Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Marco mendatangi Maryam di kantin kampus.

“Aku minta maaf, Maryam, pasti omonganku membuat kamu tersinggung.” ujar Marco sambil menyimpan baki berisi makan siangnya di meja yang sama dengan Maryam. Mereka duduk berhadapan.

“Omongan yang mana?” tanya Mayam.

“Yang aku katakan padamu waktu di kantor polisi.”

“Aku nggak apa-apa kok.” jawab Maryam sambil tersenyum.

Marco mulai makan. Nasi sepiring, sementara di piring lain ada sepotong ayam panggang, telor balado, tahu dan tempe bacem, sayur lodeh, lalap dan sambal, dalam waktu singkat sudah habis disantap. Maryam pernah berpikir, mungkin Marco punya tembolok, kayak ayam. Jadi makanan itu tidak perlu dikunyah dulu, langsung ditelan, nanti baru dicerna dalam tembolok.

Maryam sudah selesai makan. Sudut matanya melihat tiga mahasiswi sedang minta diladeni mengambil nasi dan lauk-pauknya oleh pelayan kantin.

 “Marco… aku pergi duluan ya, ada perlu. Assalamualaikum.” Tanpa menunggu jawaban, Maryam segera bergegas keluar dari kantin. Marco menatap punggung Maryam, sambil mengira-ngira, apakah Maryam masih sakit hati oleh omongannya tempo hari? Mungkin juga, pikirnya, sambil minum air putih.

“Bang… kita boleh makan di sini?”

Marco melirik, di hadapannya ada tiga orang mahasiswi, masing-masing bawa baki. Marco mengangguk. “Boleh, ayo duduk!”

Windy yang paling duluan duduk di sebelah Marco. Lalu makan sambil ngobrol.

“Bang, berapa lama manjangin rambut?” tanya Windy.

Rambut Marco memang panjang hingga melampaui bahu. Kebetulan hari itu dia tidak mengikat rambutnya.

“Ehmmm ... berapa lama ya? Pokoknya sudah lupa rasanya dicukur.” jawab Marco.

Ketiga mahasiswi itu terkekeh.

“Bang, rambutnya diwarnain atau memang warna aslinya begitu?” Kali ini temannya Windy yang bertanya. Dari jarak dekat memang lebih jelas terlihat kalau rambut Marco berwarna coklat gelap.

“Diwarnain pake wantex.” jawab Marco.

“Wantex apaan tuh Bang?”

“Pewarna baju.”

“Ih, ya ampun Bang, masak sih, rambut diwarnain pake pewarna baju? Kan, ada pewarna khusus rambut.” Temannya Windy malah menganggap jawaban Marco serius, padahal Marco hanya asal bunyi.

Windy bicara, “Rambut Bang Marco memang aslinya warna coklat, nggak diwarnain. Ya kan, Bang?”

Marco cuma mesem-mesem.

Windy bicara lagi sembari menatap Marco, “Bang, boleh pegang rambutnya? Rambutnya bagus loh, rada bergelombang. Cocok buat bintang iklan shampoo.”

Ya ampun, ada-ada aja permintaan nih cewek, pikir Marco. “Boleh, tapi pegang rontokannya aja ya!” Lantas Marco menarik rambutnya. Ada beberapa helai rambut yang patah. Diberikannya rontokan rambut itu pada Windy. “Nih buat kamu, pegangin sepuasnya! Aku pergi dulu ya, ada perlu.” Marco berdiri, lantas meninggalkan meja itu. Windy kontan merengut melihat Marco malah pergi.

Windy menggerutu, “Mustinya dia berterima kasih dengan cara ngasi perhatian lebih sama gue, karena gue sudah bersaksi untuk mengeluarkan dia dari tahanan! Kalau nggak ada gue, sampai sekarang dia masih ditahan!”

“Berpamrih banget sih lo! Kalau menurut gue sih… tanpa kesaksian lo juga, pada akhirnya Bang Marco bakal tetap dibebaskan.”

“Kenapa?”

“Lo mikir nggak sih, bahwa kemungkinan besar dia memang nggak bersalah! Jadi sebetulnya, kesaksian lo itu nggak ada gunanya!”

“Lagian, bener nggak sih, lo melihat Silvi membubuhkan racun ke gelas jus alpukat itu?” ujar temannya yang seorang lagi. “kalau sebetulnya lo nggak melihat apa-apa, bisa mampus lo! Silvi mungkin bakal menuntut balik!”

Windy tak menjawab, malah megaduk-aduk nasinya dengan hati risau.

Sementara itu Marco berjalan hendak keluar kantin, rencananya mau ke homebase, menunggu kuliah berikutnya. Marco melewati meja panjang yang dipakai makan siang oleh para ikhwan aktivis masjid kampus.

“Bang, mau ke mana? Sekali-sekali ngobrol bareng kita dong!”

Marco menoleh ke arah para aktivis masjid yang lagi makan. Beberapa orang berdiri, lalu mendekatinya, memberi isyarat supaya dia duduk bergabung di situ.

“Ada apa?” tanya Marco.

“Bang, ajarin kita cara manjat dinding menara masjid, kayak kemarin itu. Jadi nanti-nanti lagi, kita semua yang bakalan bersihin menara masjid.”

“Kalian harus latihan dasar dulu di climbing wall.” jawab Marco.

“Boleh kita manjat climbing wall yang di depan homebase itu?”

“Boleh.”

“Tapi peralatannya kita nggak punya, Bang.”

“Pinjam saja dari homebase. Peralatan panjat tebing di homebase juga sebagian besar dikasi sama kampus, jadi silakan saja kalau mau dipake!”

“Yang ngelatih kita, siapa Bang?”

Marco terdiam. Selama ini yang melatih panjat dinding pada anggota yunior, adalah dirinya. Latihannya hari Sabtu sore. Sedangkan hari Minggu, adalah latihan bagi anggota yang sudah lebih mahir, yaitu memanjat tebing betulan. Biasanya latihan di tebing kapur Citatah. Mereka dilatih oleh Raymond. Sekarang para anggota itu meminta dilatih juga oleh Marco.

“Oke. Buat yang mau, saya tunggu setiap hari Sabtu jam tujuh pagi, di bawah climbing wall. Siapa yang telat, push up 50 kali!”

“Siap Bang! Siapa takut!”

Marco menatap para mahasiswa yang rapi-rapi itu. Wajah-wajah mereka lebih muda 2 - 4 tahun dari usianya. Mereka itu adalah adik kelasnya, dari berbagai fakultas.

“Begini… terkadang saya terlalu keras. Anggota Adventure sudah tahu dan maklum. Jadi kalau nanti saya bicara keras saat melatih kalian, jangan dianggap saya marah.”

“Kita juga sudah tahu kok, Bang. Kan, Abang juga yang menggojlok kita semua waktu ospek.”

Marco akhirnya tersenyum lebar. Dia sering lupa, kalau nyaris semua mahasiswa di kampus itu, pernah merasa gentar menghadapi kegarangannya saat ospek umum. Kecuali tentu saja para mahasiswa yang satu angkatan dengannya.

***

Maryam ada di kamarnya, sedang mengetik bab awal skripsi. Ponselnya berbunyi, ada panggilan masuk dari Marco.

“Maryam, kamu lagi sibuk?”

“Nggak.”

“Aku mau ke tempat kos kamu.” ucap Marco. “Sebetulnya aku ada perlu sama Rosna, adik kelasku di FE, dia kos di situ, bareng kamu. Aku ikut kuliah di kelasnya Rosna, aku ada urusan kerja kelompok dengan dia.”

“Mau ketemu Rosna, tapi kenapa kamu malah menelepon aku?”

“Ya siapa tahu, kamu cemburu kalau melihat aku datang ke situ malah mencari si Rosna. Makanya aku ngomong dulu.”

“Apaan sih, Marco? Rese banget!”

“Tuh kan, belum apa-apa, kamu sudah marah.”

“Kalau kamu mau ke sini, ya datang aja. Mau nyari Rosna, atau Silvi, atau ibu kos, terserah kamu aja!”

“Janji ya, jangan cemburu.”

“Bodo amat!” Bukannya Maryam tidak senang ditelepon oleh Marco, tapi dia ingat janjinya pada Windy untuk menjauhi Marco.

“Maryam ….”

“Sudah dulu ya Marco, aku mau ke kamar mandi.” Maryam memutus kontak.

Maryam mendengar suara motor berhenti di depan rumah kos. Maryam sudah hapal itu suara motor Marco, segera dia membuka pintu sedikit untuk mengintai. Ada seorang gadis berdiri di teras, Rosna. Lantas Marco masuk ke teras, dan bicara dengan Rosna, tampak akrab. Maryam teringat kalau Rosna memang pernah jadi anggota Adventure, tidak heran jika gadis itu cukup akrab dengan Marco. Sekarang Rosna sudah tidak aktif di organisasi kampus, capek dan menghabiskan uang, begitu katanya.

Maryam menutup kembali pintu kamarnya, kemudian membaca buku yang menjadi sumber pustaka untuk skripsinya. Mencatat beberapa kalimat yang dianggap penting. Dia menoleh ke arah pintu saat ada yang mengetuk.

“Mbak, ini aku, Rosna.”

Maryam membuka pintu, di depan kamarnya ada Rosna dan Marco.

“Mbak, kita makan sea food, yuk! Ada warung sea food baru dibuka dekat sini. Bang Marco ngajakin ke situ.” ujar Rosna.

Maryam terdiam.

“Ayolah!” Kali ini Marco yang mengajak. “tapi sebelum pergi, ambilin dulu tuh jemuran! Sudah kering kayaknya.” Marco mengerling ke arah rak jemuran ukuran kecil yang ada di teras kamar Maryam. Sebetulnya rak itu bukan milik Maryam ataupun rekan sekamarnya. Rak itu milik penghuni yang lain, yang sering meletakkannya di situ karena teras bagian itu tersorot sinar matahari sore. Saat itu, yang tergantung pada rak tersebut adalah pakaian dalam.

“Bukan punya aku!” sangkal Maryam.

Marco menaikkan alis. “Masak sih?”  

Rosna sudah paham siapa pemilik jemuran itu, yang jelas bukan punya Maryam. Akan tetapi bukannya turut menjelaskan siapa pemilik sebenarnya rak itu, dia malah tertawa geli sembari menutup mulutnya pakai tangan. Maryam mengambil baju-baju dalam itu, diletakkan di kamarnya. Padahal sebetulnya bukan punya dia, tapi daripada terus saja dikomentari macam-macam yang bikin wajah memerah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags