Seorang security kampus bicara lewat ponsel dengan rekannya, yaitu seorang reserse bernama Ipda. Binsar Siagian.
“Mulanya si M datang di hari Minggu pagi, buat latihan cimbing. Banyak yang ikut berlatih. Di siang hari, beberapa security melihat sepertinya ada orang-orang yang bukan mahasiswa di sini, masuk ke area kampus. Mulanya kita biarkan saja karena kampus ini terbuka buat umum, apalagi hari Minggu sering ada pengajian umum di kampus. Tapi kelihatannya orang-orang yang baru datang itu menuju halaman homebase, dan mengerumuni si M. Saya berasumsi mereka wartawan.” lapor security itu yang mengenal Binsar di gereja.
“Sekarang ada di mana si M?” tanya Binsar.
“Beberapa rekannya membawa dia ke markas yang di sebelah masjid kampus. Karena homebase kan, masih digembok sama polisi.”
“Saya mau ke sana. Saya juga ada perlu sama orang itu. Nanti kalau saya sudah sampai, kita ketemuan di area parkir kampus.”
Siang itu Binsar datang ke kampus Universitas Taruma Bandung dengan mengenakan baju kaus bertuliskan “Skygers” yang dilapisi dengan jaket parka. Dia melihat kerumunan orang di halaman masjid kampus. Sementara latihan climbing sudah berakhir.
Seorang satpam kampus bicara pelan pada Binsar yang sedang parkir motor.
“Sepertinya beberapa wartawan masih mengincar si M untuk mengorek kasus kematian Raymond. Tadi saya lihat ada beberapa orang mengitari si M, mengajak bicara. Kelihatannya si M berusaha menghindar, namun langkahnya selalu dihadang sama para wartawan. Bahkan saya dengar ada seorang wartawan yang nyerocos mengajukan pertanyaan yang terkesan menuduh keluarga M punya backing di Polri.”
Binsar kesal mendengarnya. “Kata-kata wartawan itu sudah bertendensi menuduh polisi terima uang suap dari tersangka yang punya harta. Ya sudah, saya mau menemui si M.”
“Apakah si M mengenali Abang sebagai polisi?”
“Saya tidak yakin. Entahlah. Tapi saya perlu bicara dengan dia.”
“Ayo Bang, biar saya temani masuk ke areal masjid. Saya security kampus, tidak ada yang boleh menolak saya mengecek keamanan seluruh areal kampus.”
Binsar mengikuti satpam itu, hingga tiba di depan pintu markas dakwah kampus yang tertutup rapat. Padahal biasanya terbuka lebar.
“Saya security kampus, biarkan saya masuk!” teriak satpam itu.
Seseorang mengintai dulu dari jendela, barulah membuka pintu. Setelah Satpam masuk, Binsar juga masuk. Beberapa orang wartawan merangsek, ingin turut masuk, namun pintu segera ditutup.
“Ini siapa, Pak?” tanya seorang mahasiswa, sembari menatap Binsar.
“Ini rekan saya. Mungkin Marco pernah melihat beliau juga.” jawab Satpam.
Binsar membuka jaket parkanya, sehingga semua orang bisa melihat kaus oblong yang dia pakai, bertuliskan “Skygers”. Nama itu tidak asing bagi para pemanjat tebing, apalagi di Kota Bandung. Skygers adalah organisasi pemanjat tebing yang usianya sudah cukup tua. Skygers juga kerap memberikan pelatihan climbing buat TNI, POLRI, Tim SAR, teknisi PLN, dan para pekerja yang melakukan tugasnya di ketinggian. Binsar yakin jika dirinya mengenakan kaus Skygers, akan membuat beberapa climber merasa ada koneksi tak kasat mata dengannya.
“Marco, masih ingat saya? Kita pernah ketemu sebelumnya.” tanya Binsar.
“Maaf, siapa ya? Saya memang pernah latihan bareng Skygers, tapi … mungkin tidak seangkatan dengan Anda.” tutur Marco.
“Kita bertemu bukan di tempat panjat tebing. Kita bertemu di markas saya, yang di Jalan Merdeka.”
“Oh … Anda polisi?”
“Sekarang ini kamu dikejar wartawan, dan terjebak di markas aktivis dakwah. Mau sampai kapan di sini?” tanya Binsar.
Marco menjawab, “Nggak mungkin para wartawan itu mau nongkrong di kampus ini terus-terusan. Kalau mereka sudah pergi, nanti saya juga bisa pulang.”
Binsar tersenyum lebar. “Jangan meremehkan wartawan. Mereka tahan nongkrong di markas saya hingga tengah malam, hingga subuh, hingga pagi lagi, untuk mencari berita. Mereka akan terus berada di sumber berita. Kalau sudah capek, mereka bakal gantian dengan rekannya, untuk berburu berita. ”
Marco saling pandang dengan Cepi.
“Ya sudah, berarti saya harus pergi dari sini secepat mungkin, menerobos kerumunan wartawan.” ujar Marco.
Saat itu Binsar melihat seorang mahasiswa yunior yang bertubuh sama jangkung dengan Marco. “Dia saja yang keluar, tapi pakai jaket punya Marco. Pinjamkan motor sama dia. Bagaimana, kamu berani?” tanya Binsar pada mahasiswa yunior itu.
“Iya, oke, saya mau pura-pura jadi Bang Marco, biar Bang Marco bisa pergi dari kampus dengan aman.” jawab mahasiswa jangkung itu, dia salah seorang aktivis masjid kampus.
Lantas Marco sendiri yang mendandani adik tingkatnya itu, dengan jaket yang kerahnya dinaikkan, kepala dipasangi helm yang menutup wajah. Terakhir, Marco memberikan kunci motornya.
“Resikonya kamu bisa dikejar sama wartawan yang naik motor juga.” ujar Binsar.
“Nggak apa-apa, nanti saya ngebut aja.” Mahasiswa yunior itu menyeringai.
Cepi mengamati yuniornya itu. “Ada yang kurang. Sepatu kalian tukaran, nggak apa-apa, kan?”
Marco terpaksa bertukar sepatu, merelakan trail boots miliknya yang seharga 1,5 juta dipakai oleh adik tingkatnya itu. Sementara Marco mengenakan sandal gunung milik orang lain. Tadinya Marco hendak ke luar dari ruangan itu dengan mengenakan seragam satpam. Namun tidak ada satpam yang gondrong. Cukup sulit buat Marco menyembunyikan rambut gondrongnya di bawah topi, kecuali kalau dia rela mencukur rambutnya pada saat itu. Namun, dia belum ingin berpisah dengan rambutnya. Yang harus dipikirkan, bagaimana cara aman ke luar dari ruangan itu, dan bisa meninggalkan kampus tanpa dikenali sebagai Marco.
Marco melihat syal kotak-kotak, yaitu keffiyeh, yang tersampir pada sandaran kursi. Marco teringat, bahwa beberapa orang ikhwan aktivis dakwah kampusnya terkadang sengaja memakai keffiyeh saat datang ke kampus, untuk solidaritas.
“Saya pinjam itu saja.” Marco menuding keffiyeh, “Bisa minta tolong, pakaikan syal itu di kepala saya?”
“Siap Bang!”
Ternyata keffiyeh tidak hanya selembar, ada beberapa lembar. Akhirnya beberapa orang berinisiatif menggunakan keffiyeh, bahkan ada yang sengaja menutupkan keffiyeh pada wajah, hanya terlihat mata saja. Tidak ada yang aneh, jika sekelompok pria berjalan ke luar dari markas dakwah kampus, dengan menggunakan keffiyeh.
Marco gadungan berjalan ke luar dari ruangan itu, dengan dikawal dua orang satpam, dan beberapa mahasiswa. Mereka berjalan cepat, menghindari wartawan yang mengejar. Marco abal-abal itu berlari ke luar dari area kampus. Di tepi jalan, Cepi sudah menunggu dengan motor milik Marco yang siap tancap gas. Cepi berinisiatif pegang motor Maco, karena tidak tega jika si yunior itu harus sendirian menghadari kejaran wartawan.
Ternyata memang ada beberapa wartawan yang segera menaiki motornya untuk mengejar motor yang mereka kira dinaiki oleh Marco. Cepi melaju ke Jalan Dipati Ukur, lantas memasuki kawasan Sekeloa yang banyak gang bagai labirin. Dia berputar-putar saja di kawasan perumahan yang sangat padat penduduk itu, hingga merasa yakin tidak ada lagi yang mengejar.
Sementara itu, Marco berjalan ke luar dari markas dakwah kampus, beberapa menit setelah Marco gadungan pergi bersama Cepi. Marco berjalan bersama beberapa orang ikhwan, dan Ipda. Binsar juga ada bersama mereka. Setelah beberapa langkah mereka meninggalkan markas dakwah kampus, ada seorang wartawan yang melihat rombongan ikhwan itu. Sang wartawan bisik-bisik dengan rekannya. Ketika rombongan ikhwan itu berpencar, beberapa wartawan mengejar seorang pria yang mengenakan keffiyeh menutup wajah. Pria itu berlari ke arah tempat parkir, dan segera naik ke boncengan motor yang sudah distarter oleh rekannya. Kemudian terjadilah lagi pengejaran.
Marco berjalan dengan langkah sebiasa mungkin, menuju tempat parkir, bersama Ipda. Binsar. Marco hanya melilitkan keffiyeh di kepala, untuk menutupi rambutnya. Wajahnya tidak ditutup, namun dia pakai kacamata minus ½ miliknya sendiri yang jarang dipakai. Dia mengenakan jaket warna hijau army yang sudah lusuh, milik salah seorang ikhwan.
Menurut Ipda. Binsar, yang sudah sering melihat orang-orang terperiksa di kantor polisi, menghindari wartawan itu tidak perlu menutupi wajah. Cukup merubah penampilan, atau busana, dalam batas yang wajar, tidak berlebihan. Biarkan saja para wartawan mengejar orang-orang yang menutup wajah.
Marco naik di boncengan motor milik Binsar. Motor itu melaju meninggalkan kampus dengan tanpa hambatan. Ternyata tujuan Binsar adalah markasnya, Polrestabes Bandung.
“Saya mau ditahan lagi?” tanya Marco.