Pagi menggulung masuk seperti kain tipis yang ditarik dari ujung lembah. Di serambi villa, Roni duduk paling awal. Agenda tua ayahnya terbuka di halaman kosong; di sampingnya, daftar pendek dari semalam yang sudah ia tulis rapi: tali & bambu, air, anak-anak, sumur & api, peta, komunikasi, data cepat, pagar hidup. Tidak ada kalimat panjang—semuanya kata kerja.
Ahyi datang membawa ember berisi gelas plastik bekas yoghurt yang sudah dikeringkan. Rambutnya diikat asal, lututnya masih berbalut kain. “Ibu-ibu titip,” katanya. “Katanya, kalau kamu benar-benar jadi orang Sabtu, kita mulai hari ini juga, meski bukan Sabtu.”
Roni tersenyum tipis. “Kalau begitu, kita mulai dari menaruh kata ‘besok’ di tempat yang tidak mengganggu ‘hari ini’.”
Mereka berjalan ke mushola. Di papan dinding, Roni menempelkan selembar HVS bertuliskan tangan gemuk:
KENTONGAN:
1x = ingat.
2x = siaga lereng.
3x = cari & tolong di jalur sempit.
4x = pulang.
Tulisan itu tidak cantik, tapi tegak. Di bawahnya, ia menambah sebaris pendek: “Tanah suka yang sopan: pelan, tertib, diulang.” Anak-anak membaca lantang, menirukan, lalu tertawa karena bisa menghafal tanpa disuruh.
Di tanah kosong belakang mushola, Roni menandai tiga bedeng kecil dengan kapur. Ahyi menancap batang bambu tipis, menarik tali rafia melintang, simpulnya cepat seperti orang yang sudah sering menahan sesuatu agar tidak jatuh. Anak-anak datang satu-satu, membawa gelas bekas yang diisi tanah ayakan dan bibit vetiver mungil. Mereka menulis nama di bibir gelas dengan spidol: Sari, Jamal, Mira, Ilham. Nama-nama kecil itu berdiri tegak di atas tanah—kesombongan yang sehat.
“Kalau orang tanya kenapa kita menanam rumput, bilang singkat,” ucap Roni ke anak-anak, meminjam kalimatnya sendiri dari tadi malam.
“Kenapa?” tanya seorang bocah.
“Karena akar yang rapat bisa saling mengingatkan.”
Anak itu mengangguk, entah paham atau ikut saja dengan irama tuturan. Tidak apa-apa. Mengerti bisa datang belakangan, selama tangan sudah bergerak.
Di serambi mushola, Pak Lurah muncul dengan meteran kain tergantung di lehernya—kebiasaan yang ia bawa dari hobi menambal hal-hal yang bukan kain. “Kalau kalian menanam, aku meminjamkan paku untuk papan data,” katanya. “Balai punya papan kosong. Kubawa nanti.”
Roni mengacungkan jempol. “Sekalian spidol permanen, Pak. Biar hujan tidak bisa menghapus yang ingin kita ingat.”
Sebelum matahari naik benar, kentongan terdengar sekali—tung—lalu diam. Orang-orang yang mendengar tidak panik; mereka hanya mengangkat kepala sebentar, memastikan jam di benak mereka tidak tertukar. “Ingat,” gumam Ahyi. “Langit bilang nanti sore ada rencana.”
Di vila, Ridhan menutup telepon. Suara Amira masih terasa di udara: council setuju tunda panggung, ganti pilot reklamasi—pagar hidup, drainase, pemetaan retakan—laporan terbuka di balai. Kau pimpin teknis data, Din. Mingguan. Tanpa brosur. Ia tidak tersenyum. Ia hanya mengangguk ke dirinya sendiri, seolah baru selesai menukar pisau dengan sendok—tetap alat, beda tujuan.
Kamera ada di meja, tetapi pagi itu ia menulis dulu. Di halaman belakang agenda ayah yang sudah hampir habis, ia mencatat dengan huruf yang jernih:
Pilot—12 minggu:
Hidrologi: pH harian (strip), TSS sederhana (botol kaca), cat jam & hujan.
Stabilitas tepi: ukur lebar retak (bambu + rafia + tanggal), jarak dari bibir.
Pagar hidup: vetiver/sereh kontur per 50 cm; gelas → pindah ke tanah minggu ke-3.
Komunikasi: kentongan & poster mushola/warung.
Rapat ibu-ibu = baseline & umpan balik (paling efektif).
Rapor mingguan: papan di balai (grafik sederhana).
Catatan: tidak ada deck/viewing platform sebelum minggu 12 + evaluasi.
Ia menarik garis di bawah kata “tidak”—bukan garis marah, tetapi garis sabar.
“Mas,” sapa Roni dari pintu. “Bisa ke balai sebentar? Pak Lurah bawa papan. Kita perlu kepala yang suka angka.”
Ridhan mengangguk. “Aku bawa yang suka garis.”
Mereka bertiga—Roni, Ridhan, Ahyi—membawa papan kayu ukuran dua kali lebih tinggi dari Roni. Di balai, ibu-ibu sudah duduk; beberapa bapak berdiri di belakang, gaya tangan di saku yang menandakan mereka tidak yakin apakah perlu duduk untuk hal yang tampaknya ringan. Papan disandarkan; Pak Lurah menepuk sisi atasnya.
“Mulai hari ini,” katanya, “kita punya satu tempat untuk melihat minggu berjalan lurus.” Ia menatap Ridhan. “Mas Ridhan, silakan.”
Ridhan berdiri di depan papan, spidol di tangan. “Ini bukan rapor sekolah,” katanya datar. “Ini hanya cara agar kita tidak mengandalkan cerita.” Ia menggambar empat baris:
Hujan (jam, menit)
Retak (lokasi, lebar, tanggal)
Air (pH, jernih/keruh)
Cat: kejadian khusus
Di sisi kanan, ia membuat sketsa grafis sederhana: sumbu waktu, titik-titik warna. “Kalau setiap minggu ada warna, kita bisa lihat gerak,” ia menoleh singkat ke Roni, lalu ke ibu-ibu. “Gerak tanah, bukan gerak mulut.”
Bu Endah tertawa kecil. “Gerak mulut juga perlu, Mas, untuk mengingatkan.”
“Benar,” sahut Ridhan. “Syaratnya: mulut kita menyebut angka yang sama.”
Seorang bapak mengangkat tangan. “Kalau kita tidak tahu angka?”
“Bilang ‘tidak tahu’,” jawab Ridhan. “Itu juga data. Nanti tugas saya mengejar angka.”
Kalimat itu tidak dibuat manis, tapi justru karena itu ia masuk. Orang-orang mengangguk. Tidak perlu tepuk tangan untuk mengesahkan kerja; papan yang berdiri sudah cukup.
Di akhir pertemuan, Roni menempel selebaran kecil: Kebun Belajar Sabtu—Gelas Bekas, Bibit Vetiver, Jam 08.00—10.00. Di bawahnya, ia menulis kalimat yang sekarang menjadi slogan diri sendiri: “Pelan, tertib, diulang.” Seorang anak menyalin di tanah dengan ranting, “diulang”—karena kata itu menyenangkan lidah.
Siang turun pelan; udara tampak tua setengah jam. Roni dan Ahyi kembali ke jalur jati. Tali rafia di tangan, bambu di pundak. Ridhan ikut, satu langkah lebih ke belakang dari biasanya. Tidak ada yang memintanya; ia memutuskan sendiri. Di tikungan yang kemarin amblas, mereka mengganti papan yang ompong hurufnya. Roni memalu paku; Ahyi menarik tali pembatas; Ridhan mengukur jarak dari bibir ke tanda aman, menulis di catatannya: 2 m = aman, 1,5 m = siaga.
“Kalau hujan sore ini,” kata Ahyi tanpa menoleh, “kita lihat tali ini bicara apa.”
“Kalau tali bicara, siapa mencatat?” tanya Roni.
“Aku meniup peluit,” jawab Ahyi. “Kamu mencatat. Mas Ridhan berhenti dua langkah sebelum tanda.”
Ridhan tidak membantah. Ia menatap tali—benda paling sederhana yang, dengan simpul yang benar, bisa meringkas niat.
Di tepi, danau toska tetap cantik dengan cara yang pilih-pilih. Angin berjalan di atasnya, meninggalkan garis tipis yang bergerak seperti pena yang malas. Ridhan mengangkat kamera, membiarkan mata melihat tanpa rencana. Lalu ia menurunkannya. “Tidak untuk pamer,” ia ingat folder yang dibikinnya pagi ini. Kadang etika perlu nama agar tidak mudah dilawan sendiri.
Mereka pulang sebelum awan bertambah berat. Di vila, Roni menaruh palu dan paku di sudut, mengurut pergelangan tangan. Ahyi menuangkan teh.
Ridhan membuka ponsel; pesan dari Amira pendek: draft MoU internal: keluarga setuju pilot, tidak jual, tidak panggung; evaluasi pekan 12; transparansi desa via papan; anggaran kecil untuk alat dan rapat ibu-ibu. OK? Ia membalas: OK. Tambahkan: foto hanya untuk monitoring internal; tidak untuk promosi. Tiga detik kemudian, noted.
Angin sore membawa bau tipis logam—pertanda hujan yang memilih datang tanpa undangan panjang. Di luar, anak-anak masih bermain, memindahkan gelas vetiver ke tempat yang kebagian cahaya. Jam empat, kentongan dua kali—tung… tung. Hening sepersekian; lalu gerak kecil yang rapi: kain jemuran diangkat; pakan ayam ditutup; jalan setapak ditinggalkan. Ahyi mengambil peluit. Roni meraih map catatan. Ridhan menaruh kamera di leher, bukan di mata.
Hujan datang seperti orang tua yang tahu cara mengetuk: tidak memaksa, tapi konsisten. Di jalur jati, air mengumpul di lekuk yang sejak kemarin dicurigai. Tali pembatas kencang, menolak berubah jadi garis bengkok. Roni mencatat jam. Ahyi berdiri di garis aman, peluit di tangan—sebuah suara yang belum dipakai namun memberikan rasa aman hanya dengan keberadaannya.
Ridhan masuk dua langkah mendekat lalu berhenti. Ia memotret garis kapur yang sudah ditarik pagi tadi—sekarang patah tipis di satu titik. “Data,” katanya pelan, lebih ke dirinya. Ia menulis angka; ia menandai peta kecil di catatan: retak baru, 1 cm, 16.14; hujan intens 11 menit. Ia tidak memotret kunang-kunang yang mulai memanggil sore dari bawah rimbun—ia hanya menoleh sekilas, memastikan ia tidak sedang berdebat dengan kalimat Pak Tarya.
Dua anak datang berlari dari gang—riang yang lupa. Peluit Ahyi melengking sekali, pendek. Mereka berhenti spontan, memegang lutut, tertawa karena barusan terasa seperti permainan. “Nanti saja mainnya,” kata Ahyi, tidak galak. “Air ingin lewat dulu.”
Roni menulis: peluit 1x, 2 anak berhenti. efektif. Catatan kecil itu tampak sepele; di papan balai nanti, ia akan menjadi bukti paling manusiawi bahwa sistem bisa sederhana dan bekerja.
Hujan mereda. Kentongan tidak menambah bunyi. Hening kembali menjadi alat. Tali pembatas tetap tegang. Garis kapur kering separuh. Roni menggambar ulang garis yang patah; Ridhan memotret garis baru itu dari jarak dua meter. Ahyi menempel plester kecil di ujung jarinya yang tergores; tidak ada dramatisasi—hanya tangan yang kembali jadi alat.
Di vila, setelah basah diumpankan ke ember, Roni menulis di agenda tua ayah:
Rapor Hari Ini:
– Kentongan 2x, 16.03.
– Hujan 11 menit.
– Retak baru 1 cm (jalur jati, 2 m dari bibir).
– Peluit 1x → 2 anak berhenti.
– Papan larangan terpasang, tulisan lengkap.
– Vetiver 42 gelas—nama anak terdata.
Ia menutup buku. “Mas,” katanya pada Ridhan, “ternyata ‘rapat ibu-ibu’ memang data paling keras.”
Ridhan mengangguk. “Keputusan yang membawa nasi di rumah lebih tahan dari keputusan yang hanya membawa like.”
Ahyi tertawa kecil, menyandarkan punggung. “Kalau kamu bisa bilang kalimat begitu di hadapan keluarga Amarfi, semua beres.”
“Aku sudah bilang,” ujar Ridhan. “Lewat Amira. Dalam bahasa yang sah.”
Hening yang datang sesudah itu bukan kosong. Ia seperti kursi yang diundur sedikit agar orang bisa lewat. Roni berdiri. “Aku ke mushola sebentar—lihat gelas vetiver. Besok kita ajak anak-anak memindahkan daftar nama ke papan.”
“Pergi,” kata Ahyi. “Bawa senter.”
“Aku bawa mulut,” sahut Roni. “Kalau senter habis, kubaca kentongan.”
Ridhan tidak bergerak. Ia menggeser kamera ke meja, menatap layar beberapa detik. Ada satu foto punggung Ahyi di tepi tali pembatas—tidak dramatis, hanya tubuh yang tahu jarak. Ia memasukkannya ke folder yang tadi dibuat: Tidak Untuk Pamer. Kursor sempat berhenti di tombol hapus. Ia tidak menekannya. Menghapus tidak selalu sopan; kadang menjaga juga pekerjaan.
“Mas,” suara Ahyi pelan. “Semalam… kau turun terlalu dalam, lalu kembali terlalu cepat.”
“Aku berhenti dua langkah dari bibir,” kata Ridhan.
“Itu tanah,” ujarnya. “Bukan hati.”
Ridhan menahan nafas yang ingin jadi jawaban. Ia menatap tangan Ahyi—perban di lutut, kuku yang dingin, garis kecil di telapak yang tidak akan hilang. “Aku… tidak tahu kalimat yang benar,” katanya akhirnya. “Aku hanya tahu cara mundur yang tidak membuat orang lain kehilangan pijakan.”
Ahyi menatapnya lama. “Kalimat tidak harus benar,” katanya. “Kalimat harus berguna. Buat malam ini, satu kalimat yang berguna sudah cukup.”
Ridhan menarik kursi sedikit lebih dekat. Ia tidak menyentuh. Ia tidak memaksa. “Kalau… aku mencintaimu,” suaranya rendah, seperti orang belajar menyebut nama yang dulu dihindari, “bagaimana caranya agar cinta itu tidak melawan tanahmu?”
Ahyi menutup mata sesaat—bukan karena pusing, tetapi karena kalimat itu memerlukan ruang untuk mendarat. Ketika ia membuka mata, jawabannya tidak panjang. “Jangan mendahului jalanku,” katanya. “Jangan menungguku di tepi yang kau tentukan. Berjalanlah di jalur yang sama. Sopan.”
Ridhan mengangguk. Tidak ada rasa lega besar—ada rasa tenang yang kecil. “Aku bisa pulang Jumat malam,” katanya kemudian. “Minggu menulis rapor. Senin kembali ke kota.”
“Lalu apa Jumat berikutnya?” tanya Ahyi.
“Pulang lagi,” ucap Ridhan. “Sampai minggu ke-12 ini selesai mengeja.”
“Baik.” Ahyi mengangkat cangkir, menyesap yang sudah dingin. “Kalau begitu, kita punya cara. Bukan janji.”
Ridhan menahan senyum—bukan tidak boleh, hanya tidak perlu. “Folder ‘Tidak Untuk Pamer’ akan tetap ada.”
“Dan folder ‘Untuk Dikerjakan’ akan lebih penuh,” balas Ahyi.
Roni kembali dari mushola dengan langkah ringan. “Gelas aman,” lapornya. “Nama-nama masih di tempat. Satu tertiup angin, tapi diikat lagi.” Ia menatap dua orang di meja; menimbang, lalu memilih tidak menyelidik. Ada kerja besok yang memerlukan bahu, bukan gosip.
Keesokan paginya, balai desa seperti pasar kecil yang memilih barang-barang yang boleh dibeli: papan data dipaku ke dinding; di sampingnya, spidol diikat dengan tali agar tidak jadi milik pribadi. Ibu-ibu berdiri di depan papan, membaca tulisan mereka sendiri yang sudah jadi angka. Anak-anak menunjuk nama di daftar vetiver, seperti melihat namanya di tiket bioskop pertama.
Pak Tarya datang dari sisi kiri—tubuhnya meminjamkan usia pada udara. “Rapormu cantik,” katanya ke papan, bukan ke orang. “Karena ia bisa dikerjakan ulang.”
“Rapor yang disimpan di laci tidak punya kaki,” sahut Roni.
Ridhan menambahkan titik kecil di grafik—hujan 11 menit. “Banyak orang suka garis panjang,” katanya. “Padahal desa perlu titik yang jujur.”
“Dan orang yang mau menulis titik tanpa malas,” tambah Pak Tarya. Ia menoleh ke Ahyi. “Lututmu bagaimana?”
“Masih ingat,” jawabnya. “Dan akan kucoba melupakan tepat pada waktunya.”
Pak Tarya tersenyum. “Kalau kentongan empat kali, jangan berdebat. Pulang.”
“Kalau sekali?”
“Ingat.”
“Kalau dua?”
“Tunggu.”
“Tiga?”
“Cari.” Ia menepuk papan. “Kalau kamu lupa, papan ini lebih setia.”
Lewat siang, telepon dari kota masuk ke ponsel Ridhan. Laila, suara keluarga yang dulu sering terdengar seperti berita acara. Kini suaranya lunak. “Din, Ibu titip pesan. Kalau harus lama, lamakan. Jangan dijadikan panggung.”
“Sudah,” jawab Ridhan. “Kami memilih tanah, bukan lampu.”
“Dan kamu?” tanya Laila. “Kamu memilih siapa?”
Ridhan menatap ke serambi, tempat Ahyi bicara dengan anak-anak tentang cara memindah gelas tanpa menumpahkan tanah. “Aku memilih cara,” katanya. “Supaya siapapun yang kupilih tidak perlu melawan tanahnya.”
Laila tertawa sekali, tipis. “Ayahmu akan puas mendengar kalimat itu.” Lalu menutup telepon sebelum menjadi sentimental.
Sore itu, Roni mengumpulkan anak-anak di mushola. “Kebun Belajar dibuka resmi Sabtu besok,” katanya. “Hadiah minggu pertama: stiker bintang.” Ia memotret mereka—bukan untuk pamer, untuk mengingat posisi gelas hari ini. Beberapa anak melambai ke kamera; beberapa hanya mengangkat dagu agar namanya terlihat di bibir gelas.
“Mas Kota,” panggil seorang bocah. “Kenapa bintang?”
“Biar malam tidak selalu milik gelap,” jawab Roni, sambil menempel stiker satu di sudut papan.
Malam datang seperti orang yang hafal letak kursi. Radio menirukan lagu lama yang pernah disukai ayah. Di serambi, tiga orang duduk tanpa membagi kursi—masing-masing punya. Roni menulis daftar logistik Sabtu: cangkul kecil, semprotan, caping cadangan, buku nama anak. Ridhan memeriksa jadwal kereta; ia menandai yang pulang Jumat malam. Ahyi menghitung potongan rafia, mengikatnya jadi bundel.
“Kamu benar,” kata Roni ke Ridhan, “tentang ‘jangan janji deck sebelum mengukur dalam’. Kalimat itu akan kuhafal sampai bosan.”
“Kalau bosan, ulang,” kata Ridhan.
“Kamu juga benar,” balas Ahyi ke Roni, “tentang tanah yang suka sopan.”
“Tiga kata lagi untuk Menara Kembar kalian,” goda Roni.
“Cukup dua,” sahut Ahyi. “Bekerja baik.”
Angin lewat, menyentuh sumbu lampu. Cahaya goyah, tapi tidak padam.
Jumat sore, satu minggu kemudian, Ridhan berdiri di peron kota kabupaten. Kamera tersandang, ransel ringan. Di ponselnya, notifikasi rapat menurun jumlahnya; notifikasi dari grup kecil “Balai—Rapor Mingguan” meningkat: foto papan dengan titik baru, catatan pH 6,8–7,2, tulisan tangan anak-anak yang mengoreksi nama sendiri yang kemarin keliru. Ia tersenyum—sekali, singkat—lalu menyimpannya untuk hujan lain kali.
Kereta datang seperti kalimat yang tepat jumlah katanya. Ridhan naik. Di kursi, ia membuka folder Tidak Untuk Pamer. Foto punggung Ahyi di tepi tali; garis kapur patah; tangan anak yang memegang gelas dengan nama “Sari”. Ia tidak menambahkan caption. Ia menambah folder baru: Untuk Dikerjakan—di dalamnya, sketsa signage, diagram parit pemecah aliran, daftar alat murah.
Di desa, Roni menunggu di serambi. Di sampingnya, Lira muncul di layar video, stiker bintang di pipi. “Kak Roni, bintangku banyak,” katanya. Roni tertawa. “Besok kasih satu ke vetiver ya.” Lira mengernyit. “Dia di planet mana?” “Di tanah. Planetnya semua orang.”
Ahyi datang membawa kain lap. “Kereta jam berapa?”
“Sebentar lagi,” jawab Roni. “Kamu ambil alih anak-anak besok?”
“Aku ambil alih yang bisa kuberi komando.” Ia mengangkat alis. “Yang tidak bisa—kau saja.”
“Yang tidak bisa itu siapa?”
Ahyi menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Roni. Mereka tertawa, dan tawa itu punya pekerjaan kecil: membuat waktu tidak kaku.
Ketika kereta berhenti di stasiun kecil, Ridhan turun. Jalan ke villa tidak panjang—dari jalan raya, belok ke tanah merah, lalu ke gang bambu yang mengingat kaki. Di serambi, ia berhenti sebentar. Roni berdiri, menepuk bahu; Ahyi mengangkat dagu—salam versi orang yang tangannya sedang kotor.
“Folder?” tanya Roni.
“Untuk Dikerjakan,” jawab Ridhan.
“Bagus,” kata Ahyi. “Simpan yang lain untuk nanti.”
Malam itu, mereka bertiga duduk di meja. Agenda ayah di tengah, papan catatan di dinding, kamera di sebelah. Mereka menulis: minggu ini, parit pemecah aliran ditambah 10 meter; tali pembatas digeser 30 cm karena retak baru; pH stabil; vetiver 87 gelas; rapat ibu-ibu: setuju jadwal Sabtu tetap.
“Kalau minggu ke-12 selesai,” tanya Roni, “kita apa?”
Ridhan menutup spidol. “Kita ulang. Dengan data yang lebih damai.”
Ahyi menatap jendela. Di luar, gelap tidak menuntut dipecahkan. Ia hanya meminta nama-nama kecil untuk ditulis rapi.
“Cahaya tidak minta panggung,” ucapnya pelan. “Ia minta cara.”
Tidak ada yang menambahi. Seperti kentongan yang memilih diam, beberapa kalimat lebih berharga bila tidak ditimpa kalimat lain.
Akhir musim. Papan data di balai penuh titik dan garis; vetiver pertama sudah dipindah dari gelas ke tanah; jembatan kapur bukan lagi garis baru—ia menjadi kebiasaan. Anak-anak hafal jarak aman bukan karena dihafal, tetapi karena kaki mereka bosan ditegur. Ibu-ibu menambahkan satu kolom baru di papan tanpa menunggu musyawarah: “Catatan Ibu”. Di situ ada tulisan: “bau belerang di sumur Pak Saman jam 7 pagi—ventilasi dibuka—aman”; “ular kecil di sungai—anak-anak geser jalur”. Data menjadi milik.
Keluarga Amarfi tidak lagi membicarakan panggung. Di grup keluarga, foto papan data muncul mingguan. Tante Laila membalas dengan ikon jempol yang jarang ia gunakan. Amira menulis: belajar dari ibu-ibu; brand istirahat.
Roni resmi memperpanjang “liburan”-nya jadi tiga bulan—kata yang dulu terdengar seperti alasan kini menjadi pekerjaan. Ia mengantar Kebun Belajar saban Sabtu, meminjam bahasa ibu-ibu agar anak-anak tidak takut kata “pH”. Ia menulis sekali lagi di papan—hurufnya miring, tetap rapi: “Kebun belajar bukan tempat menebak. Tempat mencoba.” Lira mengirim video dari Surabaya—memindah stiker bintangnya ke pot cabai di balkon. Jarak jadi lucu bila diisi alasan yang benar.
Ridhan menjalani ritme baru: kota—desa—kota. Di kota, ia memotong rapat yang ingin memotong tanah; di desa, ia memotong simpul rafia yang terlalu panjang. Di meja kerjanya yang dulu dinginnya disiplin, kini ada foto kecil papan data—bukan Ahyi—dipasang di pojok layar. Tidak untuk pamer pada siapa pun, hanya untuk mengingat bahwa garis paling indah adalah garis yang bisa mengajak orang lain pulang.
Ahyi tidak menjadi ikon apa pun. Ia tetap orang yang meniup peluit pada waktu yang tepat dan menurunkan tangannya tepat sebelum tidak perlu. Mitos kunang-kunang tidak lagi diucapkan sebagai ancaman; ia menjadi etika kecil: jangan merendahkan cahaya kecil dengan menjadikannya poster. Suatu malam, kunang-kunang muncul di pinggir kebun vetiver—bukan di tebing. Ahyi melihat, Ridhan melihat, Roni melihat. Tidak ada yang memotret. Roni hanya berkata, “Lira harus dapat cerita ini nanti.” Ridhan menulis di catatannya, “kunang di kebun—tidak untuk pamer.” Ahyi menambahkan, “untuk didengar.”
Bab ini berakhir bukan di ketinggian tebing, tetapi di tanah—di garis kapur yang baru ditarik anak-anak sore tadi, mengering di bawah matahari yang tidak perlu dimenangkan. Kentongan tidak berbunyi. Hening bekerja. Di bawah papan data, tanda tangan ibu-ibu menjadi semacam meterai yang paling jujur: bukan legal, tapi ligamen.
Kalau tanah pernah meminjamkan bara, begini cara mengembalikannya: bukan dengan lampu, tetapi dengan akar yang saling mengingatkan, tali yang tidak capek, dan kalimat-kalimat pendek yang tidak berpretensi jadi puisi tapi betah diulang.
Di serambi, Roni menutup agenda ayah. “Sudah,” katanya, lebih kepada halaman kosong. Ridhan memasang penutup lensa—klik pelan yang sudah akrab. Ahyi mematikan lampu minyak, menyisakan satu nyala kecil di dapur—cahaya yang bukan panggung, hanya cara.
Garis kapur di tanah tampak putih susu. Di belakangnya, barisan vetiver kecil berdiri—kurus, tapi keras kepala. Mereka menunggu hujan bukan untuk padam, melainkan untuk diuji.
Dan Tanpo Arang, desa tanpa arang, malam itu terasa seperti punya bara lain: yang tumbuh dari sopan santun yang diulang.
Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...
Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang