Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Setelah minta izin pada pengurus masjid, Marco naik ke atas menara melalui tangga darurat di dalam menara. Tangga itu cuma dinaiki sekali-sekali saja, jika ada yang mau memperbaiki speaker yang diletakkan di atas menara. Dari atas menara Marco memandang ke bawah, ke dinding-dinding menara sebelah luar. Dinding keramik itu berlumut dan banyak kotoran burung yang menempel. Marco turun lagi lewat tangga, keluar melalui bangunan samping masjid. Saat bertemu pengurus masjid, Marco bicara soal dinding menara yang kotor.

“Nggak pernah dibersihkan.” ujar salah seorang anggota DKM. “nggak tahu bagaimana cara membersihkan dinding bagian luar itu. Nggak ada tangga yang cukup tinggi untuk menaiki menara masjid dari sebelah luar.”

“Apa boleh saya membersihkannya?”

Orang itu bengong, “Bagaimana caranya, Bang?”

“Disikat, lalu disiram air, maka semua kotoran itu bisa disingkirkan. Insya Allah, saya bisa menyikat kotoran itu, asal pakai sikat yang bergagang.”

“Bagaimana caranya naik ke dinding menara bagian luar?”

“Saya nggak akan naik, tapi turun.”

Pengurus masjid itu masih bingung dengan omongan Marco. “Bagaimana dengan air buat membersihkan dinding yang sudah disikat? Tidak ada selang yang cukup panjang buat menyiramkan air ke bagian atas menara.”

“Sekarang musim hujan. Kita nggak perlu selang. Air hujan bisa membantu membersihkan menara. Jadi kalau hari ini, atau besok, hujan turun agak lebat, saya akan membersihkan menara itu, tapi bertahap ya.”

Keesokan harinya bada zuhur, gerimis turun dengan cukup rapat. Dengan telanjang kaki, Marco bergegas menaiki menara masjid dari bagian dalam melalui tangga darurat, sambil membawa peralatannya. Tiba di atas, dia membuat anchor dari tambang yang diikatkan pada tiang penyangga kubah menara. Lalu dipasangnya harness pada pinggang dan selangkangan. Tambang itu lalu dihubungkan dengan harnessnya. Ujung tambang dilemparkan ke bawah, menjuntai hingga satu meter dari dasar menara.

Hujan turun makin deras saat Marco mulai menuruni menara. Dua buah sikat yang dibawanya, juga terikat tambang dan terhubung dengan harnessnya. Sedikit demi sedikit dia menyikat dinding. Air hujan membantunya membasuh kotoran. Setelah selesai satu lajur horizontal dari dinding keramik itu, dia turun lagi satu tahap, lalu mulai menyikat lagi.

Beberapa kali Marco sempat tergelincir, meluncur turun terlalu jauh dari tujuan. Akan tetapi dia sudah mempersiapkan ascender dan descender, yaitu peralatan mekanis yang bisa menjepit tambang, untuk membantu seorang climber bertahan pada tambang. Dengan bantuan ascender, Marco memanjat tambang, merayap naik lagi ke bagian menara yang belum disikat.

Karena ngeri dengan aksi nekad itu, beberapa orang mengambil matras dan menaruhnya di tanah dekat dinding menara. Maksudnya sih, kalau Marco jatuh, barangkali akan tepat menimpa matras itu, jadi mungkin nggak bakalan terlalu remuk.

“Jangan khawatir, dia pemanjat tebing yang mahir. Dia nggak akan manjat kalau sebelumnya nggak memperhitungkan kondisinya.” ujar beberapa anggota Adventure yang hujan-hujanan menonton Marco melaksanakan nadzar.

Saat adzan ashar berkumandang, hujan mulai reda. Marco menghentikan pekerjaanny.

Insya Allah akan dilanjutkan lain hari, janjinya dalam hati. Lalu dia meluncur turun dengan posisi kepala dibawah. Beberapa orang menjerit ngeri, khawatir Marco jatuh dengan posisi kepala duluan menghujam ubin di halaman masjid.

Sebenarnya Marco menggunakan bantuan descender, untuk memperlambat laju turunnya dari menara itu. Hingga hampir tiba di dasar menara, Marco menjepit tambang itu dengan ascender, sehingga dia berhenti meluncur. Dia bersalto membalik tubuhnya, dan akhirnya dia menjejak halaman menara dengan posisi berdiri, diiringi tepuk tangan gemuruh. Marco memandang berkeliling dengan bengong. Tidak mengira, ratusan orang menonton aksinya dalam hujan siang itu. Beberapa mahasiswa aktivis masjid mendatanginya, lalu menyalami dan memeluknya.

Marco duduk di tangga masjid dengan pakaian basah kuyup, bahkan harnessnya belum dibuka. Dia betul-betul kelelahan. Windy menyodorkan segelas teh manis panas yang dibelinya dari warung. Marco menerimanya, lalu meminumnya sampai habis.

“Thank’s ya Windy. Aku mau ganti baju dulu.” Marco berjalan menuju homebase, lalu ke kamar mandi sambil bawa baju dan handuk. 

Usai ganti baju, Marco berjalan menuju ruang kuliah, bareng yuniornya di semester VII. Windy duduk disebelahnya, karena memang Marco masuk kelasnya Windy. Saat Windy mengajaknya bicara, Marco menjawab dengan bergumam pelan, nggak jelas, karena kepalanya mulai berdenyut-denyut, pusing setelah hujan-hujanan.

Kuliah usai. Marco berjalan keluar ruangan, Windy berjalan di sampingnya. Saat tiba di dekat homebase, tiba-tiba saja seseorang menghampiri Windy, lalu menampar muka Windy dengan keras. Windy menjerit. Marco menarik bahu Windy, untuk menghindarkan serangan berikutnya.

“Silvi, kenapa kamu mukul Windy?” tegur Marco.

“Hei Windy, tega lo ya, memfitnah gue!” teriak Silvi.

“Emang gue ngelihat lo masukin sesuatu ke dalam jus alpukat itu! Gue nggak bisa menyembunyikan fakta! Orang yang nggak bersalah nggak patut masuk tahanan!”

“Tapi polisi nggak bisa menemukan buktinya! Lihat, gue nggak ditahan!”

“Itu karena barang buktinya pasti sudah lo buang!”

“Eeeh, lo tetap aja nuduh gue? Gue gampar lagi lo!” 

Marco lebih cepat menangkap tangan Silvy yang mau menjotos Windy.

“Mending kalian pulang sana!” ujar Marco dengan kepalanya yang makin migrain, melihat dua orang yuniornya di organisasi malah gontok-gontokkan di depan umum. Mulai banyak orang berdatangan untuk menonton cewek berantem. Maryam yang saat itu mau pulang, penasaran melihat orang berkerumun, lalu dihampirinya. Marco melihat Maryam ada di kerumunan.

“Maryam, tolong bawa Silvi pulang!” Marco menarik tangan Silvi, dipaksa berjalan ke dekat Maryam. Setelah itu, baru tangan Silvi dilepaskannya.

Windy merengek, “Aku takut Bang, Silvi banyak ce-esnya, nanti di jalan aku dicegat juga. Antarin aku pulang, ya Bang!”

“Ah, bullshit lo! Sok manja! Jangan mau Bang!” teriak Silvi.

“Sudah, ayo kita pulang!” bujuk Maryam, lalu melingkarkan tangan di bahu Silvi, dan membawanya keluar dari areal kampus.

Selama menyusuri gang menuju Pondok putri, Silvi nyerocos, “Mbak, cowokmu dicolong sama Si Windy tuh! Pasti sekarang Windy lagi nangkring di boncengan motor Bang Marco.”

“Ah, sudah! Jangan ngebahas urusan itu terus!” jawab Maryam kesal. “mending kita makan di warung, biar pikiran kamu beralih ke urusan perut!”

Silvi menceritakan, bahwa pemeriksaan polisi terhadap dirinya belum tuntas. Polisi melarangnya meninggalkan Kota Bandung, dan wajib lapor 3 kali seminggu ke Mapolrestabes.

“Sekali-sekali aku pengin traktir kamu, Silvi.” ujar Maryam, 

Silvi rada anteng setelah minum teh manis hangat, lalu menghadapi semangkok soto lobak berkuah kaldu daging yang panas, dan sepiring nasi putih. Maryam juga makan dengan menu yang sama. Selesai makan, mereka pulang ke tempat kos.

Di kamar Silvi, Maryam bicara serius.

“Dengar Silvi, aku berbohong soal pistol itu, demi ngebelain kamu! Kalau polisi tahu aku bohong soal pistol itu, bisa saja mereka menjeratku dengan sanksi pidana, aku bisa kena pasal memberi kesaksian palsu.”

“Kalau Mbak sudah tahu bohong sama polisi itu ada sanksi pidananya, kenapa Mbak berani bohong?”

“Aku bohong, karena pistol itu sudah lama nggak ada lagi di tangan kamu. Aku juga ingin memberi kesempatan sama kamu untuk berubah!”

“Berubah jadi apa?” Silvi malah merebahkan tubuh di ranjangnya, dia tidak menganggap serius ucapan Maryam.

“Silvi, kamu sudah merasakan gimana nggak enaknya dituduh bersalah. Kamu dituduh memasukkan serbuk ke gelas berisi jus alpukat itu, padahal kamu merasa tidak melakukannya!”

“Ya memang aku nggak masukin apa-apa ke gelas jus itu!”

“Lantas bagaimana dengan Marco, yang kamu tuduh telah sengaja menjatuhkan kakakmu dari tebing? Pernah nggak kamu berpikir, bagaimana kalau Marco sama sekali nggak bersalah atas tewasnya kakakmu?”

“Tapi… bukan aku yang membubuhkan racun ke jus alpukatnya! Sumpah!”

“Oke, tapi kamu harus tenang! Jangan emosional, apalagi histeris dan memukuli lagi Windy, atau siapa pun yang kamu anggap telah merugikanmu! Kalau kamu nggak bisa tenang, aku males kalau suatu saat harus ngebelain kamu lagi!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags