Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Setiap kali Marco teringat lagi peristiwa itu, bulu kuduknya merinding dan matanya terasa pedih. Dia merasa gagal untuk menolong Tonny, karena ketidakmahirannya memanjat Tebing Lawe.

Ketika itu Marco cuma mampu sampai pada ketinggian sekitar 45 m, sedangkan Tonny sudah belasan meter jauh di atasnya. Laju Marco terhambat oleh kakinya yang terkilir dan punggung telapak tangannya yang berdarah akibat tanpa sengaja kena hantam martilnya sendiri, saat membuat anchor dengan cara memakukan piton di celah cadas. Akhirnya Marco turun lagi dengan susah payah.

Sementara itu beberapa orang yang naik dari punggung tebing, berhasil turun dengan tambang, mendekati Tonny. Ada yang bicara dengan Tonny, ada yang berusaha mengaitkan karabiner ke harness yang dipakai Tonny. Akan tetapi, Tonny malah menyerang mereka pakai martilnya. Tonny bahkan menendang-nendang cadas yang sedang dipanjatnya. Kemudian dinding cadas itu rontok, termasuk merontokkan juga beberapa piton yang sudah dipasang oleh Tonny sebagai anchor. Piton beserta karabiner dan tambangnya meluncur jatuh bersama guguran batu, membawa serta tubuh sang climber, menghantam cadas keras dan tajam di dasar Tebing Lawe.

Marco menatap lokasi tempat jatuhnya Tonny. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana dia dan rekan-rekannya harus menyingkirkan bongkahan-bongkahan batu, demi menemukan tubuh Tonny. Yang pertama ditemukan adalah pecahan helm yang berlumuran darah.

Sesuai keinginan Tonny, para climber itu mengatakan kepada keluarga Tonny, bahwa Tonny mengalami kecelakaan saat panjat tebing. Cuma mereka tidak bisa mengelabui aparat kepolisian Banjarnegara yang dilapori tentang tragedi itu. Polisi diberitahu soal surat terakhir Tonny yang membeberkan alasannya bunuh diri. Polisi juga sempat mengambil sample darah Tonny, dan melakukan tes. Hasilnya memang HIV positif. Surat dan berkas hasil tes itu hingga kini tersimpan di kantor polisi, sebagai salah satu barang bukti. Polisi pun akhirnya menyatakan bahwa kematian Tonny akibat kecelakaan.

“Bang, batalkan saja, jangan nekad!” bisik Rosna saat dini hari duduk di dekat api unggun, sambil minum teh manis panas yang barusan dibuatkan oleh Marco.

“Bagaimana dengan mereka?” Marco menuding tiga buah tenda besar yang diisi oleh Silvi dan sanak saudaranya. Mereka masih tidur nyenyak.

“Mumpung mereka masih tidur, mending lekas kabur, Bang!”

“Ah, kamu tuh ya ….” Marco meminum tehnya.

Mereka makan biskuit untuk mengisi perut.

Rosna bicara lagi, “Silvi menyesal sudah menuduh tanpa bukti. Karena Silvi juga sudah merasakan bagaimana tidak enaknya dituduh sebagai pembunuh, padahal dia tidak melakukannya.”

“Cuma Silvi yang menyesal, bagaimana dengan keluarganya yang seabrek-abrek itu? Aku nggak mau masalah ini berkepanjangan, bisa-bisa nanti merembet ke anak cucuku, terus saja diburu dendam yang belum lunas!”

“Kasi uang aja Bang, barangkali mereka mau. Bang Marco nggak perlu manjat tebing itu. Dari bawah sini, tebing itu kelihatannya serem banget.”

“Bagaimana kalau mereka nggak mau? Lagipula, kamu pikir aku banyak duit? Kalaupun mereka mau, bagaimana kalau mintanya gede banget, sampai bermilyar-milyar? Orang tuaku bisa bangkrut! Sedangkan anak mereka kan, bukan cuma aku!”

Rosna menengadah menatap Tebing Lawe. Gadis itu memang pernah masuk dalam organisasi pencinta alam, tapi sebatas ikut naik gunung di Jawa Barat. Sedangkan untuk urusan climbing, baru melihat tebing saja nyali Rosna sudah ciut.

“Tentu saja climbing itu banyak gunanya.” ujar Marco, saat Rosna mempertanyakan apa gunanya memanjat tebing. “terutama untuk SAR, misalnya mengevakuasi korban kecelakaan mobil yang jatuh ke jurang sedalam puluhan meter. Kalau si penolong itu tidak paham bagaimana cara turun dan naik di lokasi kecelakaan, bisa-bisa dia sendiri ikut jatuh.”

Rosna masih berusaha membujuk supaya Marco membatalkan pemanjatannya. Namun, Marco malah tidak mau membahas urusan panjat- memanjat.

Matahari muncul dan perlahan udara terasa hangat.

Marco bicara dengan wajah serius. “Begini Ros, karena di sini cuma kamu yang bisa aku percaya, jadi aku titipkan barang-barang ini sama kamu.” Marco menyodorkan sebuah tas pinggang, isinya dompet dan ponsel.

“Aku nggak berani.” Rosna menggeleng, saat tahu isi dompet itu cukup tebal, ada uang tunai Rp. 3 juta, dan kartu ATM.

“Pegang saja, mungkin aku nggak bisa pulang bersama kalian.”

Hati Rosna mendadak bergetar mendengar ucapan Marco. “Bang, jangan ngomong seperti itu ... aku jadi pengin nangis.”

“Rosna, aku minta tolong ya? Ini semua untuk kepentingan kalian, supaya kalian bisa pulang dengan lancar.”

Rosna menyeka matanya yang berair. “Iya Bang.”  

Marco meletakkan dompet itu di pangkuan Rosna. “Uang itu buat ongkos kalian semua pulang. Tapi kalau masih kurang, kamu bisa ambil uang pakai kartu ATM.” Marco menyebut beberapa angka yang jadi nomor pin kartu ATM-nya.

“Bang, gimana kalau aku khilaf, lantas merampok isi rekeningmu?!”

Marco malah tertawa. “Uang di rekeningku paling juga tinggal duajuta. Sebagian besar sudah aku transfer ke rekening mamaku. Nanti jika aku bisa pulang dengan selamat, aku minta lagi uang itu ke mamaku.” Marco menatap Rosna. “Tapi kalaupun kamu khilaf mengambil uang di rekeningku, aku ikhlas. Aku anggap saja uangku diminta sama adikku, jadi nggak apa-apa, Rosna.”

“Nggak Bang, aku hanya bercanda. Hmmm, apakah… orang tua Abang tahu soal perjalanan ini?”

“Mereka pikir… aku lagi naik gunung, seperti biasanya.” Marco lantas pamit, mau mengecek peralatan panjat tebing yang dibawanya.

Rosna membuka dompet Marco, mengamati isinya. Ada KTP, KTM, KTA dari UKM Adventure, lalu beberapa buah pas foto berwarna ukuran 2x3 cm dan 4x6 cm dengan latar belakang warna biru. Tentu saja foto Marco, dan foto itu dibuat belum lama, karena rambutnya sudah potongan yang sekarang. 

Rosna bergumam, “Buat apa Marco bikin pas foto ini? Kayaknya bukan buat kepentingan kuliah, karena dalam foto ini sepertinya dia mengenakan baju koko. Apakah foto ini untuk paspor? Atau… ya ampun, jangan-jangan foto buat… surat nikah?!” Rosna tercengang memikirkan kemungkinan yang terakhir itu.

Rosna tidak habis pikir, jika benar Marco berencana akan menikah dalam waktu dekat ini, bagaimana mungkin saat ini dia malah menantang untuk memanjat Tebing Lawe? Apakah Marco tidak merasa kasihan pada wanita yang menantinya? Bagaimana… kalau Marco tidak bisa turun tebing dengan selamat? Masak sih, belum juga menikah, kok sudah kehilangan calon suami?

Saat matahari naik, keluarga Silvi baru saja menyelesaikan sarapan bersama. Semua berceloteh dan tertawa-tawa riang, sepertinya sangat menikmati piknik gratis itu. Rosna merasa tak enak hati, lalu pergi dari halaman tenda. Dia celingukan mencari Marco. Ditemukannya sang climber itu lagi berdiri di balik sebatang pohon, dekat sekali dengan tebing yang bakal dipanjatnya. Rosna urung menghampiri Marco, saat dilihatnya Marco membungkukkan badan, lalu berdiri lagi, kemudian bersujud.

“Ah, dia sedang salat duha” pikir Rosna, terenyuh.

Matahari bersinar makin terang. Marco membuka kemejanya, tinggal kaus oblong. Kemudian dia melakukan senam ringan untuk pemanasan. Dia memasang harnes pada pinggang dan selangkangan. Memasang helm, dan melengkapi harnesnya dengan karabiner, ascender, descender, webbing, hammer, piton, dan bungkusan bubuk kapur. Dengan sepatu khusus panjat tebing, dia berjalan menuju Tebing Lawe. Dijatuhkannya gulungan tambang yang barusan digendongnya.

“Keburu siang nih, ayo lekas naik!” teriak salah seorang keluarga Silvi yang menonton Marco. Mereka sepertinya sudah tak sabar, ingin melihat Marco memanjat, dan … terjatuh. Rosna mengucap istighfar berkali-kali untuk menepis rasa muak dan kesal terhadap keluarga Silvi.

“Eh, di mana Silvi? Ah, mungkin masih di tenda.” pikir Rosna.

Marco mendongak, seolah sedang mengukur kekuatan lawan tanding yang harus ditaklukkannya, yaitu sebuah jalur pemanjatan dengan ketinggian kira-kira 110 m, di salah satu sisi Tebing Lawe.

“Ini mungkin akan jadi pemanjatanku yang terakhir. Kalau yang terjadi tidak sesuai rencana, berarti … Tonny, semoga kamu bisa melihat, mungkin aku yang akan mati sebagai climber … biarpun sebenarnya aku tidak mau mati di tebing manapun.” gumam Marco, sambil melangkah mendekati kaki tebing. Kedua telapak tangannya menyentuh tebing kapur itu, kepalanya menunduk, mulutnya menggumamkan doa.

“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah milik Allah, Rabb semesta alam.”

Lalu Marco mulai memanjat.

Semua tengadah menatap Marco yang sudah mencapai ketinggian kitra-kira 20 m. Marco sedang memukulkan martilnya pada piton yang dipasangnya di rekahan batu. Lalu dikaitkannya karabiner pada lubang piton itu. Dia manjat lagi. Dan tampaknya lancar-lancar saja. Tebing terjal itu cukup mudah dilaluinya hingga ketinggian 50 m. Semua penonton bergantian melihat dengan teropong. Bagi keluarga Silvi, terutama sekali ingin memastikan apakah Marco berbuat curang saat memanjat. Namun, apakah memang masih bisa curang, di lokasi seperti itu?

***

catatan kaki:

Ascender adalah alat yang menjadi tumpuan atau pegangan tangan saat memanjat pada lintasan tambang.

Descender adalah alat bantu saat turun pada lintasan tambang, fungsi alat ini untuk menahan laju climber agar tidak meluncur turun dari tambang dengan kecepatan terlalu tinggi.  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags