Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Pagi itu hujan deras mengguyur kota sejak dini hari. Langit tampak kelabu, dan udara menusuk dingin bahkan sebelum subuh benar-benar usai. Suara tetesan air hujan di atap rumah nenek seakan ikut berdendang bersama suara alarm yang berbunyi dari dalam kamar Aditya.

Aditya membuka mata perlahan. Kantuk masih menggantung berat di kelopak matanya, tapi ia bangkit. Hari itu bukan hari istimewa. Tidak ada lomba. Tidak ada ujian. Tidak ada rekaman penting.

Tapi ada perasaan mengganjal di dadanya sejak semalam.

Aku, si tas hitam yang kini mulai sedikit robek di bagian tali kanan, terletak seperti biasa di pojok kamar. Isinya sudah setengah penuh. Buku pelajaran, earphone, buku catatan harian, dan power bank. Barang-barang itu tak berubah dari hari ke hari, tapi sesuatu dalam cara Aditya menyusun semuanya pagi itu berbeda.

Lebih pelan. Lebih berat.

Di sekolah, langit mendung menjatuhkan hujan seperti gorden air yang menutup seluruh jendela kelas. Anak-anak jadi malas bicara. Guru-guru hanya menjelaskan seperlunya. Tapi di dalam kepala Aditya, ribuan kata berseliweran. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan sesuatu—tentang rasa takut, tentang tidak merasa cukup, tentang suara kecil yang tiap malam memeluk kepalanya dan berkata, "Ngapain sih lo bikin semua ini? Emang ada gunanya?"

Jam istirahat, Aditya duduk sendirian di bawah tangga dekat kantin. Tempat itu biasanya digunakan siswa merokok diam-diam, tapi pagi itu kosong. Ia membuka buku catatannya, menulis dengan spidol hitam:

Hari ini gue ngerasa kayak tanah basah yang siap longsor kapan aja.

Langkah Ayu mendekat pelan.

“Lo nggak ke kantin?” tanyanya sambil mengeringkan rambut yang basah.

Aditya menggeleng. “Lagi nggak lapar.”

Ayu duduk di sebelahnya. Mereka diam untuk beberapa menit, hanya mendengar suara hujan yang mengetuk genteng.

“Gue nonton video lo yang terbaru,” kata Ayu pelan. “Yang tentang anak yang ngerasa kayak pelengkap.”

Aditya menoleh. “Kenapa?”

Ayu mengangkat bahu. “Karena gue juga ngerasa kayak gitu. Kadang gue mikir, orang tua gue bahkan nggak akan sadar kalau gue berhenti berusaha.”

Aditya tidak menjawab. Ia tahu betul rasa itu. Rasa seperti titik koma dalam kalimat orang lain.

Malam itu, setelah makan malam bersama nenek dan membersihkan dapur, Aditya masuk ke kamar. Ia tidak langsung membuka laptop. Ia mengambil kertas HVS kosong dan menulis satu pertanyaan besar:

"Kalau bukan YouTuber, gue mau jadi apa?"

Ia memandangi tulisan itu lama sekali.

Jawabannya tidak datang.

Tapi yang datang justru bayangan—bayangan dirinya berjalan menyusuri jalan panjang, sendiri, dengan tasku di punggungnya. Ia tidak tahu arah, tapi tahu bahwa ia harus tetap melangkah.

Esok harinya, Aditya memberanikan diri bicara pada Bu Ratih saat jam istirahat.

“Bu, saya bisa minta waktu ngobrol sebentar?”

Bu Ratih mengangguk. Mereka duduk di ruang BK yang tenang.

“Saya bingung, Bu,” kata Aditya. “Saya suka bikin video, tapi kadang saya juga ngerasa kayak... ini semua nggak cukup. Nggak penting. Apalagi kalau lihat orang lain yang udah sukses, channel-nya gede, udah disponsori brand. Saya masih di angka lima ribu. Kadang, saya ngerasa kecil banget.”

Bu Ratih tersenyum lembut. “Aditya, pernah denger soal impostor syndrome?”

Aditya menggeleng.

“Itu kondisi di mana seseorang merasa tidak layak atas apa yang sudah dia capai. Merasa semua yang dia lakukan belum cukup, padahal dari luar orang lain bisa lihat betapa bermaknanya usaha itu.”

Aditya diam. Istilah itu terasa pas. Seperti menemukan nama untuk luka lama.

“Jadi, itu bukan cuma gue doang yang ngerasa begini?”

“Banyak orang yang merasa begitu,” jawab Bu Ratih. “Apalagi remaja. Lagi belajar mengenal diri, tapi juga ditekan buat cepat tahu tujuan hidup.”

Sepulang sekolah, Aditya tidak langsung pulang. Ia ke warnet kecil di pinggir jalan, tempat biasa ia mengunggah video saat internet rumah ngadat. Ia membuka forum komunitas kecil pembuat konten pemula. Di sana ia mulai ikut diskusi, mulai bertanya tentang burnout, tentang cara menjaga kesehatan mental sebagai kreator.

Salah satu moderator menjawab panjang:

"Bikin konten itu bukan sprint, tapi maraton. Lo bisa berhenti, lo bisa ganti arah, tapi lo tetap punya hak buat bernapas. Jangan biarin angka nyetir arah lo." —@VisionByte

Kata-kata itu menempel di kepala Aditya sepanjang perjalanan pulang.

Malam itu, Aditya duduk di ruang tengah sambil menemani nenek menonton televisi. Sinetron yang diputar terlalu keras, tapi Aditya tidak mempermasalahkannya. Justru suara itu menenangkan. Menjadikan rumah terasa hidup.

“Nek, dulu Nenek pernah bingung nggak, waktu muda, mau jadi apa?”

Nenek tertawa kecil. “Tentu aja pernah. Tapi zaman dulu, kita nggak banyak pilihan, Dit. Mau nggak mau, kerja apa yang ada. Tapi bukan berarti kita nggak punya mimpi.”

Aditya mengangguk. “Aku bingung, Nek. Kalau misalnya suatu hari aku berhenti dari YouTube, aku harus ngapain? Aku belum tahu siapa aku tanpa itu.”

Nenek meletakkan tangannya di kepala Aditya. “Cari diri itu nggak harus buru-buru. Yang penting kamu tetap bergerak. Pelan juga nggak apa.”

Hari-hari berikutnya, Aditya mulai membaca buku-buku tentang pengembangan diri. Buku pinjaman dari perpustakaan sekolah atau rekomendasi dari forum online. Ia mulai membuat jurnal emosi, menuliskan apa yang ia rasakan setiap hari, tanpa sensor. Ia menyadari bahwa ada hari-hari saat ia merasa sangat kuat, tapi ada juga hari-hari saat semua terasa berat bahkan untuk bangun dari tempat tidur.

Tapi bedanya sekarang: ia tidak sendirian.

Ayu, Bu Ratih, Nenek, bahkan orang-orang anonim yang mengirim cerita kepadanya, menjadi benang-benang yang menenun hatinya.

Ia tidak lagi takut mengakui bahwa dirinya masih goyah.

Karena dari goyah itu, langkahnya bisa belajar jadi kuat.

Dan aku, tas hitam tua yang setiap hari ia gendong ke sekolah, tahu satu hal pasti:

Meskipun jalan di depan belum jelas, tapi Aditya mulai menyalakan lentera di dalam dirinya sendiri.

Satu cahaya kecil, tapi cukup untuk menerangi langkah pertama. 

*** 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
XIII-A
1764      1138     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Catatan Takdirku
2334      1223     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Langit-Langit Patah
48      41     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
No Life, No Love
2745      1710     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Taruhan
99      94     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Sendiri diantara kita
3250      1346     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Love Yourself for A2
57      49     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Ruang Suara
379      276     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Konfigurasi Hati
984      578     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Sebab Pria Tidak Berduka
238      198     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...