Hari itu langit tampak berbeda. Bukan karena warnanya, tapi karena perasaanku.
Pagi tadi, aku bangun dengan rasa gugup yang aneh. Tidak seperti biasanya. Seolah ada sesuatu yang akan terjadi, dan aku belum siap menghadapinya.
Aku masih menyimpan kertas kecil dari catatan harian kemarin di dalam saku. Tulisan tanganku sendiri, tapi rasanya seperti kutulis dari hati yang tidak aku kenali:
"Kalau dia pergi, aku nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Karena aku pun terlalu sibuk sembunyi."
Sepanjang pelajaran hari itu, aku merasa dia… beda. Reyhan tidak banyak bicara, tapi matanya beberapa kali mencari mataku. Dan tiap pandangan kami bertemu, dia cepat-cepat menunduk. Sialnya, aku juga.
Kami seperti dua orang yang ingin bicara tapi terlalu takut mengucapkannya. Padahal perasaan itu sudah menggantung terlalu lama.
Lalu saat istirahat pertama, dia mengajakku keluar kelas.
“Ly, ikut aku bentar, yuk.”
Aku hampir menolak karena masih canggung dengan suasana beberapa hari ini, tapi entah kenapa kaki ini melangkah juga. Kami berjalan ke taman belakang sekolah, tempat yang jarang dilewati siswa lain.
Tempat itu tenang. Banyak daun kering berserakan. Suara angin pelan-pelan memainkan rambutku. Suasana terlalu sunyi untuk percakapan biasa.
Dia berdiri di depanku, tidak menatap langsung. Tangannya dimasukkan ke saku celana, dan aku tahu dia sedang menyusun keberanian.
“Alya…”
“Ya?”
“Aku mau ngomong sesuatu. Tapi jangan potong, ya.”
Aku mengangguk. Jantungku berdetak lebih cepat.
Dia menatapku, akhirnya.
“Aku nggak tahu perasaan ini mulai dari kapan. Tapi sejak kita makin dekat, aku tahu satu hal pasti: kamu bikin hari-hariku lebih hidup.”
Aku tertunduk. Tak berani membalas tatapannya.
“Aku tahu kamu pernah tarik diri. Dan aku tahu kamu lagi ngatur ulang perasaan kamu. Tapi sekarang… aku nggak bisa terus pura-pura.”
Dia menarik napas.
“Aku suka kamu, Alya. Dari dulu. Dan aku pengen kita... nggak cuma saling nunggu, tapi jalan bareng.”
Aku diam. Hening menelan suara.
Hatiku rasanya meledak. Kata-katanya seperti sesuatu yang sudah lama aku tunggu, tapi selalu kutolak untuk berharap.
Dia menambahkan, lebih pelan, “Kalau kamu juga ngerasa hal yang sama, mau nggak... kita jadiin ini lebih dari sekadar ‘teman yang saling ngerti’?”
Aku mengangkat kepala, dan menatap matanya. Jelas. Jujur. Dan hangat.
Aku tersenyum pelan. “Aku juga suka kamu, Rey.”
Dia terlihat sedikit terkejut. Lalu tertawa kecil, lega.
Aku melanjutkan, “Aku cuma terlalu takut berharap. Tapi ternyata kamu juga ngerasa hal yang sama…”
Kami sama-sama tersenyum. Tangannya bergerak ragu, seperti ingin menggenggam tanganku, tapi tak jadi. Aku menatapnya, lalu aku sendiri yang lebih dulu menyentuh ujung jemarinya.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, diam kami bukan karena ragu, tapi karena sama-sama lega.
Sejak hari itu, kami tidak berubah secara dramatis. Kami masih Alya dan Reyhan yang sama. Masih saling ejek, saling rebutan permen, saling tukar cerita aneh tentang mimpi semalam.
Tapi ada sesuatu yang lebih tenang.
Kami tidak lagi menebak-nebak.
Kami sudah tahu.
Sore itu, setelah pulang sekolah, dia mengantarku sampai depan toko. Ibu tidak ada di rumah. Aku berdiri di depan pagar, dan dia menatapku dari jarak yang tak terlalu jauh.
“Aku masih nggak percaya kamu nerima aku,” katanya sambil nyengir.
“Kenapa?”
“Soalnya kamu Alya—yang kayaknya bakal nolak cowok yang cuma modal keberanian.”
Aku tertawa. “Berani itu lebih dari cukup, Rey.”
Dia mengangguk, lalu berkata pelan, “Makasih, ya. Udah mau percaya sama aku.”
Aku diam sejenak. Lalu menjawab,
“Aku percaya kamu bukan karena kamu janji. Tapi karena kamu tinggal waktu aku coba pergi.”
Dia menatapku lama. Lalu mengangkat tangan seolah ingin pamit.
Aku pun melambaikan tangan.
Hari itu bukan hari pertama kami dekat. Tapi itu hari pertama kami mengizinkan hati saling menggenggam, tanpa ragu.
“Ada cinta yang datang lewat janji. Tapi yang paling indah adalah cinta yang datang karena keberanian untuk berhenti menunda.”