Ipda. Binsar membawa Marco ke kantin yang ada di kompleks markasnya. Dia mengajak makan siang.
“Sebenarnya belum ada cukup bukti konkret untuk menahan Anda.”
Marco menukas, “Saya pernah ditahan di sini selama tiga atau empat hari.”
“Barusan Anda sudah merasakan bagaimana diburu oleh wartawan?”
“Apa hubungannya penahanan saya dengan wartawan?”
“Yang berlaku pada Anda waktu itu adalah upaya mengamankan Anda dari serbuan media. Jika Anda tidak diamankan, maka rumah Anda yang bakal diserbu wartawan. Bahkan kampus Anda juga tidak luput dari wartawan, kan? Sebenarnya kami punya safe house, tapi sudah diisi oleh beberapa anak yang jadi korban tindak kekerasan. Jadi Anda diamankan di kantor polisi, tapi bukan di sel tahanan. Hingga saat ini belum ada tersangka.”
Marco manggut-manggut.
“Besok hari Senin, rencananya kami akan membuka police line di homebase Adventure. Kalian bisa menggunakan lagi markas itu.”
“Syukurlah. Terima kasih Pak.”
“Saya sudah pernah melihat foto-foto Raymond, saat mendatangi rumahnya. Apakah Anda punya foto Raymond, di ponsel?”
Marco membuka galeri foto pada ponselnya, lantas memperlihatkan beberapa foto. Tidak ada foto Raymond yang sedang sendiri, tapi cukup banyak foto Raymond sedang bersama-sama dengan anggota Adventure. Ipda. Binsar mengamati foto-foto itu dengan serius.
“Lusa saya ingin bicara dengan Anda, dan rekan Anda.”
“Rekan saya yang mana?”
“Maryam.”
“Maryam lagi sibuk bikin skripsi. Lagipula dia nggak terlibat dalam urusan ini.”
Binsar menatap pria muda di hadapannya. Kentara sekali, Marco tidak mau melibatkan Maryam dalam kesusahan. Dia berusaha melindungi Maryam dari urusan yang bikin ribet.
“Saya perlu bicara dengan Maryam. Hanya sekadar mengobrol. Saya harap Anda tidak lagi menghalangi Maryam untuk bicara pada polisi, tentang kasus ini.”
Marco pulang dengan naik ojek.
Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Binsar, saat tadi melihat Marco memberikan sepatunya pada seseorang, untuk mengecoh para wartawan. Binsar ingin bicara dengan rekan terdekat Marco, untuk membuktikan sebuah asumsi pribadi.
***
“Maryam, aku perlu bicara serius dengan kamu.” ujar Marco saat menghadang Maryam yang baru keluar dari ruang dosen pembimbing skripsinya.
“Oooh… tentang apa?” tanya Maryam, sambil terus berjalan menuju markas dakwah kampus di samping masjid. Biasanya Marco tidak akan membuntutinya hingga ke tempat itu. Namun, kali ini dugaan Maryam salah, ternyata Marco ikut masuk ke markas dakwah itu. Marco mengamati beragam kertas berisi pengumumam dan rencana kerja yang tertempel di dinding. Maryam lebih heran lagi, saat beberapa orang mahasiswa aktivis dakwah yang masuk ke markas itu, lantas malah ngobrol akrab dengan Marco. Entah apa yang diobrolkan, dan entah bagaimana obrolan mereka bisa tersambung.
Setelah para ikhwan itu pergi, Marco bicara. “Kalau kuamati, kayaknya kamu sengaja menghindari aku sejak aku keluar dari tahanan polisi.”
Maryam tak menjawab, wajahnya malah sama sekali tidak menghadap ke arah lawan bicara. Dia duduk sembari menekuni ponselnya, melihat media sosial. Sedangkan Marco berdiri di dekat pintu yang terbuka.
“Kamu sedang… apa ya istilahnya? Ta’aruf ya? Nah, kamu sedang berta’aruf dengan seorang laki-laki. Sepertinya kamu khawatir, orang itu bakal menilai kamu rada negatif, kalau dia melihat kamu ngobrol denganku. Karena kita nggak sebanding….”
Maryam tak menjawab.
“Maksudku bilang kita nggak sebanding, karena…aku orang brengsek, yang nggak layak berteman dengan seorang muslimah yang shalihah. Begitu kan?”
Maryam tersentak. Jadi yang dimaksud tak sebanding oleh Marco, sama sekali bukan faktor status sosial ekonomi di antara mereka yang memang jauh banget bedanya.
Marco bicara lagi, “Maryam, kalau laki-laki itu bakal baik sama kamu, mau menjaga kamu, menghargai dan menyayangi kamu… silakan saja! Aku nggak akan menghalangi. Dan kalau laki-laki itu nggak suka melihat kamu berteman dengan aku, nggak apa-apa. Aku bisa mengalah, aku akan menjauh ….”
Maryam tidak juga menjawab, karena tak tahu harus bicara apa.
“Tapi kalau laki-laki itu sebetulnya sudah punya calon lain, seharusnya kamu nggak berharap terlalu banyak sama dia.”
“Kamu ngomongin siapa sih?” Maryam menoleh.
“Kamu suka sama Hanif, kan?”
“Bagaimana kamu bisa menduga seperti itu?”
“Tapi benar, kan? Hanif mungkin lebih layak buat kamu. Dia aktivis dakwah kampus, dia cerdas, sering mewakili kampus untuk pertukaran mahasiswa nasional, internasional, mungkin dia bakal diwisuda bareng kamu pada tahun ini.”
“Hanif memang cerdas, nggak bakal malu-maluin kalau mewakili kampus kita.”
“Tapi mungkin ada satu hal tentang Hanif, yang kamu belum tahu.”
Maryam menjawab, “Aku kenal dengan Hanif sudah lama, sejak awal kuliah, karena sama-sama aktif di masjid kampus. Kayaknya nggak ada sikap dia yang negatif.”
Marco berujar, “Entah kamu sudah tahu, atau belum, tapi aku merasa harus memberi tahu kamu tentang Hanif yang sebenarnya.”
“Ada apa dengan Hanif?” Barulah Maryam menoleh ke arah Marco.
“Aku dapat info dari beberapa ikhwan, sebetulnya Hanif sudah punya calon istri, mungkin mereka akan menikah setelah Hanif diwisuda.”
“Itu sih, terserah Hanif.” gumam Maryam.
“Kamu mau bersaing dengan calon istrinya Hanif?” Marco tercengang.
“Ya terserah Hanif, pada akhirnya mau menikah dengan siapa….”
“Ya ampun, Maryam! Bagaimana kalau besok lusa calon istrinya tahu, lalu melabrak kamu?! Apa kamu nggak malu, kalau sampai tersebar gossip di kampus, Maryam yang selama ini shalihah, ternyata seorang pelakor?”
“Jadi… aku harus bagaimana?” Suara Maryam terdengar serak, menahan tangis.
“Kamu cuma harus berusaha melupakan Hanif. Mungkin mulanya sulit. Tapi cobalah untuk nggak mikirin dia lagi, hindari bertemu dengannya, hindari obrolan yang nyerempet-nyerempet pada dia. Lama-lama juga kamu bisa lupa.”
Kali ini Maryam tidak bisa menahan air mata, dia menutup wajah dengan jilbab, lalu terisak-isak ditahan. Siapa yang dia tangisi? Tentu saja bukan Hanif! Karena yang terlintas di benak Maryam saat itu, adalah omongan Windy, “Mbak Maryam harus melepaskan dia, Mbak Maryam harus menjauhi dia!”
“Aku nggak bisa…. nggak bisa… ya Allah, kenapa harus begini? ” Sendat Maryam tanpa sadar, di antar isak tangisnya.
“Apanya yang nggak bisa, Maryam? Kamu nggak bisa melupakan Hanif? Sudahlah, jangan menangisi Hanif, dia juga nggak mikirin kamu, kan?”
Maryam menyeka wajahnya. ”Aku ingin sendirian!”
Marco terdiam.
“Please Marco, biarkan aku sendirian!”
“Aku pernah pergi meninggalkan seseorang yang lagi sedih dan kecewa, karena dia yang meminta aku pergi. Dia bilang pengin sendirian. Ternyata… kemudian dia malah menjatuhkan diri dari ketinggian puluhan meter….”
“Siapa dia? Pacar kamu?” Barulah Maryam menoleh.
“Dia itu laki-laki, dan kejadiannya sudah beberapa tahun lalu.”
“Jadi kamu pikir, aku lagi patah hati dan bakal melakukan hal yang sama?”
“Siapa tahu kamu naik ke menara masjid, lalu terjun bebas dari situ.”
“Naudzubillahi mindzalik!”
Marco tersenyum, “Ya sudah. Aku tinggal dulu ya, ada kuliah nih.”
Maryam mengangguk, sambil menunduk. Marco masih tidak yakin, dia bicara lagi, “Maryam, kalau kamu terfokus terus sama si Hanif, ya jelas aja saat ini kamu merasa nggak ada yang bisa membuat kamu pulih dari rasa kecewa. Tapi laki-laki itu banyak, Maryam. Cobalah open your mind, buka hati untuk orang-orang di sekitarmu … nggak usah yang jauh-jauh, yang deket aja. Yang di depan hidungmu. Masih ada kok, yang sayang sama kamu.”
“Iya Marco. Di organisasi dakwah kampus banyak ikhwan yang baik, aku akan coba membuka hati untuk ikhwan yang lain.” ujar Maryam, lalu berdiri, “Sudah mau hujan, aku pulang saja, mau ambil jemuran di tempat kos.” Kemudian Maryam keluar dari ruangan itu, pulang ke tempat kos.
Marco bergegas ke ruang kuliah. Hatinya bergumam, “Maryam, kamu hanya mau membuka hati pada seorang ikhwan?”