Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tebing Cahaya
MENU
About Us  

Malam di Tanpo Arang tidak pernah benar-benar gelap. Setelah hiruk-pikuk pencarian dan rapat keluarga yang membelah suara, desa perlahan kembali ke ritme pelan. Obor terakhir masih menyala di tepi jalan, asapnya mengepul tipis, bercampur bau daun pisang gosong dari dapur. Dari kejauhan terdengar suara anak kecil batuk, disusul ibu yang menimang dengan nyanyian lirih.

Roni duduk di serambi villa. Kemejanya masih berbau asap obor, rambutnya lembap, dan tangan kanannya belum berhenti menggenggam agenda tua ayahnya—padahal tidak ada halaman baru yang bisa ia buka malam itu. Jemarinya hanya menyusuri tepi kertas, seperti mencari garis yang bisa ia ikuti keluar dari kebingungan.

Ia menatap langit. Bintang-bintang tersebar, tapi tampak jauh, redup, seakan jarak malam ini lebih panjang daripada biasanya. Di matanya, cahaya itu serupa dengan sesuatu yang baru saja ia rasakan sore tadi—sesuatu yang indah, tapi bukan untuk digenggam.

Ada denting kecil di dadanya, rasa kalah yang tidak meledak, tapi merayap. Sejak ia kembali ke desa, ia kira cahaya akan datang padanya: hangat, sederhana, dekat dengan tanah. Tapi cahaya itu justru memilih jalannya sendiri—berkelip di jurang, di sekeliling seseorang yang bukan dia.

Ia menarik napas panjang, menahan getir itu. Dari kejauhan, lampu minyak di ruang vila bergoyang kecil, menandakan ada yang masih terjaga di dalam. Roni tahu siapa. Dan ia tahu, cepat atau lambat, malam ini tidak bisa terus ditahan dengan diam.

Ia bangkit, meninggalkan serambi. Langkahnya berat tapi teratur, sandal anyaman berdecit di lantai kayu. Ia melangkah masuk ke ruang vila—ruang yang masih menyimpan bau asap, bau kertas tua, dan sisa panas dari kata-kata yang belum selesai.

Di sana, Ridhan duduk sendirian, kamera tergeletak di meja. Lampu minyak memantulkan wajahnya setengah terang, setengah gelap.

Lampu minyak di sudut meja berkedip pelan. Bayangannya menari di dinding, membuat garis wajah dua bersaudara itu memanjang, lalu patah, lalu menyambung lagi. Hening di antara mereka bukan hening yang nyaman.Bau asap obor yang belum padam masih melekat di udara, bercampur dengan aroma kertas tua dari map arsip yang tergeletak di meja. Kursi kayu berderit pelan saat Roni menariknya, duduk berhadapan dengan Ridhan yang sudah lebih dulu ada di sana.

Ridhan menunduk pada buku catatannya, ujung pensilnya mengetuk irama tak teratur di tepi kertas. Tali kamera melorot dari meja, nyaris menyentuh lantai, berayun pelan seperti bandul jam yang lupa waktu.

“Masih kerja malam begini?” suara Roni pelan, nyaris hanya untuk memecah hening.

Ridhan tidak langsung menoleh. Ia hanya menyibak satu halaman, menulis angka singkat, lalu menutupnya lagi. “Kerja tidak pilih jam.”

Roni mengangguk pelan, jemarinya menyusuri tepi map di pangkuannya. Map itu tipis, tapi terasa berat. Hening kembali datang, bukan hening yang damai—lebih seperti jembatan gantung yang menunggu siapa yang berani melangkah duluan.

Dari luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, kadang diselip batuk seorang anak, lalu diam lagi. Di dalam vila, hanya bunyi minyak yang bergolak halus di dalam lampu.

Roni bersandar ke kursi, matanya menatap meja. Pandangannya berhenti lebih lama di kamera. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap. Ridhan yang merasakan tatapan itu akhirnya mengangkat kepala, sebentar saja. Sorot matanya cepat kembali turun, tapi cukup untuk membuat udara jadi lebih rapat.

“Capek?” tanya Roni, kali ini lebih seperti basa-basi.

“Tidak,” jawab Ridhan pendek.

Kursi kembali berderit, napas mereka terdengar lebih jelas. Tak ada yang menambahkan kata, seolah ruang itu menunggu sesuatu jatuh ke meja—bukan kertas, bukan angka, tapi rahasia yang belum bernama.

Kamera di meja bergeser sedikit ketika angin dari jendela membuat tirai bambu bergetar. Tali kulitnya melorot lebih jauh, seolah hendak jatuh. Roni mencondongkan tubuh, tangannya terulur setengah hati—antara menahan jatuh, atau sekadar mencari alasan. Jemarinya berhenti di dekat tombol.

“Boleh kulihat?” katanya, suaranya ringan, tapi nada di ujungnya menyimpan rasa ingin tahu yang tidak bisa sepenuhnya disembunyikan. Basa-basi, tapi juga permintaan.

Ridhan mendongak cepat. Bahunya menegang, mata melebar sepersekian detik. “Jangan—” namun kata itu tidak pernah keluar.  Ia terlambat.

Klik.

Layar kecil di sisi kamera menyala, cahaya biru pucat memotong ruang yang kuning oleh lampu minyak. Wajah Roni tersorot dari samping, menegas garis letihnya. Layar menampilkan sebuah gambar.

Ahyi. Bersandar rapuh pada akar, kainnya sobek, tapi matanya terbuka. Dan di sekelilingnya, puluhan kunang-kunang berkelip, memantulkan cahaya di udara lembap jurang. Seperti langit jatuh ke tanah, lalu memilih melingkupi satu tubuh.

Roni menahan napas. Tangannya kaku, tidak sanggup menekan tombol lagi.

Ridhan memalingkan wajah, rahangnya keras. Jemarinya gemetar pelan di atas meja, seolah ingin merebut kamera, tapi ia menahan diri. Ada garis di wajahnya—takut sekaligus pasrah, seolah rahasia yang ia jaga dengan dingin akhirnya diambil paksa oleh cahaya.

Kursi Roni berderit pelan. Ia menatap layar lebih lama dari seharusnya. Foto itu tidak bergerak, tapi seakan bernapas. Hening mengeras, hanya suara minyak dalam lampu yang bergolak.

Perlahan, Roni menoleh ke arah kakaknya. Mata mereka bertemu. Tidak ada kata, tapi cukup untuk membuat udara terasa penuh: Roni membaca sesuatu yang tak pernah terlihat di ruang rapat, di balik data, di balik dingin. Sebuah nyala yang rawan, tapi nyata.

Roni akhirnya menutup layar kamera dengan pelan. Bunyi klik kecil terdengar, seperti pintu ditutup agar tidak membangunkan siapa pun. Ia tidak bertanya, tidak menuduh. Hanya satu kalimat yang lirih, nyaris doa:

“Kau yang melihat cahaya itu.”

Lampu minyak bergetar kecil, bayangannya membuat wajah dua bersaudara itu seperti terbelah cahaya dan gelap. Roni masih menatap layar kamera. Nafasnya berat, seolah paru-paru dipenuhi sesuatu yang tak bisa ia keluarkan.

Foto itu bukan sekadar gambar. Itu adalah jawaban dari semua kekhawatirannya: Ahyi di tengah jurang, rapuh, tapi bercahaya. Dan di sekelilingnya, kunang-kunang berkelip—bintang kecil yang seharusnya indah, tapi di matanya juga seperti tanda yang ingin bicara lebih banyak daripada cahaya semata.

Tangannya gemetar sedikit ketika menutup layar kamera. Ia menatap Ridhan. Di sana ia menemukan wajah yang sudah ia kenal sejak kecil, tapi malam ini asing: kaku, pucat, seolah tersambar petir yang tidak bisa ia hindari. Bahu kakaknya menegang, jari-jarinya menggenggam kursi terlalu keras hingga kayu berderit.

Roni teringat—betapa seringnya Ridhan menghindar. Dulu di halaman villa, saat Ahyi menjulurkan teh, Ridhan hanya mengangguk pendek, lalu pergi. Di serambi, ketika Ahyi tertawa lepas, Ridhan pura-pura sibuk dengan catatan. Di balai, saat warga ramai, ia selalu berdiri di tepi, membiarkan Roni duduk di sisi terang bersama Ahyi. Semua itu dulu ia kira dingin. Tapi foto ini—cahaya yang justru ditangkap Ridhan—membalik segalanya.

Nafas Roni tercekat. Ia sadar: selama ini, kakaknya bukan tidak melihat. Kakaknya melihat terlalu jelas, hanya saja memilih mundur. Membiarkan dirinya—Roni—berjalan di bawah cahaya bersama Ahyi, sementara ia sendiri tetap jadi bayangan.

Ridhan menunduk, napasnya pendek, bahunya turun naik cepat. Wajahnya setengah diselimuti cahaya minyak, setengah tertelan gelap. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kaku. Malam ini, setelah tebing Cahaya nyaris menelan nyawa, rahasianya justru terbuka—dan ia sama sekali tidak siap.

Ada getir di matanya. Seolah ia ingin menyangkal, tapi tahu tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Tangannya bergerak ke kamera, lalu berhenti di tengah jalan, gemetar. Ia tidak berani merebut, seakan tahu bahwa dengan merebut ia justru mengakui.

Roni menatapnya lama. Ada rasa kalah yang menyesak, tapi juga iba. Ia melihat kakaknya bukan sebagai pesaing, tapi sebagai seseorang yang sedang tersiksa oleh pilihannya sendiri: ingin memegang cahaya, tapi takut mitos kunang-kunang benar adanya—bahwa siapa yang melihat bersama takkan pernah bisa bersatu.

Ridhan menelan ludah. Rahangnya kaku. Di kepalanya, ingatan saling bertubrukan: wajah Ahyi di bawah cahaya kunang-kunang, mitos yang ia anggap dongeng tapi kini menusuk, dan kenyataan bahwa adiknya duduk tepat di depannya, sama-sama menyukai orang yang sama.

Hening yang panjang itu membuat tubuh mereka bicara sendiri. Roni menggenggam erat map tua di pangkuannya, jarinya bergetar di tepi kertas. Ridhan mengetuk pelan sisi kursi, lalu berhenti, napasnya pecah.

“Din…” suara Roni pecah pelan, bukan pertanyaan, lebih seperti pengakuan bahwa ia sudah tahu. Ridhan mendongak sepersekian, mata mereka bertemu. Dan di dalamnya, tidak ada yang bisa lagi disembunyikan.

Malam itu, mereka sama-sama tahu: mereka menyukai cahaya yang sama. Pertanyaannya hanya satu—apakah harus diakui, atau kembali mengalah, seperti yang selalu dilakukan selama ini.

 

Ridhan menunduk. Bahunya turun sedikit, seakan beban yang ia simpan terlalu lama akhirnya dikenali.

Roni mengerjap, nafasnya tertahan di dada. Ia hampir membuka mulut, tapi kata yang ingin keluar tersangkut di kerongkongan. Di seberang meja, Ridhan menggeleng cepat, rahangnya kaku. Jemari yang sejak tadi mengetuk kayu berhenti, meninggalkan bekas getar yang masih terasa di udara.

Hening menekan. Jam dinding tak bersuara; hanya sumbu lampu yang sesekali berdesis. Roni menatap kakaknya lama, dada naik-turun. Ada garis pahit di bibirnya—setengah senyum, setengah luka. Ia ingat, berapa kali ia melihat Ridhan mundur ketika Ahyi datang; berapa kali ia pura-pura sibuk dengan peta saat tawa itu mengisi udara. Dulu ia kira itu dingin. Malam ini ia sadar: itu bukan dingin, itu langkah mundur yang disengaja.

Tatapan Ridhan terangkat. Tajam, tapi goyah di pinggirnya. Bahunya tegang, lehernya menelan ludah seperti menahan batu. Wajah itu seperti hendak bicara, tapi bibirnya hanya bergetar tipis—tak ada kata yang cukup aman untuk keluar.

Roni menyandarkan tubuh, kepalanya miring tipis. Senyum pahit itu masih tersisa, lebih sebagai pengakuan getir daripada olok-olok. Ia menghela napas, pundaknya turun perlahan, seolah menyerah pada kenyataan yang sudah lama ia curigai tapi baru benar-benar menampar malam ini.

Ridhan menunduk kembali, matanya jatuh pada kamera di meja. Jemarinya bergerak pelan, menyentuh lensa seperti menyentuh luka. Genggamannya keras, nyaris bergetar. Bahunya ikut berguncang sekali, tak bisa ia sembunyikan.

Roni memalingkan wajah ke jendela. Tirai bambu bergetar halus, angin lembap masuk membawa bau tanah basah. Cahaya obor terakhir di jalan padam, meninggalkan kegelapan yang lebih pekat. Dalam pantulan kaca, ia melihat wajahnya sendiri—lelah, kalah—dan samar-samar, wajah kakaknya yang setengah terbenam dalam bayangan.

Ridhan menutup mata. Garis di wajahnya memucat, tegang, lalu melemas, seperti orang yang terseret antara menyerah dan memberontak. Dada naik-turun pendek, napasnya kasar. Roni menoleh lagi, tatapannya lama, lalu tangan kirinya terulur singkat ke bahu Ridhan. Sentuhan ringan, tapi berat seperti beban yang dipindahkan.

Bahunya kaku, tapi tidak menolak.

Lampu minyak di meja bergoyang kecil, cahayanya menari, menyalakan dan memadamkan wajah mereka bergantian. Seolah seluruh ruangan ikut menahan napas, menunggu apakah ada kata berikutnya—atau justru hanya diam yang lebih dalam.

Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk mengoyak ruang hening. Ridhan tidak menoleh, hanya bahunya yang sempat mengeras lalu perlahan mereda di bawah genggaman adiknya.

Roni menarik tangannya kembali. Ia bersandar ke kursi, mata kembali pada tirai bambu. Angin malam masuk, membawa dingin yang mengingatkannya pada satu sore jauh dulu: hujan deras mengguyur halaman vila, dirinya kecil berlari menabrak genangan, jatuh dengan lutut berdarah. Ridhan kecil berdiri di serambi, tak berlari menolong. Ia hanya melempar sehelai kain, dingin. Tapi ketika Roni menengadah, kakaknya sudah ada di dekatnya—tanpa kata, tanpa pelukan, hanya duduk menemani sampai tangis reda.

Kenangan itu menempel di udara malam ini. Sama persis: dingin di permukaan, tapi ada cara lain dari Ridhan untuk tetap tinggal, meski tak pernah ia akui.

Roni menutup mata sejenak, menghela nafas panjang. Ia tahu, di balik dingin itu ada sesuatu yang lebih tua daripada kata. Mungkin itulah sebabnya, sejak Ahyi datang ke hidup mereka, Ridhan selalu mundur setapak—bukan karena benci, tapi karena takut jika langkah maju akan merusak keseimbangan yang rapuh.

Ridhan membuka mata perlahan. Ia masih menunduk, jemarinya masih menggenggam kamera erat. Di wajahnya, ada garis getir yang tak ia usap. Ia tidak perlu bicara; seluruh tubuhnya sudah lebih fasih: bahu yang kaku, rahang yang mengeras, mata yang bersembunyi di bawah cahaya minyak.

Di jendela, pantulan keduanya tampak berdampingan: Roni dengan map tua di pangkuan, Ridhan dengan kamera di genggaman. Seperti dua anak kecil yang dulu duduk di serambi, satu dengan buku agenda ayah, satu dengan catatan angka hujan. Bedanya, malam ini ada nama yang sama-sama mereka simpan di dada—nama yang tidak perlu diucapkan untuk membuat udara terasa berat.

Lampu minyak kembali berkedip, bayangan di dinding patah-patah. Seolah ruangan itu ikut mengingat: dua sisi obor, seperti kata ayah mereka dulu.

Lampu minyak di meja hampir padam ketika papan kayu di ambang pintu berderit pelan. Roni menoleh. Di sana, Ahyi berdiri. Tubuhnya condong, bahunya menempel ke kusen, satu tangan menggenggam lampu kecil yang bergetar bersama napasnya. Api kuning itu menyorot wajah pucatnya, membuat lingkar mata yang lelah tampak lebih dalam.

Langkahnya pelan, kakinya masih goyah. Nafasnya terdengar pendek, seperti ia baru saja melawan tubuhnya sendiri hanya untuk sampai ke ruangan itu. Tapi di bibirnya ada senyum tipis—bukan senyum lega, melainkan senyum orang yang berusaha menenangkan semua orang selain dirinya.

Roni menatap lama. Tangannya refleks menutup map di pangkuan, bunyi kertas tua bergesek pelan. Ia berdiri, kursinya berderit, seolah ruangan ikut melepasnya. Tidak ada kalimat keluar. Hanya gerakan tubuh: satu langkah yang memberi jalan.

Ketika melewati Ahyi, pandangan mereka bersentuh sepersekian detik. Ada banyak yang ingin ditanyakan—tentang sakit, tentang takut, tentang jurang. Tapi yang keluar dari bibirnya hanya anggukan kecil. Ia melangkah keluar, membiarkan pintu terbuka sedikit lebih lebar agar udara malam masuk.

Kini hanya dua orang yang tersisa.

Ridhan masih duduk, bahunya kaku, jemarinya mencengkram kamera yang talinya melorot ke meja. Wajahnya setengah terangkat, tapi tenggorokannya kering, tidak ada kata yang siap. Cahaya lampu kecil yang dibawa Ahyi memantulkan sisi rapuh yang tadi bersembunyi di bayangan.

Ahyi menurunkan lampu itu ke meja. Api kecilnya bergetar sebentar, lalu tegak, seolah ikut menuntut mereka berdua untuk tidak lagi sembunyi. Ia menahan satu desahan halus ketika menekuk lutut untuk duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Roni. Gerakannya pelan, tapi jelas ada sakit yang ia sembunyikan.

Ketika akhirnya duduk, matanya lurus ke arah Ridhan. Tidak ada basa-basi, tidak ada alasan. Hanya tatap yang dalam.

Ridhan mengangkat wajah penuh, akhirnya benar-benar menatapnya. Ada begitu banyak kata di matanya, tapi bibirnya hanya membuka sedikit, suaranya pecah: “Kau… seharusnya istirahat.”

Ahyi menoleh setengah, senyum tipis itu kembali—senyum yang menyembunyikan perih di sendi, perih di hati. “Kalau aku istirahat, siapa yang akan mengingatkanmu berhenti keras kepala?”

Ridhan tertawa tanpa suara—bukan bahagia, lebih mirip nafas yang baru ingat keluar. Jemarinya hampir menyentuh ujung meja, lalu berpindah ke botol air. Ia menuang, setengah gelas, mendorongnya pelan.

“Minum. Kalau tidak mau, anggap ini perintah laporan.”

Ahyi menatap gelas itu sekejap—lama untuk ukuran orang haus. Ia menerima, dua teguk, bibirnya menegang menahan perih di mulut.

“Terima kasih,” ucapnya, pelan sekali, seperti kata itu ditarik dari tempat yang jarang dibuka.

Lampu minyak berkedip lagi, cahayanya bergoyang di dinding. Hening turun, tapi kali ini bukan hening kosong. Hening yang penuh, seperti tali yang ditarik kencang, menunggu putus atau mengikat lebih kuat.

Ridhan menunduk, jemarinya menekan lensa kamera terlalu keras sampai terdengar bunyi klik kecil. Bahunya kaku, seolah semua beban malam itu menempel di sana. Ketika ia akhirnya mengangkat kepala, matanya bertemu mata Ahyi—tatapan yang panjang, terlalu panjang untuk tidak bicara apa-apa.

Napasnya pecah lebih berat dari biasanya. Tubuhnya condong ke depan, tangan kanannya terangkat. Jemarinya mendekat ke lutut Ahyi yang terbalut kain, tapi berhenti beberapa senti di udara. Getarnya terlihat jelas, lalu tangan itu jatuh kembali ke meja.

“Seharusnya kau tidak memaksa kaki itu,” suaranya keluar serak, lebih mirip desahan daripada perintah.

Ahyi menyandarkan punggung ke kursi, matanya tidak berkedip. Ada meringis kecil ketika ia menggeser duduk, cepat disamarkan dengan senyum tipis. Senyum yang pahit, tapi keras kepala.

“Kalau aku diam saja,” katanya pelan, “semua orang semakin takut. Lebih mudah menahan sakit daripada menahan panik.”

Ridhan menutup mata sebentar. Lampu minyak di meja bergoyang, bayangannya menari di wajah mereka. Sesekali cahaya menajamkan garis rahangnya yang menegang, sesekali memantulkan kilau di mata Ahyi yang menolak menunduk.

Perlahan, Ridhan berdiri. Kursinya berdecit panjang, bunyinya merayap di ruang vila. Ia menempelkan telapak ke meja, buku-buku jarinya memucat karena genggamannya. Dadanya naik turun cepat, bibirnya bergerak sedikit, kata-katanya patah-patah:
“Aku tidak tahu… apa yang harus kulakukan. Semuanya terasa… salah.”

Ahyi mendongak. Wajahnya pucat, tapi tatapannya tajam, seperti menolak dikasihani. Bahunya berguncang sekali, lalu ia memalingkan wajah ke jendela. Suaranya rendah, tertahan, tapi menancap:

“Kalau begitu, jangan berdiri terlalu jauh.”

Kata itu menggantung, mengguncang udara. Ridhan menarik napas dalam, lalu melangkah satu setengah langkah. Sekarang jarak mereka tipis, hanya meja di antara. Tangannya kembali terangkat, kali ini lebih dekat ke punggung kursi Ahyi. Masih ragu, masih menggantung di udara, tapi lebih sulit untuk ditarik kembali.

Ahyi menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Jemarinya mengetuk lengan kursi, pelan, tidak beraturan. Ketika ia membuka mata lagi, Ridhan masih berdiri di situ, bayangannya jatuh panjang di dinding.

“Aku tidak ingin…” suara Ridhan pecah, “…melihatmu hilang.”

Tangan itu akhirnya bergerak, menyentuh kayu kursi tepat di belakang bahu Ahyi. Sentuhan yang bukan pada kulit, tapi cukup dekat untuk terasa.

Ahyi menelan ludah. Bibirnya terbuka, tapi hanya napas pendek yang keluar. Tangan kirinya yang sejak tadi mengepal di pangkuan perlahan mengendur, jemarinya meraba kain perban di lututnya sendiri. Ada jeda yang panjang, seolah ruangan ikut menahan napas.

Ridhan mencondongkan tubuh sedikit lagi, jaraknya hanya sehelai nafas. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kata-kata menolak keluar. Yang ada hanya dada yang memburu, rahang yang kaku, dan mata yang bergetar.

Ahyi akhirnya menoleh pelan, menatapnya. Mata mereka bertemu lagi. Di sana ada marah, lega, takut, rindu—semuanya bercampur, tak bisa dipisahkan.

Ridhan meraih kursi dengan kedua tangan, lalu setengah berjongkok, pelan, hati-hati. Ia menahan sisi kursi agar Ahyi bisa bersandar lebih nyaman. “Coba berdiri,” ucapnya, suara pendek, nyaris berbisik.

Ahyi ragu sebentar, tapi akhirnya menggeser tubuh. Lututnya gemetar, napasnya pendek. Ridhan langsung menyelipkan tangan di bawah lengannya, menopang berat tubuh yang goyah. Kontak itu cepat, mantap, tapi tidak keras.

Ahyi berpegangan pada bahu Ridhan. Jari-jarinya mencengkeram kain kemeja, terlalu erat untuk disebut kebetulan. Senyum tipis muncul di wajahnya—aneh, ceria di tengah sakit. Senyum yang membuat dada Ridhan makin sesak.

“Tahan di bahu kiriku,” kata Ridhan, lebih rendah dari bisik. “Bilang kalau sakitnya menanjak.”

“Kalau sakitnya diam?”

“Tetap bilang.”

Ahyi mengangguk, mata turun ke perban. “Kalau kau tarik lagi tanpa tanya, aku marah.”

Ridhan menelan ludah. “Kalau pijakanmu hilang, aku tetap tarik. Tapi—” ia menahan napas, “—aku sebut namamu dulu.”

Ahyi menutup mata sekejap. “Itu sopan versi jalan tanah.”

Mereka berdiri berdekatan, tubuh Ahyi separuh bersandar. Ruangan jadi lebih sempit, udara menebal. Lampu minyak berkedip sekali lagi, seakan ikut menegaskan bahwa hening ini lebih keras daripada kalimat apa pun.

Mereka sudah berdiri dekat, Ahyi separuh bersandar di bahu Ridhan, senyumnya tipis–aneh ceria di tengah sakit. Ridhan tetap menahan, tubuhnya tegang, tapi tangannya mantap. Lampu minyak bergoyang kecil, cahayanya menimpa wajah mereka bergantian: terang, lalu bayangan, lalu terang lagi.

Hening itu penuh—seakan setiap detik bisa pecah, tapi keduanya memilih diam. Nafas mereka saling terdengar, lebih dekat daripada seharusnya. Kamera di meja masih tergeletak, map tua masih tertutup di kursi, seolah benda-benda itu ikut jadi saksi.

Ridhan memalingkan wajah setengah inci. “Aku takut pada hal yang tidak bisa dihitung,” bisiknya.

“Aku takut pada hal yang terlalu ingin dihitung,” balas Ahyi.

Mereka sama-sama tersenyum kecil—pendek, getir—sebelum hilang oleh rasa sakit di lutut dan sesuatu yang lebih sulit dinamai.

Udara vila padat oleh apa yang tak diucapkan. Jurang, mitos, rasa takut, rasa yang tak pernah benar-benar hilang—semuanya menunggu kata, tapi yang keluar hanyalah diam.

“Besok… jangan ke tebing sendirian,” kata Ahyi.

“Besok, kamu tidak jalan tanpa penyangga,” balas Ridhan.

“Sepakat,” ucap keduanya hampir bersamaan—kata yang terdengar lebih seperti doa daripada keputusan.

Dan di tengah diam itu, lampu minyak berkedip sekali, lalu kembali tenang.

 

Pagi belum jadi cahaya penuh ketika Roni duduk lagi di serambi, agenda tua di pangkuan. Ridhan datang tanpa bunyi; kamera tak dibawa, hanya buku hitam.

“Kita perlu bahasa yang bisa dipakai semua orang,” kata Roni. “Bukan cuma di rapat.” 

Ridhan mengangguk. “Bahasa yang jalan di tanah.”

Mereka menulis—bukan paragraf, tapi daftar yang bisa dikerjakan:

Tali & Bambu: tandai semua retakan dengan bambu + rafia; tulis tanggal–jam–lebar; tarik ‘jembatan kapur’ melintang.

Air: gali parit dangkal pemecah aliran; karung pasir di titik lari air; tutup tanah rengkah dengan mulsa saat hujan.

Anak-anak: pindahkan jalur bermain; kelas Sabtu ganti tema: “Mengenal Suara Tanah.” Gelas bekas jadi pot vetiver kecil.

Sumur & Api: jauhkan api terbuka dari sumur/retakan; jika bau aneh, tutup akses, buka ventilasi.

Peta: pemetaan retakan mingguan di peta kertas; cat warna berbeda per minggu agar mata awam bisa ‘melihat bergerak’.

Komunikasi: aturan kentongan—dua kali siaga lereng, tiga kali evakuasi jalur sempit; tempelkan di mushola & warung.

Data cepat: strip pH, TSS sederhana; foto ‘sebelum–sesudah’ di titik tetap.

Pagar hidup: vetiver/sereh wangi di kontur; “pagar yang bernapas”—ibu-ibu yang menamai barisan.
 

Roni menutup pena. “Aku bisa pegang orangnya.”

“Aku pegang angkanya,” sahut Ridhan. “Kita ketemukan di peta.”

Roni tersenyum tipis. “Kalau orang bertanya ‘kenapa’, jawab singkat.”

Ridhan mengangkat alis.

“Karena tanah suka yang sopan,” kata Roni. “Dan sopan itu artinya: pelan, tertib, diulang.”

Ridhan menyalin kalimat itu ke buku hitamnya, memberi kotak kecil di sampingnya—tanda hal yang tak boleh dibantah.

Mereka berdiri. Roni meraih megafon pinjaman mushola. “Aku ke balai,” katanya. “Kau?”

“Ke tiga titik retakan—rumah Pak Saman, jambangan patah, dan bibir kebun.”

“Din,” Roni menahan sebentar. “Terima kasih sudah turun semalam.”

Ridhan menatap sebentar, lalu mengangguk—gerak kecil, lebih berat dari pelukan. “Jangan biarkan jurang memilih sendirian,” katanya.

Pena ditutup, buku disimpan. Tidak ada pelukan, hanya anggukan yang lebih berat dari kata.

“Aku pegang orangnya.”

“Aku pegang angkanya.”

Dua jalur berpisah, tapi peta yang sama terbuka di kepala mereka.

Di tanah retak, garis kapur mengering—cahaya tipis, rapuh, tapi berani menunggu hujan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dwyne

    Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...

    Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang
Similar Tags
Game of Dream
1517      848     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
The Boy Between the Pages
4149      1703     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Alumni Hati
1850      833     0     
Romance
SINOPSIS Alumni Hati: Suatu Saat Bisa Reuni Kembali Alumni Hati adalah kisah tentang cinta yang pernah tumbuh, tapi tak sempat mekar. Tentang hubungan yang berani dimulai, namun terlalu takut untuk diberi nama. Waktu berjalan, jarak meluas, dan rahasia-rahasia yang dahulu dikubur kini mulai terangkat satu per satu. Di balik pekerjaan, tanggung jawab, dan dunia profesional yang kaku, ada g...
WALK AMONG THE DARK
833      467     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
MAMPU
8843      2776     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
Good Art of Playing Feeling
424      317     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Horses For Courses
12335      2570     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Surat untuk Tahun 2001
6348      2597     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Tic Tac Toe
853      687     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Only One
2179      1308     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...