Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

“Oh iya atuh, semoga lekas sembuh. Kalau sudah makan bakso Mang Ujo mah, dijamin badan seger lagi.”

“In Syaa Allah.” ucap Maryam. “Oh iya Mang, sudah ada empatpuluh harian Almarhumah?”

“Iya Neng, sudah lebih dari empatpuluh hari istri saya meninggal. Saya mah, masih sakit hati sama orang yang tega nabrak Almarhumah! Nggak tanggung jawab lagi, sudah nabrak, malah lari!”

“Kejadiannya siang, atau malam? Kalau siang kan, biasanya ada banyak orang yang suka rela mengejar si pelaku tabrak lari itu, supaya bisa ditangkap!”

“Kejadiannya subuh, Neng. Istri saya pergi belanja ke Pasar Ciroyom untuk keperluan dagang bakso. Biasanya sekitar jam lima subuh dia sudah pulang. Pergi dan pulang dari pasar suka diantar sama adiknya yang jadi tukang ojek. Hari itu, sampai jam tujuh pagi, istri saya kok, nggak pulang? Lalu saya susul ke rumah adiknya yang tukang ojek itu. Ternyata dia juga belum pulang, sudah ditelepon ke hapenya, tapi nggak aktif. Sedangkan istri saya mah nggak punya hape.”

“Terus bagaimana Mang Ujo tahu soal itu?”

“Ada telepon dari rumah sakit, ke telepon rumah Ketua RT. di situ, katanya ada warga situ bernama Kosim yang dirawat di rumah sakit, supaya diberitahukan sama keluarganya. Pak RT. itulah yang ngasi tahu saya soal keadaan Kosim, itu nama adik istri saya. Terus saya datangi rumah sakit itu, sambil mikir, kalau si Kosim di rumah sakit, jangan-jangan istri saya juga dirawat di rumah sakit? Saya melihat Kosim ada di IGD, dia dalam kondisi sadar, dia bilang istri saya juga dibawa ke rumah sakit itu. Kosim bilang hapenya entah ke mana, jadi minta tolong perawat untuk menelepon keluarganya. Sialnya dia nggak hapal nomor hape keluarganya, tapi dia masih ingat nomor telepon rumah Pak RT., jadi perawat menelepon rumah Pak RT.”

“Untung aja ada yang masih punya telepon rumah, ya Mang.”

Mang Ujo lanjut bertutur, “Waktu itu saya kira istri saya juga selamat, tapi ternyata istri saya sudah meninggal!” Ujo menyeka matanya.

“Yang menabrak itu mobil angkot?” tanya Maryam.

“Kata adik ipar saya mah, mobil plat hitam. Mobil itu sempat berhenti di pinggir jalan, setelah menabrak motor yang ditumpangi istri saya. Pengemudinya sempat mendatangi orang-orang yang ditabraknya. Tapi… dia masuk lagi ke mobil, lalu kabur!”

“Astaghfirullah! Sudah lapor ke polisi?”

“Sudah, tapi sampai sekarang pelakunya belum ditangkap!”

“Apakah adik ipar Mang Ujo sempat melihat nomor mobil itu?”

“Namanya juga ditabrak, boro-boro dia kepikiran melihat nomor mobil! Dia juga luka lumayan parah, katanya pingsan waktu dibawa ke rumah sakit sama orang-orang yang menemukan mereka.”

Akhirnya Maryam pergi.

Binsar yang barusan menyimak obrolan itu, segera menuntaskan makan bakso, lantas membayar. Dia tidak mengajak ngobrol Mang Ujo, karena baginya sudah cukup menguping obrolan Maryam dengan pedagang mi bakso itu. Binsar berjalan ke area parkir kampus untuk mengambil motornya. Polisi muda itu memacu motor menuju markasnya. Dia mendatangi kantor Satuan Lalu Lintas.

Setelah berbasa-basi sedikit dengan rekannya yang bekerja di bagian arsip, Binsar segera memaparkan apa yang dia butuhkan.

“Saya ingin dicarikan data tentang tabrak lari, lokasi kemungkinan di dekat Pasar Ciroyom. Korban adalah pengemudi ojek bernama Kosim, dan penumpangnya seorang wanita berusia … mungkin sekitar 35 tahunan. Mereka sempat dirawat di rumah sakit. Oh ya, wanita itu meninggal.”

“Tanggal kejadian kapan?” tanya petugas bagian data.

“Sudah lebih dari 40 hari.”

“Tidak ada tanggal yang pasti? Agak sulit mencarinya di database.”

“Tolonglah cari, Bro. Kau ini kan, ahli IT.”

“Kau tunggulah, biar aku usaha cari.”

Akhirnya data yang dicarinya ketemu juga. Nama tukang ojek yang jadi korban tabrak lari itu adalah Kosim bin Casmita, dan korban yang wanita bernama Sunengsih binti Casmita. Kentara sekali kedua korban memang kakak beradik. Ada nama rumah sakit tempat kedua korban dievakuasi. Ada pula alamat lengkap Kosim. Semua data itu memang dibutuhkan untuk penyelidikan polisi, dan terutama untuk pemberian santunan dari pihak asuransi Jasa Raharja. Kasus tabrak lari itu belum ada lanjutannya. Polisi kesulitan mencari pelaku karena kejadiannya dini hari, tidak ada saksi mata. Kejadian tabrak lari ternyata bukan di dekat pasar, melainkan di jalan kecil, yang minim lampu penerang jalan. Tidak ada barang bukti berupa rekaman CCTV, jadi tidak bisa diketahui seperti apa ciri-ciri kendaraan yang menabrak itu.

Namun masih ada alamat lengkap Kosim. Maka Binsar berangkat ke alamat itu, untuk mencari kejelasan dari berbagai informasi yang sudah terserap di benaknya. Rasanya semua masih seperti benang kusut. Binsar berharap benang kusut di pikirannya dapat terurai, setelah bertemu tukang ojek yang bernama Kosim itu.

Motor yang dikendarai Binsar memasuki sebuah kawasan padat penduduk. Dia mencari-cari gang tempat tinggal Kosim. Setelah menemukan gang itu, Binsar masih ragu. Maka dia mencari rumah Ketua RT, untuk menanyakan apakah ada warga yang bernama Kosim, yang berprofesi sebagai tukang ojek, dan punya saudara ipar seorang pedagang bakso.

“Mas ini dari mana ya?” tanya Pak RT.

“Dari Polrestabes Bandung.” Binsar memperlihatkan kartu tanda pengenalnya.

“Oh, mau ngurusin soal tabrak lari itu, ya Pak? Apakah pelakunya sudah tertangkap?”

“Mudah-mudahan. Makanya saya harus ketemu Kosim, untuk jadi saksi.”

“Hayu atuh, saya antar ke rumahnya.”

Setelah berjalan beberapa puluh meter di gang sempit, akhirnya Binsar ditunjukkan sebuah rumah kontrakan, yang sempit, kumuh dan pengap.

Kosim ada di rumahnya. Binsar memperkenalkan diri sebagai polisi yang ingin menyelidiki kasus tabrak lari itu.

“Bagaimana keadaan Kang Kosim?” tanya Binsar.

“Saya masih sering pusing, belum bisa kerja lagi. Sekarang cuma ngandalin penghasilan istri saya, jadi pembantu di rumah tetangga.” tutur Kosim.

“Apakah motor ojek itu rusak parah?” tanya Binsar lagi.

“Ya, dan masih ada di kantor polisi, buat pemeriksaan. Yang punya motor itu tetangga, saya setor sama dia setiap hari, kalau saya ngojek. Masih untung dia nggak menyalahkan saya karena motornya rusak parah. Cuma mungkin… saya malu kalau mau minta kerja lagi sama beliau, sebagai tukang ojek. Kalau badan saya sudah lebih sehat, saya mau kerja di proyek bangunan saja, atau jadi kuli angkut di pasar induk. Masak sih, Allah nggak ngasi rejeki, kalau saya berusaha keras.”

“Bagaimana ciri-ciri mobil itu?”

“Mobilnya warna hitam, atau warna gelap pokoknya. Nggak jelas merk mobilnya, soalnya mobil itu menepi agak jauh dari tempat saya tergeletak. Pengemudi mobil itu sempat turun dari mobil, dia menghampiri saya, berjongkok melihat kakak perempuan saya. Setelah itu, dia balik badan, kembali ke mobilnya. Saya kira dia mau mengambil peralatan P3K, atau mencari pertolongan orang lain untuk menggotong saya dan kakak saya. Ternyata dia kabur!” Kosim terlihat sangat marah.

“Orangnya seperti apa? Kang Kosim melihat wajahnya?”

“Kalau wajahnya nggak saya lihat jelas, tapi waktu dia berbalik kembali dan berjalan menuju mobilnya, saya melihat punggungnya dengan jelas. Dia itu laki-laki, badannya tinggi, rambutnya gondrong melebihi bahu. Yang paling saya ingat, dia pakai jaket warna merah, atau coklat, dengan gambar kepala burung di punggung, ada tulisan Black Falcon!”

DEG!!! Jantung Binsar rasa terhenti berdetak!

Kosim bicara lagi, “Waktu itu saya ambil hape dari saku jaket, saya mau merekam mobil orang itu, plat nomornya, buat bukti! Eh, tiba-tiba saja orang itu menoleh, lantas menghampiri saya, dia merampas hape saya! Lalu dia naik mobil, dan pergi begitu saja!”

“Ya Tuhan …. Manusia bisa sekejam itu ….” gumam Binsar dengan rasa geram.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags