Binsar melangkah menuju foto komandan. Dalam foto itu, keduanya memakai syal leher, topi rimba, dan menggendong ransel. Binsar mengalihkan pandangan ke sisi lain. Ada foto seorang cowok gondrong sedang berdiri sendirian di bawah climbing wall, dengan latar belakang langit sore.
“Itu foto kamu?” tanya Binsar.
“Yang mana?” Marco mengikuti arah telunjuk Binsar. “Itu Raymond, bukan saya!”
“Hah?! Kok mirip ya?” Binsar rada tercengang.
“Kalau yang difoto gayanya kayak cover boy, itu pasti Raymond. Saat SMA, Raymond pernah jadi model.” Marco geleng-geleng kepala dengan wajah sedih. “Kalau tahu dia akan berakhir seperti itu, mendingan waktu itu aku nggak terima dia jadi anggota Adventure! Mendingan dia meneruskan karir modelingnya.”
Maryam bicara, “Nggak ada seorang pun tahu, apa yang bakal terjadi di masa depan. Jangan merasa bersalah seperti itu.”
Sementara itu, Binsar memikirkan apa yang pernah hinggap di benaknya, yaitu tentang kemiripan antara Marco dan Raymond, jika dilihat dari jauh.
“Marco dan Raymond, dua orang yang jika dilihat sekilas, tampak mirip. Terutama postur tubuh dan potongan rambut yang hampir sama. Apakah pembunuhan terhadap Raymond, ada kaitannya dengan kemiripan itu?”
“Marco, pernah nggak, ada orang yang tertukar antara kamu dengan Raymond?” tanya Binsar.
“Kadang-kadang ada juga.”
“Siapa saja yang pernah mengira kamu adalah Raymond, atau sebaliknya?”
Lantas Marco menceritakan sebuah kejadian lucu. Beberapa orang siswi sebuah SMA bertamu ke homebase. Katanya mau ketemu dengan cowok yang kenalan sama mereka saat di Gunung Gede. Cowok itu mengaku bernama Ray. Ketika masuk homebase, yang akan terlihat lebih dulu oleh semua pengunjung, adalah dinding yang memajang foto komandan Adventure. Saat itu cuma foto Marco yang dipajang. Siswi-siswi SMA itu langsung menunjuk foto Marco, sambil bilang, “Nah, itu orangnya!”
Marco menemui mereka, minta maaf, karena pasti mereka salah orang. Marco tidak dari Gunung Gede seminggu sebelumnya, dan tidak pernah bertemu dengan mereka. Namun, mereka ngotot, katanya memang Marco yang menyertai mereka turun gunung menjelang hari gelap. Mereka malah bilang, “Abang sombong, lupa sama rayuan gombal saat di gunung!” Dan macam-macam omongan lagi.
Saat Raymond datang ke homebase dan menyapa mereka, justru mereka malah bingung, yang mana sebetulnya, yang bertemu mereka di Gunung Gede? Akhirnya siswi-siswi SMA itu pulang, setelah sebelumnya ngomong, “Lain kali, jangan mempermainkan cewek! Mentang-mentang kita masih SMA, dikira kita gampang dikibulin?!”
Binsar manggut-manggut. “Apakah ada teman sekampus yang pernah salah orang?”
“Kayaknya nggak sih.” jawab Marco.
“Aku pernah salah orang.” celetuk Maryam. “aku kira kamu, ternyata Raymond.”
Marco kayaknya sebal. “Masak kamu nggak bisa ngebedain antara aku dengan si Raymond? Sungguh terlalu!”
“Waktu itu rada gelap sih ….” jawab Maryam.
“Kapan?” Marco mengerutkan alisnya.
“Waktu semester V pernah ada kuliah sore, karena pada minggu itu dosennya sibuk dan memindahkan jadwalnya ke sore hari. Tapi cuma sekali itu saja. Saat itu kuliah kelar jam delapan malam.”
“Terus gimana?” tanya Marco.
“Saat pulang, aku jalan bareng teman-teman ke gerbang, lewat di depan homebase yang lampu terasnya rada remang-remang. Aku lihat ada yang lagi berdiri di dekat climbing wall. Aku pikir itu kamu, jadi aku ngomong begini, “Marco, baju batiknya sudah kamu coba pakai? Kalau nggak cocok, masih bisa ditukar, tapi labelnya jangan dicopot dulu, ya!”
Lalu orang itu menjawab, “Yoi!” Aku kaget, kok suaranya rada beda? Sambil jalan aku ingat-ingat lagi, pasti orang itu Raymond.”
Marco malah tertawa. “Ah, kamu langsung tahu orang itu bukan aku, bukan karena suaranya yang beda. Tapi karena aku nggak bakalan menjawab ‘Yoi’! Kamu kan sudah hapal, bagaimana cara aku menjawab omongan kamu.”
Maryam tak menjawab.
Binsar berujar, “Jadi, dalam kondisi remang-remang, agak susah membedakan antara Marco dengan Raymond. Teman sendiri pun masih bisa salah, apalagi orang lain.”
“Jadi apa kesimpulannya?” tanya Marco.
“Ini cuma pemikiranku saja, jangan-jangan si pembunuh meracuni jus alpukat itu karena mengira Marco adalah Raymond! Secara tragis, justru malah Raymond yang keracunan! Seperti sebuah kebetulan, tapi … masih harus diselidiki!”
“Kejadiannya kan, siang hari. Kalau siang bolong, nggak pernah ada yang tertukar antara saya dengan Raymond!” tukas Marco.
“Tapi yang tahu persis mana Marco, dan mana Raymond, cuma mahasiswa di kampus kita! Kalau orang luar yang nggak terlalu kenal kalian berdua, bisa saja tertukar ….” Sekonyong-konyong Binsar tersentak oleh omongannya sendiri.
“Orang luar! Mang Sueb dan Mang Ujo, mereka adalah orang luar kampus! Apa mungkin….?”
“Marco, apakah kamu pernah datang barengan dengan Raymond, ke tenda Mang Sueb atau pun Mang Ujo?” tanya Binsar.
“Belum pernah.”
“Apakah Mang Sueb atau pun Mang Ujo tahu, kalau namamu adalah Marco, dan bukan Raymond?”
“Entahlah. Mang Sueb nggak pernah menyebut nama saya, cuma memanggil dengan sebutan “Cep”. Panggilan yang umum terhadap laki-laki. Kalau Mang Ujo, saya lebih nggak kenal lagi. Katanya dia baru jualan di dekat kampus, dan baru sekali itulah saya beli baksonya.”
Binsar akhirnya pamitan setelah ada panggilan telepon dari markasnya. Sementara itu, Maryam jadi merasa risih, karena di dalam homebase tinggal dirinya berdua dengan Marco. Tidak ada lagi anak-anak gunung yang masuk ke markas itu untuk suatu keperluan. Hari memang semakin sore, mayoritas mahasiswa sudah pulang.
“Aku pulang ya.” Maryam berjalan ke luar homebase.
“Hey Maryam, aku tahu, sebetulnya kamu nggak ada apa-apa dengan Hanif.” Suara Marco nyaring, membuat Maryam menoleh.
“Ada apa sih, Marco?” Maryam malah tidak paham arah pembicaraan.
Marco berjalan ke teras, tempat Maryam berdiri.
“Aku sudah menanyakannya langsung pada Hanif. Jangan khawatir, aku nanyanya baik-baik kok. Hanif bilang begini, “Ah, itu mah salah satu trik wanita untuk bikin panas hati ente!” Nah, apa komentarmu?”
Maryam terdiam.
“Jangan membohongi aku lagi! Sekarang banyak aktivis masjid kampus yang sukarela mau jadi informan buat aku!” Marco tersenyum.
“Siapa yang membohongi kamu?” sahut Maryam. “Yang ngomong aku lagi berta’aruf dengan seorang ikhwan aktivis dakwah, itu kan, kamu sendiri! Aku nggak bilang iya, atau tidak. Kamu terus saja ngomong soal Hanif yang sudah punya calon istri, sebentar lagi mau nikah.”
Marco bertanya lagi, “Jadi … apa yang membuatmu menangis waktu itu?”
Maryam terdiam sejenak, berpikir, lalu dia menjawab, “Aku kesel, dan sebel banget, kalau kamu menyebutku gadis Pantura!”
Marco tercengang sesaat. “Aku kan, cuma bercanda, Maryam. Memangnya kamu tersinggung banget sama sebutan itu, sampai nangis-nangis? Lebay banget!”
Maryam menjawab, “Aku mau balik ke tempat kos, teman sekamarku baru pulang dari praktik mengajar. Kayaknya dia sakit.”
“Kalau sakit, kenapa dia nggak pulang ke rumah orang tuanya?” tanya Marco.
“Kedua orang tuanya lagi ada di luar Jawa, karena bapaknya anggota TNI yang dikirim dinas ke luar Jawa. Di rumahnya hanya ada adiknya, cowok, sudah kuliah juga. Temanku malas pulang karena adiknya itu sering bawa teman-temannya nginap di rumah. Temanku nggak nyaman lah kalau pulang ke rumah, ternyata di rumahnya banyak cowok yang nginap. Emang cowok mah suka nggak peka sama saudara perempuan.”
“Aku mah nggak kayak begitu. Kamu jangan suka menyamakan semua cowok itu negatif. Seolah-olah kamu lagi sakit hati sama satu cowok, tapi menganggap semua cowok bakal menyakiti kamu.”
Lantas Maryam pulang.