Binsar bertutur. “Ya, ada seseorang yang bersaksi melihat Silvi membubuhkan sesuatu ke dalam jus alpukat. Sekarang kita pikir pakai logika. Kalaupun misalnya Silvi punya niat membunuh Marco, Silvi belum lagi mempersiapkannya. Hari itu Silvi baru saja kehilangan pistol, dan saya yakin pada hari itu dia belum menemukan lagi cara untuk membunuh. Jadi bukan Silvi pelakunya. Itulah sebabnya, Silvi tidak ditahan. Urusan pistol, belum ada bukti konkret jika Silvi pemiliknya.”
Maryam melirik ke arah Marco, lantas melirik pada Binsar. “Jadi … Marco bisa bebas, bukan karena kesaksian seseorang yang melihat Silvi membubuhkan ….”
“Itu kesaksian halu.” Binsar tersenyum lebar.
“Jadi racun itu dari mana, Pak?” tanya Marco.
“Menurut saya, racun itu sudah ada dalam jus alpukat, saat jus itu diantar ke homebase!” tandas Binsar. “oh ya, tidak usah panggil Pak pada saya. Kalian boleh panggil saya Bang Binsar.”
“Kalau racun itu sudah ada dalam jus ketika jus itu diantar ke homebase, kayaknya jadi balik lagi ke tuduhan awal. Aku lagi yang paling dicurigai menaruh racun itu!” keluh Marco.
“Sorry Marco, tapi kita harus membicarakannya dengan pikiran terbuka dan jernih.” jawab Binsar. “misalnya kamu yang menaruh racun itu, dengan target membunuh Raymond. Tapi bagaimana kalau Raymond nggak kepikiran untuk menjahili? Kalaupun dia berniat jahil, bisa saja dia menyuruh orang lain untuk meminum jus alpukat itu, lalu menggantinya dengan minuman lain yang nggak enak. Atau, jus alpukat itu diminumnya separo, dan sisanya diminum sama orang lain. Pokoknya, peluang untuk meracuni Raymond dengan cara itu, sangat gambling! Bisa-bisa malah kena ke orang lain yang bukan target! Jadi itulah sebabnya, sejak awal saya ragu kalau Marco yang sengaja menaruh racun itu dalam jus alpukat.”
“Ya memang saya nggak meracuni minumanku sendiri. Gila aja! Jadi menurut Bang Binsar, siapa yang meracuni jus itu?” tanya Marco.
Binsar berucap, “Ada sembilan orang yang punya peluang untuk menaruh racun itu. Tadinya beberapa orang sudah kucoret dari daftar yang kubuat, karena awalnya kupikir mereka nggak punya masalah dengan Marco. Sekarang nama mereka aku masukkan lagi dalam daftar, untuk dicek ulang!”
Inilah sembilan nama dalam daftar yang dibuat oleh Binsar:
Mang Sueb, pedagang es buah.
Sonya, mahasiswa semester III
Eli, teman sekelas Sonya.
Mang Ujo, pedagang Bakso.
Dudung Koswara, asisten dosen FT, dan senior UKM. Adventure.
Yusuf Saputra, senior Adventure.
Rani, mahasiswa semester VII.
Tuti, teman sekelas Rani.
Mira, teman sekelas Rani juga.
“Nah, Marco, Kamu mungkin memperhatikan tindak-tanduk kesembilan orang itu, pada saat kamu datang ke tenda es buah dan tenda bakso. Jadi, silakan diingat-ingat lagi, apakah saat itu ada sesuatu yang rada janggal dari tingkah laku mereka!”
“Janggal bagaimana maksud Bang Binsar?”
“Pokoknya bersikap tidak sewajarnya, apakah terhadap Anda, ataupun terhadap orang lain.”
Marco mengamati daftar nama itu, sambil mengingat-ingat. Pikirannya mengembara ke hari-hari sebelumnya….
“Kayaknya… nggak ada yang janggal.” jawab Marco, tapi Maryam menangkap nada ragu dalam suara itu.
“Yakin nggak ada yang janggal? Kayaknya ada ya?” tanya Maryam.
“Hmmm… cuma seorang pedagang yang menawarkan dagangannya dengan cara yang agak lain …. Tapi, wajar kan, pedagang memang terbiasa menawarkan dagangannya….”
“Apa sih, maksud kamu?” Maryam heran. “pedagang yang mana?”
“Tukang bakso itu.”
“Ada apa dengan Mang Ujo?” Binsar tertarik.
“Dia menawarkan baksonya padaku. Cuma begitu saja, nggak janggal, kan?”
Binsar jadi heran, “Katamu, kamu masuk ke tenda bakso, lalu Mang Ujo menyuruhmu antri karena dia sedang meladeni Dudung dan Yusuf. Kalau dia sedang sibuk meladeni pembeli lain, bagaimana sempat dia menawari orang yang lewat?”
“Maksud saya, tukang bakso itu nawarinnya bukan pada hari kematian Raymond, tapi pada hari lain. Hari setelah saya bebas dari tahanan polisi, lalu kembali ke kampus.”
“Gimana ceritanya?” Binsar penasaran.
Marco bertutur, “Begini, pada hari itu, Windy dan Silvi berantem ….”
“Berantem karena apa?” tanya Binsar.
“Entah.” jawab Marco.
“Berantem karena rebutan cowok.” jawab Maryam.
“Cowok yang mana?” tanya Binsar.
“Memangnya siapa lagi yang dikejar sama cewek-cewek yang masuk jadi anggota Adventure? Tentu saja dia!” jawab Maryam sembari melirik tajam pada Marco.
“Jangan gitu dong! Aku nggak enak kalau dianggap jadi penyebab orang lain bertengkar.” ucap Marco.
“Nggak enak? Atau bangga?” tanya Maryam.
“Kalau kamu yang bertengkar dengan cewek lain, demi memperebutkan aku, barulah aku bangga.” jawab Marco, sengaja ingin mengganggu Maryam.
Maryam hanya bisa merengut.
Binsar kembali bicara ditujukan pada Marco. “Coba ceritakan apa yang kamu lakukan pada hari setelah kamu bebas dari tahanan polisi!”
“Sampai mana tadi ya? Oh ya, hari itu, Silvi dan Windy berantem, lalu dipisah. Setelah itu saya ke homebase ….”
“Bukannya ngantarin Windy pulang?” tanya Maryam.
“Nggak. Saya sakit kepala, habis manjat menara sambil hujan-hujanan. Boro-boro bisa mengendarai motor. Lalu saya berbaring di tikar itu.” Marco menuding sehelai tikar yang terhampar di salah satu pojok homebase.
Marco lanjut bertutur, “Saya ketiduran sebentar. Waktu bangun, saya lihat beberapa orang lagi masak mi instan. Saya minta tolong dimasakin mi juga, saya makan bareng dengan mereka. Beres makan mi, saya ke tempat parkir. Karena di masjid kampus banyak orang yang sedang mengaji, saya nggak starter motor di halaman parkir, karena pasti berisik. Jadi saya tuntun motor hingga keluar gerbang, lalu ke tepi jalan besar. Saat itulah, tukang bakso itu bicara pada saya.”
Bicaranya kurang lebih seperti ini:
“Cep, ngebakso dulu!”
“Kapan-kapan aja, Mang.”
“Saya kasi gratis, Cep!”
“Gratis? Nggak salah dengar nih?”
“Iya! Saya kasihan, tadi siang Cep Marco yang hujan-hujanan memanjat menara masjid, ya kan?”
“Nggak apa-apa Mang, itu keinginan saya sendiri, bukan disuruh sama dosen. Itu nadzar.”
“Nah, mendingan sekarang makan bakso dulu, biar badannya hangat.”
“Terima kasih banyak Mang, tapi barusan saya makan mi instan, kenyang banget! Besok lagi saya beli baksonya, ya Mang.” Setelah menolak tawaran bakso gratis, Marco menaiki motornya, dan pulang.
“Jadi… bagian janggalnya di mana?” tanya Maryam.
Marco senyum-senyum. “Kenapa justru tukang bakso itu yang nawarin bakso gratis? Padahal dia bukan warga kampus. Kenapa bukan aktivis masjid kampus yang nawarin aku minuman atau makanan, setelah aku turun dari menara masjid? Itulah janggalnya.”
Maryam terdiam, merasa malu juga. Kenapa saat itu tak ada seorang pun aktivis masjid kampus memberi sekadar minuman panas kepada Marco yang baru turun dari menara masjid? Semua malah terkesima menonton pelaksanaan nadzar yang rada-rada gila itu!
Marco bicara, “Aku ikhlas melaksanakan nadzar itu! Tapi barusan kamu bertanya, di mana bagian janggalnya? Ya di situlah letak janggalnya.”
“Terus besoknya Mang Ujo masih nawarin bakso gratis?” tanya Binsar.
“Saya belum berani nyamperin lagi para pedagang di sekitar kampus. Rada trauma! Jadi saya bekal makanan dari rumah, atau beli di tempat lain, bukan di sekitar kampus ini.”
Kemudian hening. Pandangan Ipda. Binsar Siagian menjelajahi dinding-dinding homebase, hingga akhirnya tertuju pada dua foto komandan Adventure, foto Marco dan Raymond.
“Belum ada komandan baru?” tanya Binsar.
“Belum kepikiran untuk memilih komandan baru.” jawab Marco. “tapi terserah mayoritas anggota saja, kalau besok lusa mau mengangkat komandan baru.”