Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Sudah tiga hari sejak terakhir aku dan Radit benar-benar ngobrol lama.

Bukan karena bertengkar. Bukan karena ada masalah besar. Justru karena... semuanya berjalan seperti biasa. Terlalu biasa. Terlalu sibuk. Terlalu banyak “nanti aku telepon ya” yang akhirnya tertidur tanpa sempat menelepon.

Dan aku pun tak berniat menuntut. Karena aku pun… sama sibuknya.

Pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Proyek baru dari atasan membuatku lembur dua malam berturut-turut. Pekerjaan sebagai admin surat memang terdengar sederhana, tapi kalau urusan surat-menyurat macet di sistem, akulah yang dicari. Kadang aku bahkan lupa makan siang.

Aku buka WhatsApp, chat terakhir dari Radit masih bertengger di atas:

“Hari ini padet banget, Na. Maaf ya belum sempat ngabarin.”

Aku membacanya sambil tersenyum kecil. Radit tetap Radit. Jujur. Nggak sok romantis. Tapi ada jeda aneh di antara kami. Dulu, hal-hal seperti ini akan membuatku merasa kehilangan. Sekarang... hanya membuatku diam.

Dan dalam diam itu, ada rasa yang sulit dijelaskan: Aku rindu. Tapi tak tahu bagaimana mengatakannya tanpa terdengar menuntut.

***

Kami akhirnya bertemu hari Sabtu sore, di taman yang sama tempat Radit pernah bilang ia menyukaiku.

Tapi hari itu, tidak ada tawa lepas seperti dulu. Kami hanya duduk berdampingan, masing-masing dengan lelahnya sendiri. Dan aku sadar… hubungan kami mulai terasa seperti dua orang dewasa yang saling tahu harus bersama, tapi sedang lupa bagaimana caranya dekat.

“Aku mikir, kita kayak orang yang mau nikah, tapi… kayak belum ketemu lagi di tengah-tengah,” ucapku, pelan.

Radit menatapku. Lama. Lalu mengangguk.

“Iya… aku ngerasa juga.”

Aku menunduk. “Apa karena kita sibuk? Atau karena kita mulai jalan masing-masing?”

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Mungkin karena kita sama-sama masih nyari cara untuk berdamai sama hidup kita sendiri.”

Dan aku tahu, kalimat itu bukan alasan. Itu kenyataan.

Kami berdua masih mencoba jadi versi terbaik dari diri masing-masing, tapi justru di situ... kami kadang kehilangan arah untuk saling merangkul.

***

Malamnya, aku kembali menulis di jurnal.

“Cinta dewasa bukan tentang seberapa sering bertemu, tapi seberapa sanggup saling memahami di tengah jarak. Tapi bagaimana jika aku sendiri belum selesai memahami diriku?”

Layar ponselku menyala. Pesan dari Radit.

“Maaf ya, hari ini rasanya hambar. Tapi aku masih mau kamu jadi temanku. Teman hidupku. Pelan-pelan, ya.”

Aku tak langsung membalas. Aku hanya menatap langit-langit kamar, dan membiarkan air mata jatuh diam-diam. Bukan karena sedih, tapi karena rindu. Rindu akan versi kami yang dulu—dan harapan pada versi kami yang nanti.

***

Hal paling menenangkan dari hari-hariku belakangan ini bukanlah waktu istirahat, bukan weekend, bukan juga momen jalan-jalan bareng Radit—yang makin jarang terjadi. Tapi… saat-saat di mana aku bisa membuka laptop, atau sekadar buku kecil bersampul biru di dekat bantal, lalu menulis. Apa saja.

Tentang rasa capek karena sistem kantor yang lambat, tentang Rina yang makin sering ngelucu di pantry, tentang makanan warteg yang rasanya makin hambar—atau kadang, tentang Radit, yang entah kenapa terasa makin jauh padahal masih sering mengucapkan, “hati-hati di jalan, ya.”

Aku mulai terbiasa menulis seolah sedang ngobrol. Bukan surat untuk seseorang, bukan juga catatan penting. Lebih seperti… aku bicara dengan versi kecil dari diriku yang mungkin masih bingung dan takut. Dan entah kenapa, aku merasa lebih lega setelahnya.

Hari ini aku bangun telat. Alarm berbunyi tiga kali, tapi aku tetap berguling di kasur. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya pengen jadi awan aja—nggak usah ngapa-ngapain kecuali mengambang di langit. Kadang hidup kayak terlalu rame buat hatiku yang senyap.

Tadi siang ada yang ngasih tahu soal seleksi CPNS lagi. Dulu aku akan semangat. Tapi sekarang aku malah bingung. Apakah itu masih keinginanku? Atau cuma keinginan versi lamaku?

Ada kenikmatan baru dalam menulis tanpa tujuan tertentu. Rasanya seperti menyapu lantai hati yang berdebu. Pelan-pelan. Menemukan bahwa di balik segala kelelahan dan pertanyaan, aku ternyata masih hidup. Masih bisa merasakan. Masih ingin bertumbuh.

Tuhan, kadang aku iri sama orang yang langkahnya kelihatan jelas. Tapi mungkin mereka juga punya malam-malam ragu yang tak pernah terlihat. Aku juga akan sampai, kan? Asal aku terus jalan?

Satu hal yang mulai kurasakan sejak rajin menulis: aku jadi lebih jujur.

Bukan pada orang lain—tapi pada diriku sendiri. Aku mulai bisa membedakan mana rasa takut, mana yang cuma belum siap, mana yang hanya ingin didengarkan. Menulis jadi caraku duduk bersama pikiran-pikiran itu tanpa harus merasa malu.

Dan anehnya, dari semua hal yang membuatku lelah, menulis justru membuatku kembali merasa hidup.

***

Sudah beberapa hari aku menulis setiap malam, dan entah kenapa—meski ada kelegaan—tetap saja ada ruang kosong di dada yang belum juga terisi. Malam ini, aku bangun lebih awal dari biasanya. Bukan untuk bekerja, bukan untuk menulis. Tapi untuk salat.

Sudah lama rasanya aku tidak benar-benar berbicara dengan-Nya dalam keadaan hati seberantakan ini.

Aku menggelar sajadah dengan pelan. Mengambil wudhu dengan langkah setengah gemetar. Hening kosan malam itu, suara air dari kamar mandi, detak jam dinding, dan nyala lampu kamar yang redup—semuanya terasa seperti saksi dari rasa lelah yang tak sempat kusampaikan ke siapa-siapa.

Salat malam itu bukan yang paling khusyuk, bukan yang paling panjang, tapi mungkin yang paling jujur dalam hidupku belakangan ini. Aku hanya bisa menangis. Membisikkan doa dalam hati yang bahkan tak sempat tersusun rapi.

“Ya Allah... Aku bingung. Aku sayang Radit, tapi aku juga belum yakin dengan diriku sendiri. Aku masih takut. Aku belum siap. Tapi aku juga tak ingin menyakitinya…"

Sesudahnya, aku duduk diam di ujung sajadah. Seperti anak kecil yang habis memeluk ibunya. Tak ada suara apa pun—kecuali hatiku sendiri, yang mulai terdengar lagi. Pelan-pelan.

Dan malam itu juga, aku mengangkat ponsel. Mengetik satu nama: Ibu.

Butuh beberapa detik sebelum aku benar-benar menekan tombol hijau. Tapi saat suara ibu terdengar di seberang, napasku langsung meluruh.

“Assalamu’alaikum, Bu...”

“Wa’alaikumussalam, Nak... kok tumben malam-malam telepon?”

Aku tak langsung menjawab. Tapi suara ibu, seperti biasa, membawa sesuatu yang menenangkan. Seolah cukup dengan mendengar suaranya, aku tahu bahwa aku tidak sendirian.

“Bu...” suaraku lirih, nyaris seperti bisikan, “Aku bingung. Aku capek. Aku... nggak tahu harus gimana.”

Ibu terdiam sebentar, lalu hanya menjawab dengan lembut, “Kalau kamu capek, jangan lari jauh-jauh, Nak. Pulang aja ke Allah. Nangis aja, nggak apa-apa.”

Tangisku pecah lagi. Tapi kali ini, tangis yang lebih ringan. Bukan karena sedih, tapi karena merasa diizinkan. Diizinkan untuk belum kuat. Diizinkan untuk belum yakin.

Dan mungkin... itu yang paling aku butuhkan saat ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah Tanpa Dede
277      203     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
The Boy Between the Pages
4746      1847     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
492      385     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Survive in another city
320      243     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Langit-Langit Patah
50      43     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Surat yang Tak Kunjung Usai
1866      1168     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
The Call(er)
4894      2603     11     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Help Me Help You
4237      1987     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
FaraDigma
4325      1535     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Kini Hidup Kembali
169      156     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.