Hubunganku dan Reyhan mulai seperti rutinitas yang menyenangkan. Setiap hari sekolah, selalu ada satu-dua hal yang membuat aku senyum sendiri. Kadang kami saling tukar bekal, kadang dia minjem pulpen cuma untuk iseng narik tanganku, kadang dia tiba-tiba nyanyi pelan waktu aku sedang nunduk nulis—dan suaranya itu… bikin dada aku sesak sendiri.
Tapi semua itu, seiring waktu, malah berubah jadi ketergantungan. Aku sadar, aku mulai menggantungkan suasana hatiku ke dirinya. Kalau Reyhan datang pagi dan menyapaku lebih dulu, hariku langsung cerah. Tapi kalau dia terlihat sibuk ngobrol sama teman lain dan tidak menoleh sedikit pun padaku—aku merasa kosong. Lucu, ya? Padahal kami belum jadian. Bahkan, belum pernah saling menyatakan.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa seperti… bukan satu-satunya.
Semua bermula saat istirahat kedua. Aku baru kembali dari toilet dan melihat Reyhan duduk di tangga belakang kelas. Bukan sendirian. Di sampingnya ada seorang cewek—Dea. Cewek yang cukup populer, anak ekstrakurikuler yang terkenal ramah dan pinter.
Aku nggak tahu kenapa, tapi dadaku terasa panas saat melihat mereka tertawa berdua. Reyhan terlihat nyaman. Dea juga.
Aku bukan siapa-siapanya Reyhan. Aku tahu itu.
Tapi rasanya… perih.
Saat Reyhan kembali ke kelas, dia menyapaku seperti biasa. “Dari mana? Nyariin aku, ya?”
Aku cuma nyengir sekilas. “Nggak.”
Dia seperti tidak menyadari apa pun. Padahal dalam hati, aku ingin sekali bertanya, ngapain kamu bareng Dea tadi? Tapi aku tahan. Aku terlalu gengsi.
Reyhan duduk di bangkunya. Tak lama kemudian, dia menyodorkan permen. Biasanya aku akan tertawa dan pura-pura menolak. Tapi kali ini, aku menggeleng.
“Lagi nggak pengen,” jawabku datar.
Dia mengangkat alis, mungkin heran. “Kamu kenapa?”
Aku menggeleng, menatap buku. “Nggak kenapa-kenapa.”
Dan untuk pertama kalinya, kami duduk tanpa banyak bicara.
Sepulang sekolah, aku melangkah cepat ke rumah. Tidak seperti biasanya, tidak ada obrolan sore, tidak ada tawa di sepanjang jalan. Tidak ada Reyhan yang menemaniku seperti biasa.
Malamnya, ponselku bunyi. Pesan dari dia.
“Alya, kamu kenapa hari ini? Aku ganggu ya?”
Aku mengetik jawaban. Lalu menghapusnya. Lalu mengetik lagi. Lalu akhirnya kukirim:
“Kamu deket sama Dea, ya?”
Balasannya tidak langsung datang. Tapi jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Aku merasa seperti mempertaruhkan sesuatu yang besar. Padahal cuma sebuah pertanyaan.
Beberapa menit kemudian, ponselku kembali menyala.
“Enggak. Dia cuma minta tolong bantuin soal latihan ekskul bareng adek kelas.”
“Kok kamu nanya gitu?”
Aku membaca pesannya berkali-kali. Aku tahu dia tidak berbohong. Tapi aku juga tahu, rasa takut itu datang bukan karena aku tidak percaya padanya… tapi karena aku terlalu berharap banyak.
Aku balas:
“Nggak papa. Aku cuma ngerasa... aneh aja.”
Beberapa detik kemudian dia mengirim lagi:
“Aku nggak tahu kamu bakal segitu kepikiran. Tapi, Ly... kamu tahu kan, kalau aku lebih nyaman sama kamu dari siapa pun?”
Mataku panas.
Tapi aku hanya membalas dengan satu kalimat:
“Iya. Maaf udah berprasangka.”
Keesokan harinya, Reyhan datang lebih pagi dari biasanya. Dia menungguku di depan kelas dengan senyum penuh arti. Saat aku sampai, dia menyerahkan sebuah roti cokelat—favoritku.
“Nih, biar kamu nggak asem kayak kemarin,” katanya, mengulang candaan yang dulu pernah dia ucapkan.
Aku tertawa kecil. “Kamu hafal banget, ya.”
Dia mengangkat bahu. “Kalau soal kamu, aku pengennya hafal semua.”
Dan seperti itu… seolah semua kekhawatiranku kemarin hilang.
Tapi jauh di dalam hati, aku sadar… aku takut. Bukan karena Reyhan akan pergi. Tapi karena aku tahu, perasaan ini sudah tumbuh terlalu dalam. Dan kalau suatu saat dia benar-benar memilih pergi—aku mungkin nggak tahu caranya menahan.
Hari itu kami pulang bareng lagi. Jalanan dipenuhi suara motor dan obrolan anak sekolah lain, tapi langkah kami pelan dan beriringan.
“Ly,” kata Reyhan tiba-tiba.
Aku menoleh, “Hmm?”
Dia menatap langit, lalu berkata lirih, “Kamu pernah ngerasa kayak... takut kehilangan sesuatu, padahal belum pernah kamu miliki sepenuhnya?”
Aku diam. Karena kalimat itu, rasanya seperti cermin dari isi hatiku.
Aku tidak menjawab.
Tapi di dalam hati, aku berkata:
Setiap hari, Rey. Aku ngerasain itu setiap hari.
“Kadang, yang paling menakutkan
bukan kehilangan seseorang, tapi
menyadari bahwa kita bahkan tak punya
hak untuk meminta dia tinggal.”