Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

“Ayo Mbak, mumpung warung sea food itu masih ngasih diskon.” ajak Rosna lagi.

“Tapi … aku suka alergi kalau makan sea food.” Maryam coba mengelak dari ajakan itu.

“Kamu bisa pesan makanan lain. Di sana banyak macam masakan.” ujar Marco.

“Lain kali aja ya Marco. Kamu makan dengan Rosna aja.” tolak Maryam. “aku lagi menunggu teman yang mau ke sini.”

“Kak Titin ya?” tanya Rosna, menyebut nama teman sekamar Maryam yang sedang praktik mengajar di lokasi yang cukup jauh dari kampus. “kunci kamar kan, bisa titip sama Ibu kos. Kalau Kak Titin pulang ke tempat kos, dia bisa ambil kunci.”

Dari teras kamarnya, Maryam melihat seorang pria muda masuk ke pekarangan rumah kos sembari celingukan. Pria muda itu kemudian berjalan menyusuri koridor antara dua deretan kamar kos yang saling berhadapan. Akhirnya dia tiba di depan kamar Maryam.

“Assalamu alaikum.” ucap pria muda itu.

Maryam, Marco dan Rosna menjawab salam. Pria muda yang baru datang itu bernama Hanif, rekan Maryam di organisasi dakwah kampus. Hanif satu angkatan dengan Maryam dan Marco, cuma berbeda fakultas.

Hanif bicara, “Maaf ya Ukhti Maryam, saya nyelonong masuk ke teras.” Hanif lalu menoleh pada Marco, tersenyum, dan menyalami Marco dengan cara yang akrab. “apa kabar, Marco?”

“Baik.” gumam Marco.

“Begini Ukhti….”

Maryam langsung memotong ucapan Hanif, “Saya minta maaf ya Akhi, soal yang kemarin …. gimana ya… mending nanti saja kita bicarakan, tapi jangan di sini….”

Marco menatap Maryam, sorot matanya seolah menuntut jawaban, apakah benar Hanif datang ke situ untuk menemui Maryam. Akan tetapi Maryam malah memalingkan wajah ke arah lain. Sementara Hanif tertegun-tegun menatap Marco dan Maryam bergantian. Suasana hening tapi terasa tidak enak.

Akhirnya Marco bicara. “Silakan saja kalau ada yang mau dibicarakan, aku permisi dulu!” Marco berjalan beberapa langkah, kemudian menoleh ke arah Rosna. “Rosna, lain kali saja ya, saya traktir kamu makan sea food.”

“Iya Bang.” jawab Rosna, lantas dia juga pergi dari teras kamar Maryam, masuk ke kamarnya.

Maryam mendengar suara motor Marco menjauh dari rumah kos itu.

“Kenapa tuh, si gondrong?” tanya Hanif.

“Ah, nggak usah dipikirin. Oh ya, ada perlu apa nih?”

“Justru saya yang ingin tahu, apa yang Ukhti maksud barusan itu?”

“Barusan saya cuma asbun. Maaf ya.”

“Ya ampun, Ukhti, kenapa harus memanfaatkan kedatangan saya, untuk membuat orang lain pergi dari sini? Saya nggak mau terlibat urusan yang bikin nggak enak hati dengan teman sekampus, apalagi dengan Marco. Ukhti juga pasti tahu, dia itu kayak gimana perangainya! Kapan saja saya bisa berpapasan dengan dia di kampus. Bukannya saya takut, tapi… nggak nyaman aja melihat caranya menatap saya barusan!”

 “Maafkan saya ….” Suara Maryam tersendat.

“Ya sudahlah ukhti. Lupakan saja. Oh ya, Latifa ada? Bisa tolong dicek ke kamarnya? Saya calling dia, tapi nggak diangkat. Mungkin dia lagi tidur. Saya sungkan mengetuk pintu kamarnya, mungkin di dalam ada teman sekamarnya.”

“Wah, kayaknya ada perlu penting sama adikmu ya?”

“Biasa, urusan fulus kiriman ortu kami. Fulusnya dikirim ke rekening saya, soalnya Latifa masih suka boros. Jadi saya harus ngecek, apakah sekarang dia masih punya duit, atau sudah bokek.” Hanif tersenyum. Dia memang sangat menjaga adik tersayangnya, Latifa, yang kos di situ. Semua anak kos di pondokan putri itu tentu saja sudah mengenal Hanif dengan baik.

Maryam mengetuk pintu salah satu kamar. “Latifa, ada kakakmu, katanya mau ngasi fulus!”

Sontak saja pintu itu terbuka, lalu muncul seorang gadis muda yang baru bangun tidur.

“Urusan duit mah, gercep banget kamu!” omel Hanif pada adiknya.

Maryam tertawa pelan, lantas masuk lagi ke kamarnya. Saat kembali menekuni bukunya, dia teringat ekspresi wajah Marco barusan, saat Hanif datang. Maryam jadi merasa tidak enak hati, tapi apa boleh buat? Dirinya sudah terlanjur berjanji pada Windy, untuk menjauh dari Marco. Sepertinya sekarang sudah berhasil, buktinya tadi Marco yang duluan menjauh. Akan tetapi, kentara Marco pergi dengan raut wajah menahan rasa kesal.

“Ya ampun, bagaimana kalau Marco marah pada Hanif? Padahal Hanif nggak tahu apa-apa.” Hati Maryam jadi risau.

***

Marco menepati janjinya, di hari Minggu pagi dia datang ke kampus untuk memberi pelatihan memanjat climbing wall. Ternyata peminatnya banyak, bukan cuma puluhan orang ikhwan aktivis masjid yang pengin berlatih memanjat, ada juga beberapa orang dari organisasi Menwa. Dan tentu saja para anggota Adventure yang latihan rutin. Karena terlalu banyak peserta pelatihan, Marco menelepon Cepi untuk membantunya.

Cepi tiba di kampus, tercengang melihat banyak wajah baru yang mau latihan climbing.

“Mereka dari aktivis masjid kampus, sama Menwa.” ujar Marco.

“Latihan gabungan maksudnya?” tanya Cepi.

Seorang ikhwan bicara. “Iya Bang. Persiapan buat pembersihan total terhadap kubah majid, dinding menara, dan bagian yang tinggi, yang selama ini sulit dijangkau dan nggak pernah dibersihkan.”

“Kita baru tersadar sama kondisi bagian atas masjid kampus, saat Bang Marco memanjatnya buat membersihkan menara. Masjid itu milik bersama. Jadi urusan kebersihannya pun tanggung jawab bersama. Jangan sampai terulang lagi, cuma satu orang yang kepikiran untuk membersihkan menara mesjid! Pekerjaan itu terlalu berat untuk dilakukan seorang diri. Jadi kepada siapa saja yang berminat untuk membersihkan bagian atas mesjid kampus, silakan ikut latihan bareng. Karena kita akan bersama-sama membersihkannya.” ujar komandan Menwa yang turut latihan.

“Mau manjat sambil hujan-hujanan lagi?” tanya Cepi.

“Nggak. Terlalu berbahaya, apalagi kalau saat manjat ada kilat dan guntur. Sudah ada dana sumbangan dari mahasiswa, buat beli selang yang panjang. Jadi air dari kran bisa dinaikkan ke menara dengan selang. Kita semua manjat selagi hari cerah, dari jam 6 pagi sampai tengah hari, mudah-mudahan bisa selesai.” jawab seorang aktivis masjid kampus.

Cepi meninju pelan bahu Marco. Dia bangga pada rekannya itu. Berawal dari sebuah nadzar, ternyata mampu menggerakkan banyak hati untuk membuka diri dari belenggu eksklusivisme dan ego masing-masing organisasi kampus. Buktinya, para pendaki gunung, anggota Menwa, dan para aktivis masjid kampus bersedia latihan bersama. Mereka kompak, akur, dan tak ada satu pihak pun yang merasa lebih berhak atas property yang sedang mereka pakai.

***

Hari Minggu itu Ipda. Binsar Siagian tidak libur kerja. Binsar adalah polisi muda berusia 25 tahun, berdinas di Satuan Reskrim membuatnya jarang mengenakan seragam dinas. Rambutnya agak gondrong. Jika dia mengenakan kaus oblong, kemeja motif kotak-kotak, celana jeans, jaket jeans, menggendong ransel, lantas mengendarai motor matic menuju kampus perguruan tinggi, maka dia akan tampak seperti mahasiswa tingkat akhir. Sebenarnya Binsar memang tercatat sebagai mahasiswa di sebuah PTS di Bandung. Kuliah lagi setelah menjadi perwira polisi, adalah keinginannya untuk menambah wawasan ilmu, yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai reserse.

Sore itu Binsar datang ke kampus Universitas Taruma, yang bukan kampus tempatnya kuliah. Binsar datang ke situ karena ada laporan dari salah seorang security kampus, bahwa banyak wartawan yang datang ke kampus tersebut, sepertinya mencari Marco. Tentu tujuan para wartawan itu karena ingin tahu, kenapa Marco bisa dibebaskan dari tahanan? Kalau hal itu adalah penangguhan penahanan, tampaknya sangat riskan, memberikan penangguhan penahanan terhadap tersangka kasus pembunuhan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags