Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Dari kampusnya Marco, Ipda. Binsar pergi ke kampus lain, untuk menemui adik kandungnya yang kuliah di Bandung. Adiknya itu perempuan, bernama Raulina, dia baru punya motor untuk aktivitasnya. Hanya saja saat awal memberikan motor itu pada adiknya, Binsar lupa memberi tahu bahwa motor butuh perawatan berkala di bengkel, bukan sekadar diisi bensin. Hingga akhirnya sang adik meneleponnya, mengatakan bahwa motor sudah tidak nyaman saat dikendarai. Binsar baru sempat datang ke tempat kos adiknya pada sore itu, setelah ngobrol-ngobrol di homebase dengan Marco dan Maryam.

“Bang, lama sekali baru ke mari. Motorku mungkin rusak, Bang. Coba Abang tengok motorku.” rengek Raulina.

“Ayo bawa ke bengkel, paling juga butuh ganti oli.”

“Abang tak pernah kasi tau aku soal ganti oli?”

“Lupa Abang.”

“Sudah sore begini, masih ada bengkel yang buka?”

“Masih banyak yang buka. Kita cari bengkel yang cukup besar, yang paling dekat sini.”

“Kayaknya ada tuh Bang, nama bengkelnya Black Falcon, kalau tak salah aku.”

Mereka mengendarai motor masing-masing, menuju sebuah bengkel cukup besar yang letaknya dekat dengan tempat tinggal Raulina. Para montir dan teknisi bengkel tampak masih sibuk dengan mobil dan motor.

“Kayaknya hanya butuh ganti oli. Tolong dicek saja dulu, ini motor buat keperluan kuliah.” ujar Binsar saat mendaftarkan motornya di bagian registrasi konsumen.

Pegawai tersebut segera mendata kendaraan konsumen, lantas mengalihkan motor itu pada seorang montir.

“Mau ditunggu? Atau ditinggal?”

“Berapa lama ganti oli?”

“Ganti oli nggak lama, Kak. Tapi banyak motor yang antre untuk ganti oli juga. Kebanyakan motor ojol. Sudah komitmen kami untuk mendahulukan ojol, karena mereka kan, motornya untuk cari nafkah. Kasihan kalau motor mereka berlama-lama di bengkel.”

“Jadi kira-kira, motor ini bisa kelar kapan?”

“Kalau hanya ganti oli, bisa ditunggu, Kak. Bengkel kami tutup pukul delapan malam. Kalau Kakak mau menunggu, motor bisa diambil nanti menjelang bengkel tutup. Tapi kalau mau ditinggal juga tidak apa-apa, motor bisa diambil besok pagi. Kami buka bengkel pukul delapan pagi.”

Saat itu hari sudah menjelang waktu magrib. Binsar menoleh pada adiknya.

“Kau mau motormu selesai malam ini? Atau besok pagi kau ambil ke sini?”

“Malam ini aja Bang. Kita tunggu di seberang sana, ada kafe tuh.” Raulina berharap kakaknya mentraktir makan di kafe. “Sudah dua semester aku tinggal di Bandung, belum pernah aku makan di kafe. Aku selalu hidup hemat, Bang. Tapi sekali-sekali aku mau juga makan di kafe.”

“Warung tenda saja ya Dek? Lebih murah.”

“Tapi warung tenda kan, sempit Bang. Tak bisa kita nongkrong lama-lama di situ, apalagi kalau banyak pembeli yang mau makan di situ pula. Kalau di kafe, kita bisa nongkrong, ada wi fi pula. Kita kan, mau nungguin motor itu.”

Binsar bicara pada pegawai bengkel. “Saya tunggu di kafe seberang sana. Nanti tolong hubungi nomor ini, kalau motor sudah selesai.” Binsar memberikan nomor adiknya.

“Siap Kak, silakan ditunggu!”

Setelah hampir dua jam nongkrong di kafe, sembari makan malam dan scroll medsos, akhirnya ada chat dari bengkel. Motor sudah bisa diambil. Binsar menghabiskan kopinya, lantas mengajak adiknya meninggalkan kafe. Raulina naik di boncengan motor kakaknya.

Ketika Binsar tiba di bengkel itu, dia melihat beberapa pegawai bengkel sepertinya sudah bersiap hendak pulang. Mereka mengenakan jaket parasut warna merah, ada gambar kepala burung di punggung jaket, bertuliskan Black Falcon Automotive. Binsar merasa pernah melihat jaket bergambar burung itu, belum lama ini, tapi di mana? Binsar coba mengingat.

“Oh ya, tadi di homebase, ada jaket seperti itu tersampir di sandaran kursi.” pikir Binsar, dia teringat kursi itu diduduki oleh Maryam, tapi pastinya jaket itu bukan milik Maryam. Karena jaket itu sudah ada di homebase saat Maryam belum tiba.

“Apakah jaket itu milik Marco? Atau milik orang lain yang juga anggota Adventure? Tapi kayaknya itu jaket untuk pegawai bengkel ini. Si Marco kan, bukan pegawai bengkel. Atau mungkin jaket itu dijadikan hadiah untuk pelanggan bengkel, tapi mungkin yang urusannya mobil, bukan motor.”

Binsar membayar biaya bengkel. Raulina tampak senang bisa kembali mengendarai motornya tanpa rasa khawatir lagi. Sebelum pulang, dia masih sempat merayu abangnya untuk membelikan martabak telur, katanya bisa buat sarapannya besok pagi.

***

Keesokan hari, tatkala matahari siang terasa membuat gerah, Ipda. Binsar kembali ke kampus Universitas Taruma Bandung, dia ingin mengobrol dengan pedagang yang menjadi saksi kasus tewasnya Raymond. Kedua pedagang itu adalah Mang Sueb sang penjual es buah, dan Mang Ujo si pedagang bakso. Kedua pedagang itu memang pernah datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Saat itu yang bicara dengan mereka adalah penyidik utama untuk kasus tewasnya Raymond, yaitu Iptu. Ekky Wahyudi. Maka Binsar yakin, kedua pedagang itu tidak akan mengenali dirinya sebagai polisi.

Binsar mengendarai motor memasuki areal kampus, untuk parkir. Kemudian dia berjalan ke luar, menuju tenda es buah. Kebetulan dia merasa haus. Binsar minta dibuatkan es kelapa muda. Sembari duduk menikmati es kelapa, Binsar mulai memancing obrolan. Dia tidak merasa perlu memperkenalkan diri sebagai polisi. Mungkin Mang Sueb akan mengira dirinya adalah mahasiswa tingkat akhir.

“Mang, langganan nggak berkurang, karena kasus keracunan itu?”

“Rada berkurang, Cep. Mungkin banyak yang curiga sama saya ya? Nggak mau lagi beli es buah di sini, takut saya racunin mungkin!” Mang Sueb tampak sedih.

“Apakah Marco dan Raymond sering beli es buah di sini?”

“Ya, tapi sebelum kasus racun itu.”

“Marco dan Raymond kan, sama-sama jangkung dan gondrong. Mang Sueb pernah tertukar orang? Misalnya yang satu ngutang, lalu ditagih kepada yang lain?”

“Ya nggak lah, Cep.” Mang Sueb tersenyum lebar. “mereka nggak pernah ngutang. Lagipula, saya bisa kok, membedakan mereka. Raymond yang matanya agak sipit. Kalau Marco wajahnya kayak orang Belanda yang ada di Timnas itu.”

“Kalau malam, bisa nggak Mang Sueb membedakan mereka?”

“Ngapain mereka datang ke tenda saya malam-malam? Saya kan, nggak jualan kalau sudah malam!”

Binsar tertawa kecil karena menyadari pertanyaannya yang kurang tepat. Dia menghabiskan sisa es kelapa. Setelah membayar, dia pamit. Kemudian dia berjalan menuju ke tenda bakso Ujo. Kebetulan lagi sepi pembeli.

“Mi bakso satu.” ucap Binsar sembari duduk di bangku kayu. 

Dengan cekatan Mang Ujo meladeni permintaan pembelinya. Tak lama semangkuk mi bakso terhidang di meja kayu. Binsar mengaduk baksonya, dan siap mengajak ngobrol Mang Ujo yang duduk di ujung bangku.

Belum juga Binsar mulai bicara, sudah muncul pembeli lain. Seorang wanita memakai gamis dan berjilbab lebar datang. Mang Ujo langsung bangkit dari duduk.

“Itu kan, Maryam.” pikir Binsar.

Maryam berdiri di dekat gerobak, menaruh sebuah lunc box. Dia beli bakso, tapi tidak akan disantap di situ. Maryam belum menyadari kehadiran Binsar yang duduk di bangku kayu.

Mang Ujo bicara, “Neng ini kan, yang kos di pondokan buat mahasiswi, ya? Yang dekat laundry?”

“Iya Mang.”

“Kalau pondokan khusus perempuan mah, pasti banyak yang beli bakso. Makanya Mang Ujo mah, hapal pondokan khusus perempuan, banyak pelanggan di situ. Ini mau campur mi, sayur, bihun? Atau bakso aja?”

“Nggak pake mi, pake sawi aja. Baksonya yang kecil-kecil. Kuahnya rada banyak, ya Mang. Ini buat teman sekamar saya yang lagi sakit, dia pengin makan nasi pake kuah.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags