Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

Waktu belum tengah hari, tetapi Sawala sudah menggandeng tangan kiri Tisha untuk melewati gerbang. Di hari kesebelas mereka memang pulang cepat. Setelah istirahat, semua siswa dibubarkan karena guru harus mengadakan rapat.

Begitu tiba di pinggir jalan, Sawala melambai-lambaikan tangan untuk memberhentikan sebuah angkot. Kemudian, Sawala mengode Tisha untuk naik lebih dulu, sementara dia mengikuti. Tadi pagi motor Sawala mogok, tepat beberapa meter dari sekolah. Sekarang masih diperbaiki di bengkel dekat sana dan katanya baru akan selesai besok, jadilah mereka harus pulang naik angkot.

Ternyata di dalam angkot itu sudah ada banyak penumpang, sebelas orang, mereka duduk berdempetan, menyisakan sedikit bagian kosong di ujung bangku panjang dan sebuah bangku pendek pengganjal pintu pintu.

Sebenarnya Tisha ingin duduk di bangku pengganjal itu, tetapi karena telanjur masuk lebih dulu dia terpaksa mengisi sisa bangku panjang, bersisian dengan seorang ibu yang memegangi seorang balita perempuan yang berdiri di dekat kakinya.

Setelah Sawala duduk, angkot pun melaju. Berbeda dengan Tisha yang memasang wajah datar, Sawala malah memamerkan senyuman lebar. Sawala tak segan mengangguk sopan pada penumpang lain yang bertemu tatap dengannya. Bahkan Sawala juga mencandai balita yang tadi dilihat Tisha.

Balita itu tampak kesenangan, sampai tertawa malu-malu. Sayangnya itu tak bertahan lama, karena tiba-tiba dia berbalik menghadap sang ibu dengan wajah sayu.

“Mau duduk ....” Meskipun suara balita itu tak terlalu keras, tetapi karena berada dalam jarak yang begitu dekat, maka Tisha dan Sawala dapat mendengarnya.

Dari sudut matanya, Tisha melihat sang ibu menggeleng kemudian mengusap perutnya yang membuncit, ternyata sedang hamil dengan usia yang Tisha perkirakan sudah mendekati waktu lahiran karena ukurannya cukup besar.

“Pegal, Bu.” Mengabaikan kondisi sang ibu, balita itu masih terus merengek, bahkan kini wajahnya sudah memerah dan matanya berkaca-kaca.

Mungkin karena tak ada pilihan lain, akhirnya sang ibu hanya bisa menghela napas, kemudian menyelipkan jemari tangannya ke ketiak sang anak, bersiap mengangkatnya ke pangkuan.

Namun, suara Sawala menginterupsi. “Coba sini sama Kakak, Dek.” 

“Eh?” Si ibu terkesiap.

Sawala menggerak-gerakkan tangannya untuk menarik perhatian si anak, sehingga balita itu memandang bergantian pada ibunya dan Sawala. “Enggak apa-apa, ya, Bu? Biar sama saya aja adeknya.”

Si ibu tersenyum segan, tetapi kemudian melepaskan jemarinya, membiarkan sang anak beralih mendekat Sawala. “Terima kasih, Nak.”

“Sama-sama.” Sawala tersenyum. Setelah balita itu nyaman di pangkuannya, dia kembali mencandainya sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar, menjelaskan apa saja yang dilalui.

Lagi-lagi Tisha dibuat tertegun karena aksi Sawala. Kenapa kakak kelasnya itu mudah sekali menawarkan bantuan? Kenapa terlihat tidak memiliki rasa keberatan atas apa pun yang dilakukannya?

Menit berlalu, angkot terus melaju. Satu per satu penumpang mulai menyerukan kata 'kiri' dan kemudian turun, termasuk pasangan ibu-anak itu, mereka pun turun setelah berterima kasih pada Sawala. Kini, lengang, hanya tersisa Tisha dan Sawala.

“Kamu sering naik angkot, Dek?” Sawala memecah keheningan. Kini dia sudah berpindah ke sebelah Tisha.

Tisha yang belum lama merasa lega karena turunnya penumpang lain, harus kembali menahan napas, tegang karena kedekatan tubuhnya dengan Sawala. Sembari menggosok-gosok kedua telapak tangan, Tisha menyahut pelan, lebih seperti cicitan. “Enggak terlalu.”

“Kalau boleh tahu biasanya kalau pergi ke mana kamu naik angkot?”

Tisha terdiam. Mengingat kenangan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saat orang tuanya masih ada. Dulu Tisha pernah beberapa kali naik angkot untuk bermain dan mengerjakan tugas dengan Fathan. Namun, Tisha tidak terlalu menyukainya. Baginya yang dulu sangat manja, naik kendaraan pribadi adalah kenyamanan yang tidak mau dia lepaskan.

Seketika sesak kembali menyeruak ke dada Tisha. Ah, andai dulu dia bisa sedikit berusaha untuk menyukai naik kendaraan umum ini dan pergi ke rumah Fathan sendiri, mungkin orang tuanya tak akan tiada setelah mengantarnya. Ah, Tisha benci diri sendiri.

Namun, kata Riana tidak ada yang pantas disalahkan. Ah, Tisha galau.

“Dek!”

Tisha terkesiap karena tepukan di pundak. Ternyata dia terlalu larut dalam perenungan sampai melupakan Sawala.

“Kamu nangis?” Sorot khawatir terpancar dari tatapan Sawala karena melihat sudut mata Tisha berair.

Tisha membuang pandangan. Cepat mengangkat ujung kerudung untuk mengusap muka. Sial. Kenapa dia tidak bisa mengendalikan diri? Biasanya dia selalu bisa menyembunyikan segala perasaan, terlebih di hadapan orang yang tidak dianggap dekat. Bagaimanapun menyentuhnya suasana atau perkataan orang lain, Tisha senantiasa memasang ekspresi datar. Lalu kenapa dia sekarang?

“Duh, maaf kalau pertanyaan aku bikin kamu enggak nyaman. Tidak perlu dijawab.” Suara Sawala sarat rasa bersalah. “Maaf banget, ya, Dek.”

Tisha memejam sesaat, mengembuskan napas panjang, kemudian menggeleng. “Enggak ada yang salah dengan pertanyaan Kakak.” Meski masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri, tetapi Tisha tak mau membuat Sawala merasa tak enak dengannya.

Usai berdeham dan menetralkan mimik, Tisha melanjutkan, “Aku hanya pernah naik angkot saat SD. Ini baru naik lagi.”

“Tapi kamu enggak apa-apa, kan? Maksudku, kan kamu udah lama enggak naik angkot, sekarang gimana perasaan kamu?”

Sendu, bikin kangen ortu, balas Tisha dalam hati. 

“Enggak pusing?” Sawala kembali bertanya melihat Tisha hanya bungkam. “Kalau pusing kita naik ojek saj–”

“Aku baik, Kak.” Tisha memotong tegas.

Sawala memundurkan wajah. “Oke, oke.”

Tisha panik. Mendapati raut Sawala yang seperti itu mengingatkannya pada beberapa hari lalu, saat Sawala seperti cuek padanya. Seketika Tisha menelan ludah susah payah. Tidak! Jangan sampai itu terjadi lagi. Dia kan kini memiliki tantangan tambahan dari Riana, jika Sawala cuek maka langkah Tisha akan terganggu.

Kepala Tisha bercabang. Memikirkan topik yang mungkin dia ucapkan untuk mencegah Sawala menjadi jutek. Beberapa detik kemudian dia mengerjap, lalu memandang lekat Sawala yang sedang memperhatikan tautan tangannya di atas rok.

“Uhm ..., Kak.” Tisha menahan gugup.

“Kenapa, Dek?’

“Kakakkenalibutadi?” tanya Tisha merepet sambil memejamkan mata.

“Hah?” Sawala mengernyit. “Minta tolong pelan-pelan bicaranya, Dek.”

Tisha menggigit bibir bawah, perlahan membuka kelopak mata. “Kakak ... kenal ibu tadi?”

Sejenak Sawala mencerna. “Yang barusan turun?”

Tisha mengangguk.

Sawala menggeleng. “Baru pertama bertemu sekarang. Kenapa memangnya? Kamu kenal, kah?”

“Enggak!”

“Jadi, kenapa bertanya?”

“Itu ....”

“Sebentar, Dek!” Sawala menepuk paha Tisha, sementara kepalanya melongok ke dekat supir. “Kiri, Mang!” serunya begitu mendekati pertigaan daerah Tisha.

Tisha baru sadar bahwa perjalanan mereka hampir selesai. Dia turun lebih dulu atas perintah Sawala, sementara kakak kelasnya itu membayar ongkos. Sawala memang akan mampir ke rumah Tisha karena bibinya, Bu Santi, bilang akan menjemput di sana.

“Ini, Kak.” Tisha mengangsurkan uang lima ribu saat mereka mulai menapaki pinggiran jalan menuju rumahnya.

Sawala menggerak-gerakkan telapak tangan. “Enggak usah, aku traktir,” katanya sembari memamerkan senyuman. “Waktu di angkot tadi, kamu mau ngomong apa?”

“Itu ... kalau Kakak enggak kenal Ibu tadi, kenapa Kakak mau bantu mangku anaknya?”

Sawala mengangkat kedua sudut bibir. “Membantu itu tidak perlu memandang siapa orangnya, kan, Dek?”

Tisha tetap merapatkan bibir. Dia tahu itu pertanyaan retoris. Sedikit membaca arahnya, perasaan Tisha mulai tak enak.

“Selama bukan untuk sesuatu yang buruk, kita boleh membantu siapa saja yang membutuhkan, terlepas dari kenal atau tidak.”

Nah, kan ... ini tentang kebaikan. Seperti yang selalu Riana ceramahkan. Sebab, sudah beberapa tahun ini luput–ah lebih tepatnya sengaja Tisha lupakan–dari hari-harinya. “Lalu, untuk yang lainnya?”

Sawala menyatukan alis. “Gimana?”

Tisha berdeham. Sebenarnya dia segan membahas ini, tetapi mungkin memang sudah saatnya mewawancarai Sawala untuk memenuhi tantangan tentang alasan aksi Sawala. “Sikap Kakak saat membantu orang-orang di perpus, beresin mukena, ngasih makan kucing, dan ... mengunjungi panti. Apa alasan Kakak melakukan itu semua? Kenapa Kakak mau bantu banyak orang, yang kadang enggak semuanya tahu terima kasih?”

Sawala menghentikan langkah sejenak. Kepalanya mendongak pada langit biru tengah hari. “Itu semua aku lakukan sebagai upaya mengejar mimpi tertinggi.”

Tisha turut menengadah dengan raut bingung. “Memang apa mimpi Kakak? Menggapai langit?”

Sawala terkekeh renyah. “Langit memang tinggi, tetapi aku menginginkan yang lebih dari itu.”

“Apa?”

“Menjadi ... sebaik-baiknya manusia, yang bermanfaat. Aku enggak mengharap balasan terima kasih dari manusia. Aku hanya mengharapkan keberkahan dari Allah SWT. Aku sangat-sangat berharap bisa meraih itu.”

Bagi Tisha, waktu seakan berhenti. Kata-kata Sawala menggaung keras dalam kepalanya. Kenapa bisa ada yang bermimpi seperti itu?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RIUH RENJANA
575      406     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh
Cinta Sebelum Akad Itu Palsu
144      113     1     
Inspirational
Hayy dear...menurut kalian apa sih CINTA itu?? Pasti kalian berfikir bahwasanya cinta itu indah, menyenangkan dan lainnya. Namun, tahukah kalian cinta yang terjadi sebelum adanya kata SAH itu palsu alias bohong. Jangan mudah tergiur dan baper dengan kata cinta khususnya untuk kaum hawa niii. Jangan mudah menjatuhkan perasaan kepada seseorang yang belum tentu menjadi milikmu karena hal itu akan ...
Premium
Claudia
7409      1844     1     
Fan Fiction
Ternyata kebahagiaan yang fana itu benar adanya. Sialnya, Claudia benar-benar merasakannya!!! Claudia Renase Arditalko tumbuh di keluarga kaya raya yang amat menyayanginya. Tentu saja, ia sangat bahagia. Kedua orang tua dan kakak lelaki Claudia sangat mengayanginya. Hidup yang nyaris sempurna Claudia nikmati dengan senang hati. Tetapi, takdir Tuhan tak ada yang mampu menerka. Kebahagiaan C...
Teman Berbagi
3862      1398     0     
Romance
Sebingung apapun Indri dalam menghadapi sifatnya sendiri, tetap saja ia tidak bisa pergi dari keramaian ataupun manjauh dari orang-orang. Sesekali walau ia tidak ingin, Indri juga perlu bantuan orang lain karena memang hakikat ia diciptakan sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain Lalu, jika sebelumnya orang-orang hanya ingin mengenalnya sekilas, justru pria yang bernama Delta in...
ALMOND
1169      665     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
One-Week Lover
1977      983     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...
A Freedom
161      141     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Le Papillon
3318      1287     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Kisah Kemarin
7609      1766     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
4229      1679     2     
Mystery
Aniara Indramayu adalah pemuda biasa; baru lulus kuliah dan sibuk dengan pekerjaan sebagai ilustrator 'freelance' yang pendapatannya tidak stabil. Jalan hidupnya terjungkir balik ketika sahabatnya mengajaknya pergi ke sebuah pameran lukisan. Entah kenapa, setelah melihat salah satu lukisan yang dipamerkan, pikiran Aniara dirundung adegan-adegan misterius yang tidak berasal dari memorinya. Tid...