Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Penyidik utama kasus tewasnya Raymond adalah Iptu. Ekky Wahyudi. Dia berasumsi kematian Raymond adalah akibat dari konflik intern dalam tubuh organisasi Adventure yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Ipda. Binsar adalah polisi yang membantu tugas penyidik utama, untuk menemukan pelaku pembunuhan.

Binsar memilih untuk pendekatan pada Marco dan rekan-rekannya, dengan cara menjadi teman. Dia yakin, dengan bersikap sebagai teman sesama climber, beberapa orang akan lebih terbuka. Binsar menghubungi Marco untuk ngobrol, Marco bilang ada waktu luang di sore hari setelah kuliah. Maka Binsar kembali mendatangi kampusnya Marco, menuju homebase pencinta alam yang sudah dibuka kembali.

Ipda. Binsar memasuki homebase. Dia terpaku sejenak di ambang pintu, saat tatapannya menangkap dua buah foto di dinding yang tepat menghadap pintu masuk. Kedua foto tersebut sebenarnya sudah tergantung di dinding, pada saat pertama kali Binsar datang ke markas itu, yaitu dua jam setelah ada laporan tewasnya Raymond. Namun saat itu, tak ada yang tertarik untuk mengamati kedua foto itu, karena semua sibuk mengambil sampel apapun juga yang dianggap penting. Sekarang, setelah kejadian itu lewat dua minggu, Binsar baru terpikir, bahwa kedua foto itu bisa menjelaskan banyak hal.

Dua foto, dua wajah, terpasang di dinding. Ipda. Binsar Siagian yakin, salah satu foto sudah cukup lama tergantung di dinding, dan foto yang satunya mungkin baru dua bulan menjadi penghuni dinding homebase Adventure. Foto yang dimaksud adalah foto orang-orang yang pernah menjadi komandan Adventure, yaitu Marco dan Raymond.

Ketika Ipda. Binsar memasuki homebase, dia melihat Marco sedang bicara dengan seorang mahasiswa yunior, yaitu yang tempo hari memakai jaket dan sepatunya untuk mengelabui wartawan. Si yunior itu sedang mengembalikan barang-barang milik Marco. Binsar tidak langsung mendekati mereka, dia memilih untuk melihat-lihat beberapa foto kegiatan UKM Adventure yang terpasang di salah satu dinding.

“Makasih Bang. Kebetulan ana lagi nabung buat beli sepatu. Alhamdulillah dapat hibahan dari Abang.”

“Iya, mudah-mudahan sepatunya awet ya.”

“In syaa Allah sepatu kayak begini mah bakal awet Bang, sampai ana lulus nanti, mudah-mudahan ana nggak perlu beli sepatu lagi.”

Mahasiswa yunior itu meninggalkan homebase dengan menenteng sebuah  bungkusan, wajahnya tampak sumringah karena diberi sepatu mahal, walau bukan baru, tapi masih sangat layak pakai.

Binsar duduk di kursi yang berhadapan dengan Marco. Beberapa orang anggota Adventure masuk ke markas itu untuk mengambil helm, ataupun jaket, kemudian ke luar lagi. Mungkin karena hari sudah sore, maka tidak ada lagi yang tidur-tiduran dalam homebase. Kalaupun ada yang duduk selama duapuluh menit di pojokan, karena sedang mengisi daya ponsel. Semua yang masuk homebase, segera ke luar lagi untuk pulang.

Binsar bertanya. “Saat itu Anda angkat gelas dan langsung meminum jus itu. Apakah Anda nggak mencium bau mengkudu?”

“Sebenarnya tercium juga… tapi waktu itu saya lagi sedikit flu, hidung agak mampet. Saya kira bau mengkudu itu bukan dari gelas jus, tapi dari arah lain. Pokoknya sama sekali nggak mengira kalau saat itu saya dikerjain sama anak-anak.”

“Anda nggak mengira bakal dijahilin, karena selama ini tidak ada yang berani berbuat jahil pada Anda, begitu kan?”

Marco terdiam.

“Walaupun Anda sering jahil sama para yunior anggota Adventure.”

“Itu bukan jahil, tapi bagian dari pembinaan anggota baru.”

“Lebih tepat perpeloncoan. Saya sudah mencari tahu bagaimana tindakan Anda terhadap calon anggota Adventure. Saya menilai Anda kerap kali berlebihan terhadap calon anggota.”

“Ya, memang saya terkadang iseng, mengganti bajigur dengan jamu, tapi jamu itu masih bisa diminum walau pahit. Saya nggak pernah iseng pakai mengkudu.”

“Ini bukan soal mengkudu!” tukas Binsar, “ini soal jus alpukat yang dibubuhi arsenik! Jus itu pesanan Anda, dan racun itu memang untuk Anda! Selama ini Anda berpikir bahwa tindakan perpeloncoan yang Anda terapkan pada calon anggota Adventure, hanya sekadar iseng, untuk lucu-lucuan, atau istilahnya untuk membina mental mereka. Tapi mungkin saja ada seseorang yang menganggap tindakan Anda itu keterlaluan, dan ingin membalas Anda. Ingin membunuh Anda!”

Suara salam membuat kedua pria muda itu menoleh, dan menjawab salam. Maryam berdiri di ambang pintu homebase. Ipda. Binsar berdiri, mempersilakan Maryam duduk bersama mereka, tanpa perlu merasa khawatir, karena homebase adalah area publik yang pintunya terbuka dan banyak orang keluar masuk.

“Baiklah, saya harap sekarang tidak ada lagi yang ditutupi, kalian harus bicara apa adanya. Ini kasus pembunuhan, dan pelakunya masih belum ditemukan. Saya khawatir pelaku beraksi lagi, karena targetnya belum tercapai. Target si pelaku adalah membunuh Marco. Apakah kalian paham, bahwa Marco dalam bahaya?”

“Saya sudah pernah memperingatkan kalau ada yang mau mencelakakan dia, tapi dia anggap omongan saya hanya bercanda.” ujar Maryam sembari melirik ke arah Marco.

“Karena kamu ngomongnya nggak jelas, siapa yang kamu maksud. Jadi aku pikir hanya caper.” Marco tersenyum jahil sembari menatap Maryam.

“Kapan Mbak Maryam memperingatkan Marco?” tanya Binsar.

Marco yang menjawab, “Waktu hari itu, saat tukang bakso itu membawa jus alpukat dan bakso ke homebase. Maryam menemui saya, dan bicara soal seseorang yang katanya mau balas dendam sama saya. Tapi dia nggak mau katakan siapa orang itu. Makanya saya nggak menanggapi dengan serius.” 

“Sekarang begini, atas dasar apa, Mbak Maryam bicara seperti itu pada Marco? Pasti bukan karena dugaan, atau firasat, kan? Anda melihat sesuatu, sehingga merasa harus bicara pada Marco. Tolong katakan apa yang Anda lihat sehingga merasa perlu memperingatkan Marco?”

Maryam menceritakan tentang Silvi yang memiliki pistol, untuk balas dendam pada Marco, karena mengira Marco yang menyebabkan kakaknya jatuh dari tebing.

Binsar beralih pada Marco. “Saya harap Anda bisa mengendalikan diri, tidak bertindak sendiri terhadap orang-orang yang Anda curigai! Serahkan semua pada polisi!”

“Sejak awal juga saya tidak melakukan tindakan apapun. Saat jus saya diganti mengkudu, saya tidak membalas mereka. Saya mendengar mereka tertawa, saya biarkan mereka menertawakan saya. Waktu itu saya memilih pergi. Hanya saja saya tidak mengira, kalau Raymond akan meninggal.”    

Binsar bicara lagi. “Saat jus alpukat itu dibawa ke dalam homebase, ada 25 orang di dalam homebase. Minus Raymond, jadi 24 orang. Siapa di antara 24 orang itu, yang sudah menyangka bahwa pada hari itu Marco akan pesan makanan dan diantar ke homebase?”

“Kayaknya nggak ada yang menyangka. Saya spontan saja pesan makanan pada hari itu. Tadinya akan dimakan di tenda bakso, tapi terlalu banyak orang di situ.”

“Waktu itu hanya ada lima orang pembeli di tenda bakso. Apakah lima orang itu terlalu banyak? Saya kira masih cukup ruang untuk Anda duduk makan di situ.”

“Waktu itu di tenda bakso ada Dudung dan Yusuf, saya malas kalau makan saat ada mereka di situ.” Marco menyebut lawan berkelahinya di masa lalu, yang merupakan seniornya di organisasi pencinta alam.

Marco lanjut bicara, “Kami memang sudah akur, kalau bertemu saling menyapa, tapi hanya sebatas itu. Jujur saja, masih ada rasa kurang nyaman untuk makan bersama mereka di tempat yang space-nya kecil, kayak warung tenda. Kalau ketemu di kafe, bisa cuek aja. Saya di pojokan, mereka juga makan di pojokan lain yang cukup jauh dari tempat saya makan.”

Binsar bertanya lagi pada Marco, “Apakah kamu sering pesan makanan, dan minta diantar ke homebase?”

“Baru kali itu. Sebelum itu, saya selalu makan di tempat pedagangnya berjualan, lebih gampang kalau mau minta tambah bumbu, misalnya.”

“Kalau begitu, menurut saya, tak ada seorangpun di antara orang-orang yang berada di homebase pada hari itu, yang siap dengan racun di tangannya!” ujar Binsar.

Maryam menoleh pada Binsar. “Hmmm … tapi ada yang melihat seseorang membubuhkan serbuk ke jus alpukat itu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags