Loading...
Logo TinLit
Read Story - DARI NOL KE SERAGAM
MENU
About Us  

Beberapa hari setelah percakapan itu, aku dan Reyhan masih tetap dekat. Tapi… sesuatu berubah. Bukan karena kami bertengkar. Bukan karena Reyhan menjauh. Tapi karena aku mulai menjauh diam-diam.

Bukan karena aku tak suka padanya. Justru karena aku suka… terlalu dalam.

Dan aku takut.

Hubungan ini—apa pun namanya—sudah terlalu membuatku bergantung. Aku menunggu pesannya setiap malam. Aku menanti tatapannya setiap pagi. Dan ketika itu semua tidak aku dapatkan, rasanya seperti sesuatu hilang dari diriku.

Aku tahu, aku belum pernah menyatakan apa pun padanya. Aku juga tidak pernah meminta kepastian. Tapi hati ini seperti terlanjur memberi seluruh ruang untuk dia singgahi.

Dan malam itu, aku memutuskan untuk sedikit mengambil jarak. Bukan untuk pergi. Tapi untuk memastikan… aku masih bisa berdiri sendiri, tanpa terlalu menggantungkan diri pada Reyhan.

Hari berikutnya aku sengaja datang lebih siang ke sekolah. Tidak lagi menunggu di gerbang, seperti biasanya. Aku pun memilih duduk di bangku yang agak jauh dari tempat biasa kami berbagi tawa. Aku butuh ruang.

Tapi tentu saja, Reyhan menyadarinya.

Saat jam istirahat, dia menghampiriku. Tidak langsung duduk. Hanya berdiri di samping meja, memandangi aku yang pura-pura sibuk membaca catatan.

“Kamu kenapa?” tanyanya, datar. Tapi suaranya terdengar cemas.

Aku mengangkat kepala sebentar, lalu tersenyum seadanya. “Enggak kenapa-napa, kok.”

Dia menarik napas pelan. “Alya, aku tahu kamu. Kamu nggak akan sejauh ini kalau kamu nggak ngerasain sesuatu.”

Aku menutup bukuku pelan. Menatapnya. Tatapannya tak berubah. Tetap seperti Reyhan yang aku kenal—tulus, perhatian… dan terlalu baik untuk aku cuekin.

“Rey… aku cuma lagi butuh waktu.”

“Untuk apa?” dia bertanya. Kali ini suaranya sedikit terdengar… kecewa.

“Untuk ngatur ulang hati sendiri. Aku takut terlalu berharap.”

Dia terdiam. Lama.

Lalu dia duduk di kursi sebelahku. Posisi yang biasanya membuat aku tenang, sekarang justru membuatku ingin lari.

“Alya…” katanya pelan, “Kamu tahu aku nggak pernah main-main sama kamu, kan?”

Aku mengangguk, pelan. “Aku tahu.”

“Tapi kamu juga tahu aku belum bisa kasih janji apa-apa…”

Aku mengangguk lagi. “Itu juga yang bikin aku mulai jaga jarak.”

Kami terdiam. Sunyi. Tapi dalam.

“Kalau nanti aku siap…” katanya lagi, ragu-ragu, “apa kamu masih di situ?”

Aku menunduk. Jantungku berat. Tapi aku jawab, pelan,

“Aku nggak tahu, Rey. Tapi aku berusaha nggak pergi jauh.”

Sejak hari itu, suasana kami berubah. Masih saling menyapa, tapi tak sesering dulu. Masih saling senyum, tapi tak seluas dulu. Masih saling peduli… tapi dalam diam.

Aku tahu dia berusaha tetap ada. Tapi dia juga tahu, aku sedang menyusun ulang hatiku.

Kadang aku melihatnya menoleh ke arahku, seperti ingin bicara. Tapi urung. Kadang aku pun ingin menyapanya lebih dulu. Tapi urung.

Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi terlalu takut jika akhirnya membuat kami semakin jauh.

Dan saat malam datang, aku merindukan semua obrolan kecil kami. Tapi aku bertahan. Aku harus belajar tidak bergantung sepenuhnya. Karena aku sadar, cinta yang tidak punya nama bisa membuat seseorang tersesat terlalu dalam.

Suatu hari, saat istirahat, aku mendengar teman-teman sekelas membicarakan Reyhan. Katanya dia mulai ikut latihan futsal lagi. Aku terkejut. Dia tak pernah cerita.

Biasanya, hal sekecil apa pun dia bagikan padaku.

Aku tahu, ini bukan salah siapa-siapa. Aku yang menarik diri. Aku yang memutuskan untuk menjaga jarak.

Tapi melihat kenyataan bahwa dia mulai menjalani hari-harinya tanpaku… tetap menyakitkan.

Sorenya, aku duduk sendirian di taman belakang sekolah. Tempat kami dulu pernah duduk bareng. Memandang langit yang mulai jingga, seperti senja yang pelan-pelan meredup.

Aku mengambil buku kecil dari tasku. Catatan harian. Aku mulai menulis:

“Aku rindu. Tapi aku juga takut.
Aku ingin bersamamu, tapi aku juga ingin memastikan diriku utuh.
Kadang, mencintai diam-diam lebih sulit daripada kehilangan secara terang-terangan.
Karena saat kamu pergi nanti… aku tak bisa bilang: kamu pernah jadi milikku.”

Tetes air mata jatuh, membasahi pojok kertas. Aku cepat-cepat menyekanya.

Lalu terdengar suara langkah. Pelan, tapi familiar.

“Alya?”

Aku mendongak. Reyhan.

Dia berdiri di depan bangku taman, memandangi wajahku yang jelas-jelas sembab.

“Kamu nangis?”

Aku menggeleng cepat. “Nggak, kok.”

Dia mendekat, lalu duduk di sampingku. Tak bicara. Hanya diam, menunggu aku tenang.

“Aku cuma capek,” kataku akhirnya.

Reyhan menatapku dalam-dalam. “Aku juga, Alya. Capek karena kita jadi kayak gini.”

Aku menarik napas panjang. “Rey… aku nggak pernah nyalahin kamu. Aku cuma belum siap untuk terlalu berharap.”

Dia mengangguk. “Aku ngerti. Tapi tolong satu hal…”

“Apa?”

“Kalau kamu sedih… bilang. Jangan pura-pura nggak apa-apa. Karena aku bukan cuma temen ngobrol kamu waktu senang. Aku juga pengen jadi orang yang dengerin kamu waktu kamu rapuh.”

Air mataku jatuh lagi. Kali ini aku tidak menyembunyikannya.

Dan Reyhan? Dia tidak bilang apa-apa lagi. Hanya diam. Menemani.

Tapi dari diam itu, aku tahu: tidak semua orang bertahan saat kita butuh waktu. Tapi Reyhan… dia memilih tinggal, bahkan saat aku menarik diri.

Mungkin cinta itu bukan tentang siapa yang duluan menyatakan. Tapi siapa yang tetap ada, bahkan saat kita lagi terpuruknya

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DUA PULUH MENIT TERAKHIR
451      321     0     
Short Story
Setiap waktu sangat berarti. Selagi ada, jangan terlambat untuk mengatakan yang sesungguhnya. Karena kita tak tahu kapan waktu akan merenggutnya.
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
497      355     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
691      465     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
Life
327      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Search My Couple
566      324     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Happy Death Day
640      373     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Metafora Dunia Djemima
158      130     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Today, I Come Back!
4074      1423     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Love Letter: Mission To Get You
670      495     1     
Romance
Sabrina Ayla tahu satu hal pasti dalam hidup: menjadi anak tengah itu tidak mudah. Kakaknya sudah menikah dengan juragan tomat paling tajir di kampung. Adiknya jadi penyanyi lokal yang sering wara-wiri manggung dari hajatan ke hajatan. Dan Sabrina? Dicap pengangguran, calon perawan tua, dan... “beda sendiri.” Padahal diam-diam, Sabrina punya penghasilan dari menulis. Tapi namanya juga tet...
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5988      1962     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...