini hanya menahan napas akhirnya terbuka, seperti mulut yang tak bisa lagi ditutup.

Tanah tidak marah. Ia hanya mengingat janjinya sendiri: apa yang dipinjamkan, suatu hari harus kembali. Maka dengan gerakan yang nyaris lembut, ia menarik pijakan dari bawah telapak kaki Ahyi.

Bibir tebing terbelah. Rumput bergoyang sebentar, lalu ikut menyerah. Caping terlepas dari tangan, pancang bambu miring dan patah. Dunia berputar—langit menukik, tanah menanjak. Dalam sekejap itu, segala hal kecil terlihat jelas: daun kering yang menari tanpa angin, kerikil hitam yang meluncur seperti bintang malas, serabut akar yang sempat menahan sebelum ikut terlepas.

Ahyi tidak sempat berteriak panjang. Hanya satu tarikan nafas pendek, lalu tubuhnya terseret turun.

Tebing Cahaya mengulurkan ceruknya—sebuah kantong kecil yang tersisa dari ratusan tahun kikisan air. Di sana, akar besar menjulur seperti tangan yang enggan melepas sepenuhnya. Tanah membiarkan tubuh itu berhenti di tengah jalan: tidak kembali ke atas, tidak jatuh ke dasar. Menggantung di antara hidup dan mati, seolah memberi jeda pada waktu untuk memutuskan.

Dan di jeda itulah, cerita ini menahan nafasnya.

Tubuh Ahyi tidak benar-benar jatuh bebas. Tebing Cahaya, yang licik sekaligus penyayang, menyimpan kantong-kantong kecil hasil kikisan hujan. Pada sore itu, salah satunya menerima tubuhnya.

Benturan pertama menghantam punggungnya ke dinding batu. Sakitnya seperti kilat, memutus napas di tenggorokan, membuat pandangan berkunang. Tapi justru benturan itu menghentikan lajunya, mencegahnya meluncur ke dasar jurang. Sejurus kemudian, akar besar yang menjulur dari atas meraih bahunya, menahan tubuhnya di antara udara dan batu, seperti lengan kasar yang dipasang diam-diam oleh tanah.

Kaki kirinya terjepit di celah batu, rasa sakitnya tajam sampai menusuk pangkal paha. Ia menggertakkan gigi, menahan teriakan yang tak sempat lahir. Rasa sakit itu tak menyenangkan, tapi memberi kepastian: ia masih utuh, belum remuk. Tangan kanannya mencari pegangan, dan menemukan rotan liar yang tumbuh di sela batu. Ia genggam erat-erat, meski telapak tangannya tergores.

Nafasnya berat, dada naik-turun tidak teratur. Di bawahnya, suara air menetes, jatuh dari sela batu ke tanah yang tak terlihat. Ritmenya seperti detik jam—pelan, sabar, tanpa peduli manusia yang sedang menggantung di atasnya. Bau tanah basah mengisi hidungnya, bercampur dengan aroma samar belerang yang getir, seolah bumi sendiri sedang menghembuskan napas dari perutnya.

Ahyi membuka mata perlahan. Dari sudut tempatnya tertahan, ia tak melihat langit penuh—hanya potongan ranting dan kabut tipis yang bergantung di atas. Sinar senja merayap pelan, berwarna oranye kusam, menyoroti ujung akarnya. Dunia terasa menyempit jadi ruang selebar tubuhnya sendiri: batu, akar, udara tipis.

Ia mencoba bergerak, namun setiap gerakan kecil menyalakan rasa nyeri di kaki, menjalar hingga ke tulang. Dengan cepat ia sadar: ia tak bisa lari dari tempat ini, tak bisa memanjat, tak bisa turun. Yang bisa ia lakukan hanya menunggu. Menunggu siapa? Menunggu apa? Ia tak tahu.

Di pinggangnya, sebuah kentongan darurat masih tergantung: rotan pendek yang ia ikat sejak siang. Jemarinya gemetar meraihnya. Ia angkat, lalu memukul tiga kali.

Tong. Tong. Tong.

Suara itu keluar pelan, namun jurang memantulkannya jadi gema yang tajam. Desa mendengarnya.

Selesai memukul, lengannya jatuh lagi. Tubuhnya terasa ringan di luar tapi berat di dalam, seperti disedot ke arah dua kutub yang berlawanan. Nafasnya masih ada, tapi setiap tarikan terasa seperti utang yang harus dibayar mahal.

Dalam kabur antara sadar dan pingsan, ia sempat merasa aneh: bukankah tanah ingin menelannya, tapi justru menyisakan ruang kecil ini untuknya? Ia seperti digantung di antara dua keputusan: mati atau hidup. Tidak ada yang final, semuanya ditunda.

Matanya bergetar sebelum terpejam lagi. Dan di dalam gelap itu, cahaya kecil muncul, samar di tepi pandangannya. Satu, lalu dua, lalu puluhan. Kunang-kunang. Mereka terbang di sekitar akar, berkerlip lembut, seolah ikut menunggu keputusan apa yang akan diambil bumi terhadap tubuh yang tertahan itu.

Sementara itu di tempat lain, barisan obor sudah bergerak meninggalkan desa. Lidah api kecil itu terombang-ambing, dipaksa condong oleh angin gunung, tapi tidak padam. Setiap langkah menghasilkan bunyi yang berlapis: gesekan sandal dengan tanah, dentingan bambu beradu di bahu, desah nafas orang-orang yang menahan takut dengan diam.

Hutan di tepi jalan tampak lebih rapat dari biasanya. Pohon-pohon yang siang tadi akrab, kini menjelma seperti barisan tubuh asing. Cahaya obor hanya menjangkau beberapa langkah ke depan, sisanya gelap, seolah jurang sudah lebih dulu mengintip dari balik bayangan.

Roni berjalan di depan rombongan jalur atas, obor di tangannya. Wajahnya dipantulkan api, setengah terang, setengah bayangan. Dadanya berdegup kencang, bukan hanya karena menanjak, melainkan karena dua nama terus berdengung di kepalanya: Ridhan. Ahyi.

Di belakangnya, suara berbisik memecah senyap.

“Kalau benar di tebing…” ujar seorang pemuda, suaranya tercekat.

“Jangan teruskan,” sahut yang lain cepat, “kata begitu malah bikin berat langkah.”

Seorang bapak tua menimpali pelan, “Langkah berat bukan karena kata, tapi karena takut. Tapi kalau diam, takut makin besar.”

Roni mendengar semua itu, tapi tidak menoleh. Ia tahu, setiap kalimat di barisan ini adalah cara orang memegang takutnya sendiri.

Seekor anjing desa yang ikut dari belakang tiba-tiba menggonggong, lalu diam lagi. Beberapa orang berhenti sejenak, obor terangkat lebih tinggi.

“Anjing itu melihat apa?” bisik seorang ibu muda.

“Bukan melihat, tapi dengar,” jawab bapaknya. “Hutan selalu lebih dulu tahu sebelum kita.”

Bambu panjang yang dipanggul lelaki muda di depan sesekali digunakan menusuk tanah sebelum mereka berpijak. Tanah yang padat memberi suara berat, tanah yang rapuh berbunyi hampa—dan setiap bunyi hampa membuat dada semua orang terasa kosong sesaat.

“Di sini keras,” kata pemuda itu setelah menusuk sekali.

“Syukurlah,” sahut temannya. “Jangan sampai bunyinya kosong.”

Roni menahan obor lebih erat. Api kecil di ujungnya bergetar, menciptakan bayangan panjang di tanah. Bayangan itu bergerak bersamanya, seperti kawan yang keras kepala menolak tertinggal.

Pak Tarya yang berjalan tak jauh di belakang akhirnya bersuara, tidak keras tapi cukup terdengar oleh semua. “Jangan buru-buru. Tebing Cahaya tak suka langkah tergesa. Kalau terlalu cepat, tanah bisa salah sangka.” Obor menunduk serempak, seolah api pun mengerti tata krama jalur.

Roni mengangguk tipis. Dalam hatinya, kalimat yang berulang hanya satu: jangan biarkan jurang memilih sendirian.

---

Ridhan merayap turun pelan, menempelkan punggung pada dinding batu yang dinginnya merambat hingga ke sumsum. Lututnya tergores, darah kecil merembes di balik celana yang sudah basah oleh lumpur. Telapak tangannya licin oleh keringat bercampur tanah, tapi ia tetap memaksa mencengkeram akar dan tonjolan batu. Kamera di dadanya bergesek, menabrak tulang rusuk tiap kali ia menarik nafas kasar.

Di bawah sana, cahaya-cahaya kecil terus berkerlip. Bukan pantulan lampu, bukan api. Kunang-kunang. Puluhan jumlahnya, melayang di udara, menari di sekitar ceruk. Seolah-olah mereka sengaja menyorot tubuh yang bersandar di akar besar.

Ridhan menahan napas. Tubuh itu bukan bayangan kosong. Wajah pucat, rambut acak-acakan, bibir pecah, mata terbuka samar. Nafas pendek, tapi nyata. Ahyi.

Untuk sesaat, kakinya kehilangan tenaga. Dadanya terasa diremas, seolah waktu berhenti hanya untuk menegaskan satu hal: ia menemukan, tapi belum benar-benar menyelamatkan.

“Ridhan…?” suara itu tipis, pecah, nyaris hanya angin.

“Aku di sini.” Suaranya keluar serak, parau. Tangannya meraih, tapi jarak itu licik—cukup dekat untuk menggoda, cukup jauh untuk membuat jantung serasa robek.

Ahyi mencoba mengangkat tangan, tapi lengannya lemah, bergetar seperti daun yang dipaksa menahan angin. “Aku kira… tanah sudah memilihku,” bisiknya. Tatapannya redup, tapi masih ada sisa harap yang bersinar samar.

“Tidak,” Ridhan mendesis, menekan lututnya ke batu agar tidak jatuh. “Bukan tanah yang memilih. Kita.”

Ahyi terdiam. Kunang-kunang menari lebih dekat, menyinari pipinya yang kotor, membuatnya terlihat seperti bayangan yang separuh nyata. “Kalau… kita lihat cahaya ini bersama…” suaranya patah di tengah. Ia menunduk, menggigit bibir, seolah takut menyelesaikan kalimat itu.

Mitos. Kata-kata itu tak diucapkan penuh, tapi Ridhan paham maksudnya. Di kepalanya muncul sekelebat: jika laki-laki dan perempuan melihat kunang-kunang bersama, mereka tak akan bisa bersama.

Dadanya bergemuruh. Ia ingin menertawakan, menyebut itu takhayul, menepis dengan logika. Tapi cahaya kunang-kunang yang berkerlip di wajah Ahyi membuat tawa itu lenyap di tenggorokan. Ada rasa getir yang tak bisa dibohongi: Kalimat mitos itu menyentil, tak mau benar-benar pergi.

Tangannya gemetar, tapi ia tetap meraih lebih jauh. Bahunya tertarik, ototnya menjerit, punggungnya menempel keras pada dinding batu. “Pegang aku,” katanya, kali ini tegas, meski suaranya bergetar. “​​Biarkan siapapun menonton; pegang tanganku.”

Ahyi menatapnya. Matanya basah, tapi bukan hanya karena rasa sakit. Ada takut, ada percaya, ada sesuatu yang nyaris seperti pengakuan. Perlahan, jemarinya terangkat, mencari.

Ridhan maju lebih jauh, kakinya meraba pijakan sempit di tonjolan batu. Sepatu licin, nyaris tergelincir, tapi ia memaksa. Nafasnya terengah, keringat jatuh dari pelipis ke dagu. Tangannya mengulur, semakin dekat, hingga akhirnya…

Batu kecil melorot dari telapak sepatunya; waktu ikut melorot bersama. Ujung jari mereka bersentuhan.

Ahyi menggenggam lemah, dengan sisa tenaga yang ia punya. Jemarinya dingin, basah, rapuh. Kunang-kunang berputar lebih rapat, cahaya mereka berkerlip cepat, seperti detak jantung yang ikut cemas.

Ridhan mencengkeram balik, keras, seolah dunia akan runtuh jika ia melepas. Bahunya sakit, tangannya bergetar, tapi ia menolak mengendur. “Aku tidak akan lepaskan,” katanya, nafasnya putus-putus.

Air mata tipis lolos dari mata Ahyi, bercampur dengan debu dan keringat di pipinya. Bibirnya bergerak pelan, tanpa suara penuh, tapi Ridhan bisa membacanya: jangan lepaskan.

Untuk sesaat, waktu berhenti. Dunia hanya berisi genggaman itu, napas berat mereka, dan cahaya kunang-kunang yang menyalakan udara di sekeliling.

Ridhan menunduk, menahan semua campur aduk dalam dadanya: takut kehilangan, lega menemukan, getir karena mitos yang menertawakan, harap tipis yang justru terasa paling nyata.

Ia menggenggam lebih erat lagi, matanya menatap lurus ke wajah pucat itu. Tidak ada kata yang keluar, tapi seluruh tubuhnya sudah berbicara: aku memilih menahanmu, bukan menyerah.

Genggaman itu jadi jangkar. Ujung jemari yang saling mencengkeram, rapuh tapi keras kepala, membuat dunia di sekitar mereka seolah menahan napas.

Ridhan merapatkan tubuhnya ke tebing, mencari tumpuan dengan kaki kiri. Batu kecil rontok dari bawah sepatunya, meluncur ke gelap jurang. Napasnya tertahan. Otot bahunya menjerit, lengan kirinya mencengkeram akar yang menempel di dinding batu, sementara tangan kanannya masih mengikat jemari Ahyi.

“Tarik aku kalau bisa,” bisik Ahyi, suaranya pecah, hampir tak terdengar di atas suara napas mereka.

“Bukan kalau bisa,” Ridhan menatapnya dengan mata bergetar, “aku pasti bisa.”

Dengan perlahan, ia menarik tubuh Ahyi. Akar besar di bawah bahu Ahyi bergerak sedikit, berderit seperti kayu tua yang enggan menanggung beban. Ridhan menggertakkan gigi, seluruh ototnya menegang. “Sedikit lagi,” desisnya.

Ahyi meringis, kakinya tersentak saat terlepas dari celah batu. Rasa sakit menyalakan kilatan di wajahnya, tapi ia menggenggam tangan Ridhan makin kuat. Kunang-kunang di sekitar mereka berputar lebih rapat, cahaya mereka menari seperti menonton ujian yang terlalu berat.

“Kalau kau jatuh bersamaku—” Ahyi berhenti, suaranya gemetar.

“—setidaknya aku jatuh sambil menahanmu,” potong Ridhan cepat, rahangnya mengeras. Pelipisnya basah oleh keringat, tapi matanya tidak goyah.

Sedikit demi sedikit, tubuh Ahyi terangkat. Kain bajunya sobek, lututnya tergores batu, tapi ia makin dekat ke Ridhan. Bahu Ridhan bergetar menahan, punggungnya sakit seakan retak, tapi ia terus menarik.

Napas mereka berdua kini terdengar seperti satu irama—pendek, berat, penuh perjuangan.

“Lepas… kalau terlalu berat,” lirih Ahyi, setengah sadar, setengah mencoba melindunginya.

Ridhan menggeleng keras. “Aku lebih takut kehilanganmu daripada jatuh.”

Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa saringan, tanpa hitungan. Ahyi menatapnya, matanya berair, cahaya kunang-kunang menyalakan wajah pucatnya, membuatnya tampak seperti rahasia yang diungkap di malam.

Akhirnya, dengan satu hentakan penuh tenaga, Ridhan menarik tubuh Ahyi ke dadanya. Mereka berdua terhuyung, hampir jatuh lagi, tapi punggung Ridhan menempel pada tebing, menahan dengan sisa tenaganya.

Ahyi kini setengah terbaring di pelukan Ridhan, tubuhnya gemetar, napasnya masih tersendat, tapi selamat. Genggaman mereka tak terlepas, justru makin erat.

Kunang-kunang masih berkelip, seakan menutup lingkaran cahaya di sekeliling mereka.

Di kejauhan, samar, terdengar suara-suara warga memanggil, dan obor pertama mulai tampak sebagai titik cahaya di kegelapan.

Ridhan masih menempel pada dinding batu, napasnya terengah. Tubuh Ahyi setengah terbaring di dadanya, beratnya lebih terasa karena tubuh itu lunglai, lebih pasif daripada aktif. Lutut Ridhan gemetar, bahunya nyeri, tapi genggamannya tidak kendur.

“Bisa berdiri?” bisiknya, matanya menatap wajah pucat di pelukannya.

Ahyi menggeleng pelan. Bibirnya retak, suaranya nyaris tidak keluar. “Kakiku… sakit.”

Ridhan menunduk, melihat kaki Ahyi yang tadi terjepit batu kini penuh luka, lututnya robek, pergelangan terkilir. Ia menelan ludah, menatap lagi wajah itu. “Kalau begitu, biar aku yang bawa.”

Ia memindahkan posisi, menyelipkan lengan di bawah lutut dan punggung Ahyi, mengangkatnya perlahan. Punggungnya menjerit menahan beban, tapi ia terus menguatkan diri. Ahyi mengerang pelan, wajahnya meringis, tapi tidak menolak.

Kunang-kunang masih beterbangan, seakan menyalakan jalan. Ridhan menapaki pijakan sempit, menempelkan punggung ke batu setiap kali harus berhenti mengatur napas. Batu-batu kecil terus merosot di bawah langkahnya, jatuh ke dalam jurang tanpa suara.

“Jangan… paksakan,” Ahyi berbisik, matanya setengah terpejam. “Kalau kau jatuh, semua percuma.”

Ridhan menoleh singkat, keringat mengalir di pelipis. “Lebih baik jatuh sambil mencoba, daripada pulang dengan tangan kosong.” Suaranya tegas, meski tubuhnya bergetar.

Ahyi terdiam. Air matanya keluar tanpa ia sadari, entah karena sakit, takut, atau karena kalimat itu menembus sesuatu yang ia simpan selama ini.

Langkah demi langkah terasa seperti satu dunia penuh. Ridhan menempelkan kakinya pada tonjolan batu, menarik tubuhnya ke atas dengan otot yang hampir menyerah. Lengan kirinya mencengkeram akar, lengan kanannya tetap memeluk tubuh Ahyi erat-erat.

Setiap kali berhenti, napas mereka beradu di udara sempit. Nafas Ridhan panas, kasar. Nafas Ahyi pendek, terputus-putus. Tapi ada keanehan yang indah: dua napas itu lama-lama terasa seperti menyatu, saling mengisi kekosongan.

“Ridhan…” suara Ahyi pelan, lirih. “Aku… takut.”

Ridhan menunduk sedikit, keningnya hampir menyentuh rambut Ahyi yang basah keringat. “Aku juga,” jawabnya jujur, “tapi takut itu bukan alasan untuk berhenti.”

Mereka terus mendaki. Kunang-kunang semakin banyak, mengikuti gerakan mereka, seolah tak rela melepas momen itu. Senja kini sudah sepenuhnya retak jadi malam, hanya tersisa garis jingga samar di ujung langit.

Di kejauhan, samar, terdengar suara-suara manusia. Obor pertama mulai terlihat di antara pepohonan di atas: titik-titik cahaya yang bergoyang, semakin lama semakin dekat.

Ahyi membuka mata, menatap cahaya itu. Senyum tipis lahir di bibir pecahnya. “Mereka… mencariku.”

Ridhan menahan langkahnya sejenak, menatap juga. Dadanya bergetar, bukan karena lelah semata, tapi karena sadar: mereka tidak sendirian lagi.

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah lagi, mendekat ke cahaya-cahaya itu. “Ya,” bisiknya, suara serak tapi penuh keyakinan. “Dan kita akan kembali bersama mereka.”

Kunang-kunang berkelip terakhir kali di sekitar mereka, seakan memberi salam perpisahan sebelum menghilang ke gelap hutan.

Langkah Ridhan makin berat, tapi cahaya di sekelilingnya justru terasa ringan. Kunang-kunang bergerak seirama dengan gerak tubuh mereka, naik perlahan, seakan sengaja menunjukkan pijakan yang aman. Setiap kelipnya jatuh di akar, batu, dan tanah yang tidak runtuh—seolah alam menitipkan peta singkat lewat cahaya mungil.

Ahyi, dengan kepala bersandar di bahu Ridhan, menatap samar kerlip itu. “Mereka… seperti menuntun kita,” bisiknya, setengah sadar.

Ridhan tidak menjawab, hanya menahan genggamannya lebih erat. Matanya menyapu cahaya yang berpendar, hati kecilnya mengakui—meski otaknya menolak—bahwa ada sesuatu yang terasa terlalu tepat untuk disebut kebetulan.

Semakin tinggi mereka mendaki, kunang-kunang mulai menjauh. Kelipnya makin jarang, makin redup, lalu satu per satu hilang ditelan malam. Seolah tugas mereka selesai: menyalakan jalan bagi dua manusia yang masih bertahan.

Ridhan berhenti sejenak, menoleh ke bawah. Gelap kembali merajai jurang. Tidak ada cahaya tersisa selain obor yang samar di kejauhan. Ia menarik napas panjang, dada naik turun, lalu berbisik, entah pada Ahyi atau pada malam:

“Terima kasih.”

Kunang-kunang terakhir berkelip sekali, lalu lenyap. Malam kini sepenuhnya menjadi milik obor yang bergerak mendekat dari arah desa.

Obor-obor turun seperti ular api, melingkar di jalan curam, cahayanya bergoyang ditiup angin malam. Lalu suara yang paling ditunggu pecah di udara:

“Di sana! Mereka ada!”

Seketika obor-obor terangkat lebih tinggi, cahaya menyembur, menyalakan wajah-wajah yang tadinya tegang. Suara-suara lain susul-menyusul, tidak tertata, penuh ledakan lega:

“Syukurlah…!”

“Ya Allah…!”

“Masih hidup…!”

Ridhan terpaku sesaat, tubuhnya basah keringat, napasnya kacau. Tapi suara-suara itu memberinya kekuatan baru. Ia melangkah maju, setengah menyeret, setengah memapah Ahyi. Tubuh Ahyi lunglai, bajunya robek, kakinya berlumuran darah dan tanah. Tapi begitu cahaya obor menyentuh wajahnya, ia tersenyum lebar—Senyum lebar, hampir seperti anak yang pulang terlalu sore.

“Aku… baik-baik saja,” katanya serak, tapi dengan nada bercanda yang membuat dunia seolah luruh. Senyum itu menular, memecahkan dinding tegang yang menahan napas desa sejak kentongan tiga kali terdengar.

Roni, yang berada di barisan paling depan, berlari lalu berhenti mendadak. Obornya hampir jatuh, matanya terbelalak, dadanya menghantam udara keras-keras. Ia ingin marah, ingin menuduh siapa pun yang salah, tapi semua kalimat itu runtuh begitu melihat senyum Ahyi. Air matanya pecah, membasahi wajah yang sejak tadi dipaksa tegar.

“Ahyi!” teriaknya, suara parau, separuh syukur separuh luka.

Ahyi menoleh, tersenyum makin lebar. “Kau telat, Ron. Kau tak bawa kue?” Kalimat sederhana, diucapkan dengan suara pecah, tapi cukup untuk membuat orang-orang di sekitarnya menangis sambil tertawa.

Seorang ibu langsung menutup wajah dengan kain, menangis terisak. Seorang bapak tua menunduk, berdoa syukur dengan suara yang bergetar. Bocah kecil di belakang memeluk pinggang ibunya, menatap takjub seolah baru melihat pahlawan. Suasana yang semula suram berubah seperti sawah yang baru kena hujan pertama: hidup, bergerak, berbau tanah segar.

Ridhan masih berdiri, tubuhnya kaku oleh lelah, namun tangannya tetap memapah Ahyi erat-erat. Obor warga menyinari mereka, memperlihatkan betapa parah perjalanan itu: luka, goresan, debu. Matanya sempat bertemu dengan mata Roni. Tidak ada kata yang keluar, tapi di antara mereka ada pengakuan tanpa suara: malam ini, mereka sama-sama menolak pasrah. Bahu Roni turun setengah inci—ukuran kecil untuk lega yang besar.

Pak Tarya berada di barisan tengah, langkahnya lebih lambat tapi matanya tajam. Ia menatap Ahyi, lalu sesaat menoleh ke arah jurang. Cahaya obor hanya memperlihatkan gelap, tapi ia tahu—sesuatu pernah ada di sana. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menarik nafas panjang, seolah menyimpan rahasia yang tidak perlu dibagikan malam itu.

Warga bergerak cepat. Dua pemuda maju, mengangkat bambu untuk menopang, seorang ibu menyodorkan kain bersih, seorang bapak menyiapkan tali. Semua tangan yang tadi gemetar kini sibuk, semua kaki yang tadi takut kini kokoh.

Ahyi tertawa kecil lagi, tawanya serak tapi murni. “Kalau nanti ada yang bilang aku pahlawan,” katanya dengan nada setengah bercanda, “bilang saja aku hanya kebetulan dapat akar yang baik.” Tawa menelan tangis, seperti hujan pertama menelan debu.

Roni maju, akhirnya menurunkan obornya ke tanah, meraih Ahyi dalam pelukan erat. Air matanya menetes tanpa henti, mengalir ke bahu yang kotor oleh debu. “Jangan tinggalkan kami lagi,” suaranya pecah. Ahyi menepuk punggungnya pelan, tersenyum cerah meski wajahnya penuh luka.

Ridhan, masih terengah, menyandarkan punggung pada batu. Ia tidak masuk ke pelukan itu, hanya berdiri, matanya menatap keduanya, lalu menunduk sebentar. Kamera di dadanya masih menggantung, diam, menyimpan cahaya yang tak dilihat siapa pun selain dirinya dan mungkin… Pak Tarya.

Obor-obor menyorot jalan pulang. Suara warga mulai teratur, ada yang memberi arahan, ada yang saling menguatkan. Rombongan bersiap turun perlahan, mengusung Ahyi dengan hati-hati.

Malam itu, desa akhirnya menarik napas panjang bersama. Kentongan tiga kali yang tadi seperti malapetaka kini berubah jadi tanda lain: bahwa meski tanah bisa menelan, manusia tetap bisa saling menahan.

--

Setelah malam penuh obor dan jerit lega, pagi datang dengan langkah pelan. Desa masih sibuk—ada yang menyiapkan ramuan untuk luka Ahyi, ada yang membersihkan jalan yang retak, ada yang menyalakan tungku lebih awal untuk menyuguhkan nasi hangat bagi semua orang yang begadang.

Roni duduk di serambi, wajah letih tapi mata belum kehilangan tajamnya. Di halaman, Ridhan menunduk lama pada garis tanah yang menganga, sesekali memotret dari sudut berbeda. Pak Tarya lewat, hanya menepuk bahu mereka, lalu pergi tanpa sepatah kata—seolah tahu diam lebih berguna pagi itu.

Pagi itu halaman villa tampak biasa—rumput setinggi mata kaki, tanah lempung yang kemarin diguyur hujan, sisa jejak sandal. Tapi di dekat jambangan patah, ada garis tipis mematahkan kebiasaan: retakan sepanjang hampir tiga meter, lekuknya seperti urat nadi yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Ridhan jongkok. Ia letakkan bolpoin di samping garis—alat ukur darurat—lalu menggeser batu kerikil ke bibir retakan. Batu kecil itu menggelinding pelan ke dalam, berhenti di kedalaman dua jari. Permukaan di satu sisi terasa lebih “ringan” ketika diinjak; sisi lain memantul berat, seperti tanah yang masih menyimpan tulang.

Ia mengambil ranting, menusukkannya tegak. Separuh ranting lenyap tanpa perlawanan—tanah di bawahnya remuk, jenuh air. Di ujung retakan, garis pecah bercabang dua, sudutnya tajam, pertanda tanah mengalami tarik-tarik halus dari arah tebing. Ia menempelkan telapak ke permukaan, merasakan getar yang bukan bunyi—lebih seperti desis nafas: air kapiler bergerak turun, mencari ruang di antara butir lempung. Ketika ia mengetuk tanah dengan koin, bunyinya beda: “tung” padat di sisi kiri, “tong” kopong di sisi kanan. Di bawah kemeja yang kusut, dadanya turut menahan napas.

Ia memotret dengan lensa lebar, lalu lagi dengan fokus mendekat. Sebuah penghapus pensil diletakkan sebagai skala. Garis itu diabadikan dari sudut-sudut yang jujur, termasuk cabang halus yang menuju sumur luar—pertanda yang lebih gawat. Ia menuang seteguk air dari botol ke alur retak; aliran kecil itu hilang lebih cepat daripada yang mestinya, tersedot ke perut tanah. “Ada rongga,” pikirnya, bukan sebagai kesimpulan, melainkan sebagai peringatan yang mengangkat bahu.

Seorang bocah berlari, hampir menginjak ujung retakan. Ridhan menahan dengan lengan, halus tapi tegas. “Jangan lewat sini,” katanya singkat. Ia menancapkan dua batang bambu, mengikatnya dengan rafia yang baru ia minta dari dapur villa. Rafia itu ditarik melintang, menjadi garis kuning-imajiner yang melarang kaki mendekat. Di tanah, ia menoreh kapur: tanggal, jam, dan lebar retak—1,8 cm—lalu garis pendek menyeberang retakan sebagai “jembatan” kapur; jika besok jembatan itu terputus, semua orang tahu garis telah melebar tanpa perlu alat.

Dari rumah sebelah, seorang bapak menanyakan satu kalimat yang menahan udara, “Masih aman ditempati?” Ridhan menatap garis, menatap sumur, menatap langit yang belum memutuskan akan hujan lagi atau tidak. “Aman yang hati-hati,” jawabnya. “Bukan aman yang lupa.”

Ia lalu menyebutkan cepat, agar bisa dikerjakan tanpa menunggu siapa pun:

Tandai semua retakan dengan bambu dan rafia; tulis tanggal–jam–lebar di tanah pakai kapur, buat “jembatan kapur” kecil di atas tiap garis untuk memantau pelebarannya.

Alihkan jalur pijak; jauhkan gerobak, drum air, dan permainan anak minimal lima–sepuluh meter dari retakan besar.

Jauhkan api terbuka dari sumur dan retakan; bila tercium bau tak biasa di sumur, jangan digunakan, buka ventilasi dan tutup akses.

Gali parit dangkal agar air hujan tidak lari tepat ke retakan; pasang karung pasir sebagai pemecah aliran.

Sepakati ronda retakan: dua kali kentongan untuk siaga lereng saat hujan besar, tiga kali jika ada pergerakan nyata.
 

“Dalam dua–empat minggu, kita petakan semua garis di peta kertas, ukur ulang mingguan; tanam vetiver di kontur yang memotong aliran air, anyam ranting di bibir retak, buat drainase permukaan. Kalau hujan besar, tutup tanah dekat garis dengan mulsa atau terpal,” tambahnya. “Bulan depan, jangan ada bangunan berat di radius lima belas–tiga puluh meter dari tepi retakan. Kita minta bantuan dinas atau kampus untuk batimetri dan uji tanah, sambil mulai kebun percobaan kecil—teras ringan, sabuk vetiver tiap dua–tiga meter, sisip kopi atau herbal.”

Menjelang siang, sebuah mobil keluarga Amarfi berhenti di depan villa. Dari dalamnya diturunkan layar lebar, laptop dengan koneksi lebih stabil, kotak-kotak dokumen. Tidak ada jeda untuk menunggu berhari-hari: kabar jatuhnya Ahyi sudah sampai ke meja Amarfi di kota, dan council memutuskan rapat harus digelar segera.

Kursi kayu dipindahkan, kabel menjuntai di lantai villa yang catnya kusam. Layar dipasang di dinding, jendela dibiarkan terbuka—membiarkan suara jangkrik dan ayam menyalip suara modem. Kontras segera terbentuk: wajah-wajah keluarga Amarfi muncul dalam kotak-kotak rapi, dengan latar putih, blazer licin, senyum tipis.

Di ruangan itu, Roni dan Ridhan duduk berdampingan. Map arsip tua di pangkuan Roni, kamera dan catatan di samping Ridhan. Di luar, suara anak-anak desa masih terdengar bermain, seakan dunia dua sisi ini terhubung hanya oleh kabel tipis yang menahan napas.

Rapat dimulai.

Layar besar menyala di ruang villa yang catnya sudah pudar. Kabel menjulur di lantai kayu yang berderit tiap kali kursi bergeser. Lampu minyak di sudut meja berkedip-kedip, bayangannya menari di dinding, mengiris wajah dua bersaudara yang duduk di depan layar.

Kotak-kotak wajah keluarga Amarfi memenuhi cahaya: Laila di ruang berkarpet, bahunya tegak, blazer berkilau. Seorang paman dengan pena yang terus berputar di antara jarinya. Amira dengan senyum tipis yang tampak dipaksa, matanya sesekali melirik ke sisi layar lain. Maya duduk dengan tangan bersilang, dagu terangkat, senyum sinis menghias bibir.

“Insiden di Tanpo Arang sudah sampai ke meja investor,” suara Laila. Datar, tidak ada getar. “Satu orang hampir hilang di tebing. Apa langkah berikutnya?”

Kursi kayu berderit ketika Ridhan menggeser tubuhnya. Bahunya kaku, kemeja putihnya berkerut, jari-jarinya mengetuk sisi kursi dengan ritme pelan, makin lama makin keras. Ketukan berhenti. Suara keluar, dingin, lurus, seolah paku dipukul ke papan:

“Retakan tanah terlihat jelas. Lapisan bawah lignit, arang yang tidur, masih aktif. Rapuh, jenuh air, menyimpan gas. Belum ada angka pH air. Belum ada TSS, logam Fe, Mn, Pb, Hg. Batimetri kosong. Profil retakan tanpa survey. Gas metana dan CO₂ belum di monitor. Tanpa itu semua, yang dijual hanya brosur bencana.”

Suara jangkrik terdengar dari luar jendela. Paman berhenti memutar pena, mengangkat wajah. Ia berdeham, jeda panjang sebelum bicara, seolah ingin menahan nada marah.

“Data bisa jalan paralel, Din. Uji lab tetap, narasi bisnis tetap. Pasar tidak menunggu.”

Lampu minyak berkedip lagi, cahayanya jatuh ke map di pangkuan Roni. Jarinya meraba tepi kertas tua, gerakannya gugup, seolah mencari sesuatu yang bisa dipegang. Ia menunduk sebentar, nafas panjang terdengar. Kursi kayu berderit halus saat ia tegakkan tubuh, membuka map. Kertas usang mengeluarkan bunyi lembut, hampir seperti desah nafas yang ditahan.

“Dalam arsip tanah, tercatat: tanah pinjaman dari arang, kembalikan dengan yang bisa ditanam. Catatan pendiri. Disimpan di balai, resmi.”

Ia mengangkat lembar lain, tangannya sedikit bergetar. Wajahnya menoleh singkat ke samping, ke arah Ridhan, lalu kembali ke layar. “Di pinggirnya ada usulan: lahan bekas galian, kebun percobaan. Tulisan Din, dua tahun lalu.”

Jari yang tadi mengetuk kursi kini mengepal. Rahang Ridhan mengeras. Ia menoleh ke layar, mata menyala oleh cahaya lampu minyak yang goyah. Suara keluar lebih berat, tapi tak kehilangan ketegasan: “Reklamasi bukan biaya mati. Vegetasi akar serabut menahan erosi. Kopi, kakao, herbal bisa dipanen. Profit kecil, stabil. Dikemas jadi CSR: kebun percobaan, sekolah lapangan, wisata edukasi. Nama keluarga tidak hilang. Nama justru terjaga.”

Ia berhenti sebentar, menegakkan punggung, lalu melanjutkan, lebih dingin, lebih pelan, tapi setiap kata terasa seperti batu diletakkan di meja: “Dan mulai besok, ini yang saya lakukan di lapangan: setiap retakan ditandai bambu dan rafia, diberi tanggal dan ukuran. Garis kapur melintang jadi penanda apakah tanah melebar. Air hujan dialihkan dengan parit sederhana, bukan dibiarkan masuk ke perut tanah. Warga sudah menyiapkan karung pasir—itu jadi pemecah aliran. Anak-anak dipindahkan jauh dari jalur retak. Itu tindakan darurat, bisa jalan sekarang, tanpa menunggu satu rupiah dari investor.”

Tangannya bergerak tipis, seperti menahan amarah agar tetap berbentuk rencana.

“Dalam dua minggu, saya bawa hasil ukur ulang. Kalau garis kapur pecah, itu data. Kalau pH air dari strip uji turun, itu data. Kalau TSS di danau keruh lebih dari ambang, itu data. Data itu yang saya laporkan, bukan brosur. Kalian mau cepat? Itu cara cepat yang masih selamat.”

Ada jeda. Kotak wajah Amira bergerak sedikit. Dagunya turun, senyum tipis hilang. Suaranya muncul lirih, seperti bocor dari ruang ingatan: “Aku pernah dengar kalimat itu… tanah pinjaman dari arang.”

Maya condong ke depan. Senyum tipisnya melebar, nada suaranya ringan, hampir mengejek: “Investor tidak peduli arsip desa. Mereka peduli ROI. Bahkan narasi arang yang tidur bisa dijual. Orang kota suka horor alam.”

Kursi Ridhan berderit tajam ketika ia condong ke depan. Jari mengepal di atas meja kayu. Suara keluar keras, dingin, seolah batu dijatuhkan ke sumur: “Bangunkan arang yang tidur hanya demi panggung, tanah akan menelan pangkalnya. Satu headline buruk cukup menghancurkan semua bisnis.”

Map di pangkuan Roni menghantam meja. Bunyi kayu yang retak kecil menggema, membuat lampu minyak bergetar. Suara Roni pecah, dadanya naik turun, nafasnya kasar:
“Kemarin malam satu nyawa hampir hilang! Itu juga data. Data paling mahal: manusia. Abaikan itu, warisan ini tidak lebih dari papan reklame!”

Kotak wajah membeku. Pena jatuh dari tangan paman. Maya menutup bibirnya, sinisnya padam. Amira menunduk, menutup mulut dengan tangan. Laila hanya diam, menatap lurus.

Hening panjang. Lampu minyak berkedip lagi, suara jangkrik semakin keras, seolah seluruh ruang vila ikut menahan napas.

Akhirnya suara Laila muncul kembali, pelan, dingin, tak memberi ruang diskusi: “Kita tunggu data lengkap. Tapi investor tidak menunggu selamanya.”

Kotak-kotak wajah padam satu per satu. Layar kembali gelap, memantulkan dua bayangan. Satu menutup map dengan tangan yang masih gemetar, satu menutup laptop perlahan, rahang kaku. Mereka menoleh sebentar, sekilas. Malam itu, dua garis yang jarang sejajar akhirnya bertemu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dwyne

    Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...

    Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang
Similar Tags
in Silence
483      345     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
LOVEphobia
443      295     4     
Short Story
"Aku takut jatuh cinta karena takut ditinggalkan” Mengidap Lovephobia? Itu bukan kemauanku. Aku hanya takut gagal, takut kehilangan untuk beberapa kalinya. Cukup mereka yang meninggalkanku dalam luka dan sarang penyesalan.
Paint of Pain
2901      1700     38     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Blue Island
163      138     1     
Fantasy
Sebuah pulau yang menyimpan banyak rahasia hanya diketahui oleh beberapa kalangan, termasuk ras langka yang bersembunyi sejak ratusan tahun yang lalu. Pulau itu disebut Blue Island, pulau yang sangat asri karena lautan dan tumbuhan yang hidup di sana. Rahasia pulau itu akan bisa diungkapkan oleh dua manusia Bumi yang sudah diramalkan sejak 200 tahun silam dengan cara mengumpulkan tujuh stoples...
Bayangan Takdir
0      0     0     
Fantasy
Menurut Shapira Elizabeth Swan, hidup di London hanyalah alunan melodi dan mimpi aneh tentang seorang putri yang terbunuh. Namun, ketika sebuah pintu kayu kuno di kamar ibunya terbuka, ia terlempar ke Nymira, dunia magis yang penuh keindahan sekaligus bahaya mematikan. Wajahnya adalah cerminan Putri Anya, tunangan Pangeran William yang telah tewas. Di mata William, Shapira adalah bayangan dari...
Kejutan
491      274     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media
Semu, Nawasena
11506      3539     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Lovesick
475      351     3     
Short Story
By Khancerous Why would you love someone else when you can’t even love yourself?
Caraphernelia
1131      600     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
In Her Place
1993      1114     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...