Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Matahari sudah tinggi, saat empat orang berlarian menuju kerumunan penonton. Ternyata Silvi bersama salah satu sepupunya, disertai oleh dua orang polisi.

“Tadi pagi-pagi sekali aku dan Ryan ke kantor polisi….” Silvi bicara sambil tersengal-sengal. “Aku mencari kejelasan tentang kematian Bang Tonny. Dan untunglah, pihak Polsek mau membuka lagi arsipnya.” Silvi celingukan, “mana Bang Marco?”

Seseorang menuding ke atas, dan Silvi mengikuti arah telunjuk itu.

Silvi mendadak histeris. Lantas dia bicara nyaring di hadapan keluarganya. “Bang Marco sama sekali nggak bersalah atas tewasnya Bang Tonny!“

Silvi menangis tersedu-sedu, lalu menyodorkan secarik kertas ke tangan ibunya. “Itu foto copy surat terakhir dari Bang Tonny, surat pamitan… dia mau menjatuhkan diri dari tebing! Dia mati karena bunuh diri! Bukan kecelakaan, apalagi dibunuh! Selama ini surat itu ada di arsip polisi!”

Sofie gemetar, lalu tubuhnya terjatuh setelah membaca surat itu. Dengan dipapah oleh kerabatnya, dia didudukkan di atas sebuah batu.

“Tonny, kenapa kamu lakukan itu Nak?” ratap Sofie, “kamu pikir keluarga bakal menjauhi kamu kalau tahu kamu sakit? Justru sebaliknya, semua bakal mendukung kamu, supaya kamu merasa masih punya harapan hidup yang lebih baik. Kalau saja kamu nggak putus asa seperti itu… masih banyak hal-hal berguna yang bisa kamu capai dalam hidupmu, biarpun kamu mengidap penyakit itu.”

Beberapa kerabat Sofie ikut meneteskan air mata. Sofie beralih pada polisi.

“Pak Polisi, dulu waktu anak saya meninggal, kenapa tidak ada yang memperlihatkan surat ini pada saya?”

Polisi buka suara, “Sebenarnya surat itu sudah kami perlihatkan kepada suami Anda, karena hanya dia yang pada saat itu tidak histeris. Entah apakah suami Anda memahami isi surat itu, atau dia kurang paham, sehingga tidak memberi tahu isi surat itu pada istrinya.”

Polisi yang seorang lagi juga bicara, “Memangnya waktu itu Anda bakal percaya, kalau polisi mengatakan pada Anda bahwa putra Anda melakukan tindakan bunuh diri? Kami sudah menjelaskan dengan bahasa sehalus mungkin, bahwa penyebab kematian putra Anda adalah akibat kecelakaan saat berlatih panjat tebing. Anda masih tidak percaya, mengira putra Anda sengaja dijatuhkan oleh rekannya, dan Anda menuduh polisi disuap oleh rekan-rekan Tonny. Begitu kan, tuduhan Anda pada kami?”

Sofie terisak, mengingat saat berita duka itu datang tiga tahun lalu. Dia terkenang lagi tentang sikapnya yang tidak mau menerima penjelasan apapun, pokoknya saat itu dia merasa sangat yakin jika putranya sengaja dijatuhkan dari tebing oleh seseorang. Sikap keras kepalanya, membuat mata hatinya tertutup dari kebenaran yang pernah dibeberkan oleh suaminya.

Polisi berteriak, “Suruh turun orang yang sedang memanjat tebing itu!”

Silvi bicara di sela sedu sedannya, “Kita semua akan sangat bersalah kalau Bang Marco sampai jatuh dan tewas!”

“Dia sudah terlalu tinggi!” ujar salah seorang.

“Teriak aja, mudah-mudahan dia bisa dengar!” seru Silvi tak sabar.

Gaung teriakan menyuruh Marco segera turun, memantul di dinding-dinding tebing. Karena terlalu banyak yang berteriak, gema suaranya jadi tidak karuan.

“Andri, lo kan climber juga!” Silvi mendorong salah seorang saudara sepupunya. “Lekas lo manjat, susul dia! Bilangin supaya dia lekas turun!”

“Gue ngeri Vi….”

“Ngeri?! Tapi lo sering bilang kalau lo itu climber andalan kampus lo? Dan lo nggak pernah gentar kalau disuruh memanjat?”

“Maksud gue… nggak gentar memanjat climbing wall… gue belum pernah manjat tebing betulan….”

“Kalau cuma manjat climbing wall, bocah SD juga bisa!” rutuk Silvi.

Jarak yang ditempuh Marco sudah terlalu tinggi, dan sepertinya Marco tidak bisa mendengar teriakan dari bawah. Dia terus saja merayap naik. Lajunya terhenti oleh sebuah roof (tonjolan tebing yang mirip atap). Dia memasang beberapa anchor pada roof itu. Setelah tambatan itu dirasanya kuat, dia segera menaikkan lagi tubuhnya hingga hampir dicapainya bibir roof itu.

Beberapa orang memekik saat sekonyong-konyong melihat Marco terpeleset. Akan tetapi karena anchor yang kuat terpasang pada tebing, tubuh climber itu tidak terhempas terlalu jauh. Marco bergelantungan dengan mencengkeram ascender yang menjepit tambang, lalu kakinya memijak lagi tebing. Berusaha kembali melewati roof tadi. Dia berhenti sebentar, mengatur napasnya, minum air dari botol yang terselip pada harnessnya, melumuri tangannya dengan bubuk kapur magnesium karbonat. Lalu dia memanjat lagi. Berkali-kali dia terpeleset, dan bergelantungan, tapi terus dicobanya memanjat untuk melewati tonjolan tebing itu.

Tonjolan tebing (roof) itu berhasil dilewati. Setelah itu tubuh Marco hilang timbul, kadang terlihat, kadang terhalangi tonjolan-tonjolan tebing. Orang-orang yang berada di bawah sudah sulit untuk melihat secara jelas. Yang pasti Marco masih terus merayap naik. Hingga… sekonyong-konyong cadas yang digapainya rontok! Ratusan batu beraneka ukuran, berlomba-lomba terjun bebas ke dasar tebing.

Semua menjerit ngeri, lalu menengadah, berharap Marco tidak ikut jatuh bersama batu-batu itu. Di ketinggian lebih dari 70 m, Marco mencengkeram ascender, dan salah satu kakinya masih berpijak pada rekahan cadas.

Sebuah roof yang letaknya belasan meter di atas Marco, tiba-tiba ambrol, dan mengirimkan hujan batu ke arah sang climber. Marco berusaha bertahan dengan berpegangan pada tebing, tapi beberapa batu ukuran kecil menimpa helmnya. Sepertinya Marco sudah tidak kuat lagi, dia melepas pegangan. Tubuhnya meluncur jatuh.

***

“Rosna, kamu sudah pulang?” Maryam membuka pintu kamarnya yang diketuk.

“Iya Mbak. Lagi ngapain nih? Sibuk ya?” Rosna melihat kain lebar di tangan Maryam.

“Lagi menjahit bahan untuk jilbab.”

“Mbak, aku mau pinjam setrika, apakah ada di kamar ini?”

“Nggak ada, tadi pagi aku lihat dibawa ke kamar Latifa.”

“Ya sudah, makasih ya Mbak.” Rosna hendak ke luar dari kamar Maryam.

“Ros… bagaimana dengan … Marco?”

“Nah, akhirnya dia nanyain juga.” pikir Rosna.

Lalu Rosna kembali masuk kamar Maryam. Rosna memberikan sesuatu yang dibungkus koran, yang sedari tadi dipegangnya. Maryam membuka bungkusan itu. Isinya … sehelai kain oranye segiempat, di salah satu sudutnya ada logo organisasi Adventure. Di sudut lain kain itu ada inisial nama yang dibordir: MRW. Di beberapa bagian syal itu ada bercak kecoklatan, bekas darah.

“Cuma syal itu yang bisa kubawa pulang ke tempat kos….” suara Rosna tersendat.

Maryam terduduk di lantai, menelungkup ke tempat tidurnya, lalu menangis tersedu-sedu. Ditunggu sampai seperempat jam, tangisnya tidak juga reda, malah makin sesenggukan. Rosna jadi tidak tega.

“Mbak… barusan aku bilang, cuma syal itu yang bisa kubawa pulang… karena … pemiliknya nggak mungkin aku bungkus pakai koran.”

“Apa kamu bilang?” Maryam tengadah menatap Rosna, lalu menyusut matanya, membersitkan hidung.

“Ih, ya ampun. Mbak, jorok banget! Itu syal kebanggaan anggota Adventure. Kalau Bang Marco tahu syalnya dipakai buat ngelap ingus, dia bisa tersinggung.”

“Hah?! Jadi ….” Maryam mengamati syal itu, “Ini bekas darah, kan? Darah siapa?”

“Oooh… tentu saja bekas darah Bang Marco… jarinya luka sedikit waktu membuka kaleng sarden buat bikin makan sore, setelah dia turun lagi lagi Tebing Lawe.”

Rosna teringat saat di dasar Tebing Lawe, melihat ada bagian dinding tebing yang rontok, sehingga mengirimkan hujan batu yang seolah menyerbu tubuh Marco. Namun, kemudian semua melihat tubuh Marco yang meluncur jatuh sejauh puluhan meter …. tapi tidak sampai terhempas ke dasar tebing. Beberapa anchor yang dipasangnya di sepanjang jalur pemanjatan, berhasil menahan tubuhnya. Saat ada anchor yang terlepas dari tebing, tubuh Marco kembali meluncur … tubuh itu kemudian berhenti, tidak sampai terhujam ke dasar tebing. Jari-jari tangan kiri Marco mencengkeram ascender yang mengunci pada tambangnya, membuat Marco tidak sampai terjun bebas. Untuk sesaat Marco cuma bergelantungan di tebing.

Saat itu semua menahan napas, ngeri dan khawatir. Mereka melihat Marco berhasil menggapai lagi tebing, dan kakinya kembali memijak tebing, tidak lagi bergelantungan, para penonton menghembuskan napas lega. Beramai-ramai mereka teriak, supaya Marco segera turun. Kali itu rupanya terdengar oleh Marco. Lalu dia turun perlahan. Wajah, lengan dan kakinya penuh memar, dan banjir keringat. Di dasar tebing, seluruh anggota keluarga Silvi menyalaminya. Perseteruan itu telah usai. Dendam sudah punah.

 

Wajah Maryam memerah, tapi kali ini dia kesal karena merasa sudah dikerjain habis-habisan. Rosna lekas pamitan. Barusan dia sudah melihat, ternyata Maryam tak bisa lagi berpura-pura, saat merasa bakal kehilangan Marco buat selamanya, dia benar-benar terpukul, terpuruk dan menumpahkan air mata.

Rosna berjalan di halaman samping rumah kos, sambil bicara lewat ponsel.

“Bang, kalau mau ke sini, jangan sekarang, soalnya… kelihatannya Mbak Maryam lagi kesal tuh!”

“Aku jadi nggak enak nih, sepertinya aku yang mempermainkan perasaan dia. Bisa-bisa dia ngambek.” jawab Marco setelah mendengar cerita Rosna. “Dari awal juga aku nggak mau mengikuti ide kamu itu. Cuma untuk tahu perasaan Maryam yang sesungguhnya… biar aku yang tanya langsung sama dia. Tapi kamu ngotot aja mau pakai cara itu. Jadinya dia mungkin merasa dibohongi.”

“Eeeh, aku nggak bicara bohong! Mbak Maryam aja yang mengira macam-macam, tertipu oleh pemikiran sendiri.” Rosna terkekeh. “Bang, kayaknya Abang masih punya utang sama aku, mentraktir sea food.”

“Iya nanti.”

=================================   

 

dear Readers,

sudah sampai sejauh ini saya menulis, tapi tidak ada satu pun pembaca yang ngasi like. Apakah begitu mahal nilai like itu bagi kalian? Sehingga kalian tidak mau memberi like ataupun komentar untuk novel ini. Tapi tidak apa-apa, saya tidak memaksa. Selamat membaca. Oh ya, novel ini belum tamat ya. Ini baru buku pertama dari trilogi.  

salam,

Yanti Soeparmo 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags