Pertemuan terasa biasa, sampai ternyata mengubah segalanya.
【POV Jefta – Keep House, Ruang Kerja Divisi Kreatif】
Jefta mengetik pelan di depan laptopnya. Di luar jendela kaca, langit Jakarta mendung. Di mejanya, ada tumbler hitam, sticky notes warna neon, dan foto kecil ibunya yang sudah lama berpulang.
> "Jef, minggu depan kita dapet anak baru. Katanya ditempatin di tim konten juga."
Jefta menoleh. Wina berdiri di ambang pintu, mengenakan blazer abu dan heels seperti biasa. Dia tampak sibuk, tapi ekspresinya agak menggoda.
> “Cowok apa cewek?” tanya Jefta santai.
> “Cewek. Anak komunikasi dan Ekonomi IPK tinggi, katanya bisa nulis, bisa desain, bisa ngomong. All-in-one. Kayak kamu suka bilang: ‘tipikal generasi tangguh’.”
Jefta hanya mengangguk. “Asal jangan tipe yang sok tahu.”
> “dari Ekonomi. Cindy Brigita namanya” ujar Wina sambil menyeruput kopi. "Kamu lagi Cin. Semoga kamu gak nyebelin kayak di SMP dulu" Gumamnya dalam hati sambil membolak-balikan kertas CV Cindy
“Biasa aja. Tapi auranya... kayaknya bakal ngacak-ngacak ritme kantor deh.”
Jefta mengangkat alis, tapi tidak terlalu memikirkan.
> “Ya, selama dia gak bikin drama.”
> “Justru itu, Jef... kadang orang yang keliatan tenang, bisa jadi pusat drama tanpa mereka rencanakan.”
Wina pergi. Jefta menatap layar lagi, lalu mendadak mengetik satu baris di sticky notes digitalnya:
"Cindy Brigita – Nama yang selalu Christian sebut."
✦ Flashback: Pertemuan Dua Sahabat di Tanah Jauh ✦
Berlin, dua tahun lalu.
Hujan rintik membasahi trotoar. Lampu-lampu kota Berlin berpendar dalam bias warna emas dan kelabu. Di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di sudut Prenzlauer Berg, dua pemuda asal Indonesia saling menepuk bahu sambil tertawa keras.
> “Gila, Jeftaaa. Serius lo kerja di sini juga?!”
Christian nyengir lebar, setengah tak percaya.
> “Lo pikir cuma lo yang bisa ngilang ke Eropa, bro?” Jefta membalas dengan pelukan setengah tercekik.
“Gue udah dua tahun jadi desainer properti freelance buat perusahaan Jerman. Sekarang lagi bantu project ekspansi Keep House.”
Mereka duduk di bangku kayu sambil memesan dua cappuccino dan satu slice kue coklat (pilihan Christian, tentu saja).
> “Lo masih kayak dulu ya… kalo stres pasti cari kafe kecil yang ada jazz-nya.”
> “Dan lo masih suka minum kopi dua sendok gula kayak anak TK.”
Mereka tertawa lagi, lalu terdiam sejenak. Christian menatap ke luar jendela.
> “Gue udah gak bareng Cindy.”
> “Hah?” Jefta menoleh cepat.
Christian menunduk.
> “Kita putus. Karena gue gak tahu kapan bisa pulang. Karena hidup tuh… gak semudah bilang ‘tunggu aku’.”
> “Dia baik-baik aja?” tanya Jefta pelan.
> “Dia terlalu baik. Makanya gue takut, Jeft. Takut bikin dia nunggu orang yang gak pasti.”
“Lo masih cinta, ya?”
Christian mengangguk perlahan.
> “Selalu.”
"Tapi kalau suatu hari aku ketemu Cindy dan jatuh cinta padanya, gimana?? "
"Selama kamu bisa Cintai dia melebihi cintaku, silahkan aku tak melarang takdir. Tapi kalau kamu datang dan hanya buat dia luka. Aku sendiri yang akan turun tangan"
"Aman bro"
---
Sore itu, dua sahabat bersulang dengan kopi. Satu membawa janji yang tak bisa ditepati, satu lagi membawa titipan yang kelak bisa mengubah segalanya.
---
Di ruangan onboarding HR…
Cindy duduk di kursi tunggu, menggenggam map berisi berkas dan surat pengantar. Di sebelahnya, Popi melirik antusias.
> “Gue udah cek IG-nya Keep House. Kreatif banget. Siapa tahu kita bisa kerja bareng cowok-cowok ganteng ya, Cin!”
Cindy tersenyum. “Gue gak ngarep drama kantor. Cuma mau kerja, pulang, gajian.”
Tapi hidup, seperti biasa, tidak pernah sesederhana itu.
✦ Interview Terakhir dan Plot Twist Berdarah ✦
Kadang takdir suka ngasih kejutan level telenovela...
【Ruang Meeting Keep House – Satu Hari Sebelum Pengumuman Karyawan Tetap】
Cindy mematut blazer netral di kaca toilet wanita. Popi muncul dari balik pintu sambil mengelap telapak tangan.
> “Lo siap, Cin? Interview akhir tuh kayak ujian akhir hidup. Harus elegan tapi santai.”
> “Gue lebih ke... panik tapi pura-pura tenang,” gumam Cindy.
Mereka menuju lantai atas—ruangan interview direksi pusat. Cindy masih mikir siapa gerangan pengganti Pak Rafael, bos besar Keep House yang kabarnya pindah ke cabang lainnya. Katanya, dari pusat akan ada ‘orang kepercayaan’ yang diturunkan langsung.
Cindy melangkah masuk ke ruang interview—lampu terang, suasana formal. Ia menarik napas.
Tapi begitu melihat siapa yang duduk di kursi tengah, Cindy hampir copot jantung.
Steven.
Kakaknya.
Pakai jas abu, dasi biru, dan ekspresi CEO-ready. Senyumnya datar, tapi matanya jelas menyiratkan panik tertahan.
> “Selamat siang,” ucap Steven formal, pura-pura asing.
“Silakan duduk, Mbak Cindy Brigita.”
Cindy nyaris melongo. Tapi demi Tuhan, dia duduk dengan postur selempeng mungkin.
> “Izin bertanya, Pak... apa Bapak yang akan menggantikan Pak Rafael?”
> “Benar. Saya baru tiba dari Paris minggu lalu. Ini hari pertama saya sebagai CEO baru Keep House Indonesia.”
Steven berbicara seperti orang asing, dengan nada profesional yang bikin Cindy geregetan sendiri.
> “Baik, Pak Steven.”
Interview berjalan formal. Semua pertanyaan dijawab Cindy dengan lancar, walau dalam hati dia teriak:
“GILA NIH ORANG! KAKAK GUE JADI BOS GUE?!!”
---
【Setelah Interview – Basement Parkiran】
Cindy mengejar Steven yang sudah turun lebih dulu.
> "Kakkkkkk! Lo gila ya?! Kakak gak kasih kode sama sekali kalau bakal kerja di sini!”
Steven menyandarkan diri ke mobilnya sambil tertawa kecil.
> “Surprise.”
> “Surprise apaan, ini horror. Gue gak siap punya kakak yang jadi atasan.”
Steven serius. “Gue juga gak mau dunia tahu kamu adik gue. Kita profesional. Gue gak akan beda-bedain. Tapi janji satu hal…”
> “Apa?”
> “Jangan panggil gue ‘kak’ di kantor. Gue bisa kena gosip macem-macem.”
Cindy geleng-geleng
Mereka tertawa pelan.
Steven membuka pintu mobil dan sebelum pergi, menambahkan,
> “Kerja yang bener, ya. Kakak bakal lebih galak ke kamu daripada ke orang lain. Biar gak ada yang curiga.”
> “Sip, Pak Bos.”
Dan dimulailah babak baru dalam hidup Cindy. Dulu pacarnya kakak kelas, sekarang bosnya... kakak kandung sendiri.
Plot twist-nya hidup: level upgrade.
✦ Hari Pertama, Namaku Sitty ✦
“Di tempat baru, teman pertama bisa jadi penyelamat atau penyebab gosip.”
Cindy berdiri di depan pintu kaca kantor Keep House, menarik napas panjang. Kartu ID karyawan masih berkilau, sepatu masih kaku, dan otaknya masih belum percaya: dia kerja di sini. Di perusahaan properti bonafid. Di bawah kendali kakak kandungnya yang harus dia panggil “Pak Steven”.
Masuk ke ruang utama lantai 5, Cindy mencari meja kerjanya. Namanya sudah tertempel rapi di meja sudut dekat jendela. Tapi sebelum dia sempat duduk...
> “Hai! Kamu pasti Cindy, kan?”
Seorang cewek berambut pendek, pakai outer putih gading dan celana kulot batik, menyapanya duluan.
> “Iya. Eh, kamu siapa ya?”
> “Sitty. Sitty Oktaviani. Tapi jangan panggil Oktaviani, kesannya aku anak sinetron lawas. Duduk deh. Aku yang bakal ngajarin kamu soal sistem database Keep House.”
Cindy langsung merasa tertolong. Sitty ramah, ceplas-ceplos, dan cepat akrab.
> “Lo kelihatan deg-degan banget. Tenang aja, di sini anak-anaknya santai kok. Kecuali kalo lo dapet project sama ketua tim kreatif... tuh baru, tingkat stresnya beda. Tapi tenang dia lagi dinas luar kota”
> “ketua tim?” Cindy miringkan kepala.
> “Dingin, tapi katanya jago bikin desain properti. Banyak yang ngefans. Tapi ya... katanya juga killer sih kalau soal kerjaan.”
Sitty mengedip menggoda.
> “Tapi ya itu gosip. Kita belum liat versi aslinya.”
Mereka berdua tertawa kecil. Sitty lalu menunjuk pantry.
> “Mau kopi? Aku traktir. Hari pertama harus manis, biar hari-hari selanjutnya gak pahit.”
Cindy tertawa lepas. Rasanya... nyaman.
hari itu, ia benar-benar merasa:
> Aku bisa bertahan di sini.
Rahasia Kecil di Ruang Atasan ✦
Cindy masih menyesuaikan diri dengan ritme kantor baru. Baru sejam duduk di kubikel, ia sudah dibombardir instruksi dari sistem internal dan catatan teknis proyek.
Tiba-tiba, notifikasi dari admin kantor muncul di emailnya:
> “Silakan ke ruang Bapak Steven lantai 9. Sekarang.”
Dada Cindy langsung nyut-nyutan.
> “Duh… "
Ia melangkah cepat ke lantai 9, mengetuk pintu kaca dengan gugup.
"Silakan masuk," terdengar suara maskulin yang familiar—tegas tapi hangat.
Di dalam, Steven tengah berdiri di dekat jendela besar, mengenakan setelan abu arang. Ia menoleh sambil menyembunyikan senyum kecil.
> “Gimana? Kena shock culture gak di Keep House?”
> “Ngagetin banget, sumpah. Kukira aku bakal mulai dari bawah, bukan langsung satu gedung sama kakakku sendiri…”
Steven tertawa pelan. “Kamu tetap mulai dari bawah, Cin. Di kantor ini, status keluarga gak ada artinya kalau hasil kerjamu zonk.”
Cindy mengangguk. “Iya, aku ngerti. Tapi makasih… karena Kakak gak nempatin aku di posisi yang aneh-aneh.”
> “Tentu. Aku cuma bantu bukain pintu, masuk atau enggak itu urusanmu.”
Mereka saling menatap.
Hubungan mereka bukan hubungan kakak-adik biasa—lebih seperti rekan seperjuangan yang kebetulan lahir dari ibu yang sama. Tapi sejak dulu, Steven selalu jadi pelindung diam-diam bagi adiknya itu.